tirto.id - Kala suporter pulang ke rumah setelah menyaksikan pertandingan sepakbola dalam keadaan terluka atau bahkan tak bernyawa, maka sepakbola hanyalah belanga kepiluan. Para orangtua mesti bersiap dengan kemungkinan terburuk jika klub pujaan anaknya bertanding. Itulah yang belakangan terjadi lagi dalam sepakbola Indonesia.
Pada Minggu siang, 23 September 2018, di luar stadion Gelora Bandung Lautan Api, Haringga Sirla, pendukung Persija, terkapar bersimbah darah. Ia tewas dikeroyok para pendukung Persib sesaat sebelum kedua tim bertanding. Amuk massa tak menyisakan ampun.
Niat Haringga menyaksikan tim pujaannya secara diam-diam berujung maut. Upaya perdamaian yang sempat diusahakan sejumlah pihak dari kedua kubu nyaris tak menyisakan jejak. Tensi memanas jelang pertandingan. Provokasi berseliweran di kanal-kanal media sosial. Haringga menambah daftar korban yang hayatnya pungkas dalam perseteruan lama. Pertandingan sepakbola yang awalnya sebagai olahraga dan hiburan menjelma menjadi permusuhan dan kekerasan.
“Dia cuman bilang ke Mama ada kerjaan sama teman. Kata mama tumben ini anak salim terus bilang: Doain Ari ya, Ma,” kata Mayrisa, kakak Haringga, mengisahkan detik-detik sebelum adiknya berangkat ke Bandung.
Ibu dan keluarganya tidak pernah tahu jika pamit itu adalah pamit Haringga yang terakhir. Esoknya, Haringga pulang ke rumah dengan kondisi telah terbujur kaku.
Sejak 2012, permusuhan antara Bobotoh dan The Jakmania telah menelan tujuh korban jiwa. Enam orang mengembuskan napas karena dikeroyok dan satu korban karena kecelakaan lalu-lintas.
Pada pertandingan antara Persija vs Persib di Gelora Bung Karno, 27 Mei 2012, tiga Bobotoh meregang nyawa. Mereka adalah Rangga Cipta Nugraha (22), Lazuardi (29), dan Dani Maulana (17). Semuanya tewas mengenaskan setelah dikeroyok The Jakmania.
Empat tahun berselang, tepatnya 6 November 2016, giliran The Jakmania Harus Al-Rasyid yang tewas dikeroyok di Tol Palimanan, Cirebon, dalam perjalanan pulang ke Jakarta usai menonton Persija versus Persib di Stadion Manahan, Solo. Laga kedua tim memang sering digelar di luar Jakarta dan Bandung untuk menghindari "bentrokan."
Setahun setelah peristiwa itu, seorang Bobotoh lagi-lagi menjadi korban akibat panasnya perseteruan. Ricko Andrean Maulana sejatinya adalah pendukung Persib dari firm Viking Frontline, tapi dalam laga antara Persib versus Persija di Gelora Bandung Lautan Api pada 22 Juli 2017, ia justru menjadi korban amuk massa pendukung Persib yang lain.
Kejadian bermula saat Ricko dan temannya merasa lapar dan memutuskan untuk membeli makan. Saat makan, di tribun utara terjadi keributan yang diduga ada anggota The Jakmania yang dipukuli oleh para Bobotoh. Ricko segera berlari menuju tribun tanpa mengenakan atribut Viking karena merasa gerah. Nahas, para pengeroyok mengira Ricko adalah salah satu anggota The Jakmania dan langsung dikeroyok hingga tak sadarkan diri. Setelah dirawat intensif selama lima hari, Ricko akhirnya meninggal dunia.
Usut Tuntas dan Pesan Damai
Kejadian yang menimpa Haringga Sirla pada 23 September 2018 mengingatkan kembali Iip Saripah kepada anaknya, Rangga Cipta Nugraha, yang tewas di Gelora Bung Karno enam tahun silam. Rangga, waktu itu tidak membawa KTP karena sedang proses perpanjangan, ketahuan berasal dari Bandung lewat SIM C yang ia bawa. Ia tewas dikeroyok.
Saripah mengatakan anaknya telah menjadi Bobotoh sejak kecil. Rangga sering pergi ke stadion, tapi hanya saat pertandingan digelar di Bandung. Ibunya menduga kehadiran Rangga di Gelora Bung Karno karena kebetulan ia bekerja di Jakarta, tepatnya di Cakung, Jakarta Timur. Waktu itu Rangga baru bekerja delapan bulan dan maut buru-buru menjemputnya.
“Saat melihat berita kemarin, buku kuduk saya meremang. Teringat dulu waktu Rangga meninggal. Saya dan Cakra, adiknya yang usianya terpaut empat tahun, merasakan kehilangan orang yang kami cintai," ujar Saripah.
"Sakitnya sampai sekarang. Tak bisa digambarkan. Dan tentu ibu [Haringga] yang sekarang anaknya menjadi korban juga merasakan hal yang sama."
Ia menyangka kematian anaknya akan menjadi yang terakhir dalam perseteruan antara Bobotoh dan The Jakmania. Meski Rangga baginya tak ternilai dan tak tergantikan, tapi ia sudah mengikhlaskannya.
Saripah mendukung upaya perdamaian yang sempat diusahakan sebagian pihak dari kedua kubu. Beberapa waktu lalu, tepatnya sebelum Liga 1 musim 2018 bergulir, ia dikunjungi oleh ketua Viking Heru Djoko dan Ketua The Jakmania Ferry Indrasjarief. Ferry mengundang keluarga Rangga untuk hadir di Gelora Bung Karno jika Persija bertanding lagi melawan Persib.
“Katanya agar The Jakmania tahu bahwa saya dan keluarga tidak menaruh dendam. Ya, kami memang tidak ada dendam. Bahkan waktu kejadian kemarin pun Cakra (adiknya Rangga) turut merasa prihatin," tutur Saripah.
"Saya tidak merasa ada yang membalaskan kematian anak saya. Tidak. Sebab saya tahu bagaimana pedihnya kehilangan orang yang saya cintai. Maka, demi kebaikan bersama, saya katakan saya siap hadir di sana (GBK),” ujarnya sambil menunjukkan foto kedua ketua tersebut saat saya berkunjung ke rumahnya di Pasirhonje, Cimenyan, Bandung.
Namun, sampai saat ini, karena pelbagai kendala, ia belum dikontak lagi untuk hadir di Gelora Bung Karno. Dan, sebelum rencana itu terwujud, Haringga sebagai The Jakmania keburu tewas dikeroyok di sekitar Gelora Bandung Lautan Api. Situasi akhirnya kembali memanas.
“Keinginan saya mah, udahlah jangan ada lagi kejadian seperti itu. Dulu waktu anak saya meninggal, saya kira itu akan menjadi yang terakhir ... ternyata terus berlanjut,” imbuhnya.
Satu hal yang ia sesalkan adalah penyelesaian kasus yang menimpa anaknya tak terdengar lagi kelanjutannya. Ia berharap para pelaku dihukum sesuai peraturan yang berlaku, tapi sampai saat ini ia tidak tahu nasibnya sampai di mana.
“Biar pada jera, biar tak ada lagi korban-korban berikutnya,” tambah Saripah.
Pelaku Harus Dihukum 'Seadil-adilnya'
Apa yang menimpa keluarga Rangga juga disampaikan oleh Susilawati, biasa dipanggil Iwat, kakak Ricko Andrean Maulana, Bobotoh yang tewas pada 22 Juli 2017 di Gelora Bandung Lautan Api.
Ditemui di rumahnya di Cicadas, Bandung, Iwat mengungkapkan ia dan keluarga besarnya telah berusaha mengikhlaskan kepergian Ricko. Namun, saat mereka mulai tenang, kejadian yang menimpa Haringga membuka lagi ingatannya terhadap peristiwa yang menewaskan adiknya setahun lalu.
“Keluarga tentu sedih kehilangan orang yang dicintai dengan kondisi seperti itu. Kami berusaha ikhlas, tapi di saat mengikhlaskan ada lagi kejadian yang sama,” ujarnya.
Menurutnya, rangkaian peristiwa pengeroyokan yang menewaskan pendukung sepakbola termasuk adiknya harus segera direspons oleh semua pihak agar tidak terulang lagi.
“Ini urusannya udah nyawa. Nonton sepakbola teh udah kayak nonton pembantaian manusia. Jadi harus ada tindakan ini mah, sudah enggak bisa dibiarkan lagi, semuanya harus bertindak,” ungkapnya.
Sama seperti Rangga, menurut Iwat, Ricko sudah menjadi Bobotoh sejak sekolah dasar. Sewaktu bocah, adik bungsunya kerap berjalan kaki pergi ke Stadion Siliwangi dan Jalan Bali untuk nonton Persib dan meminta tanda tangan para pemain pujaannya. Kecintaan itu terus terpupuk sampai Ricko dewasa dan akhirnya meninggal dunia pada usia 22 tahun.
“Kakak-kakak lelakinya juga suka sepakbola, tapi Iko yang paling gila sama Persib. Lagi pula kan lingkungannya di sini mah suka Persib semua, sampai ada ibu-ibu yang bawa anak bayinya ke stadion,” tutur Iwat.
Ia menekankan bahwa melarang orang-orang pergi ke stadion untuk nonton Persib sangat susah bahkan mustahil karena hal tersebut sudah mendarah daging. Namun, menurutnya, hal tersebut bukan berarti harus menelan korban jiwa. Pihak keamanan juga harus sigap mengantisipasinya.
“Jangankan adik saya yang masih muda, bahkan waktu Iko meninggal ada seorang nenek dari Padalarang datang ke rumah dan mengaku sebagai Bobotoh. Ia katanya sering datang ke stadion, bahkan waktu Persib main di Surabaya pun dia pergi ke sana,” ujarnya.
Ihwal perdamaian yang sempat diusahakan kedua kubu, Iwat sangat mendukungnya. Tujuh hari usai adiknya meninggal, ia dihubungi perwakilan salah satu pihak yang rencananya akan mendeklarasikan perdamaian di depan Gedung Sate. Namun, sehari kemudian, ia dihubungi lagi bahwa rencana tersebut batal dilaksanakan dengan alasan khawatir dimanfaatkan orang-orang yang tengah berkontestasi di lapangan politik.
“Waktu dihubungi saya sih bersyukur. Alhamdulillah, semoga berkah dan menjadi jalan bagi perdamaian selamanya,” tuturnya.
Persoalan kelanjutan proses hukum bagi para pelaku pengeroyokan adiknya juga menjadi perkara yang disayangkan Iwat. Menurutnya, ia dan keluarga sampai saat ini tidak tahu sampai di mana proses hukum tersebut dijalankan. Ia menambahkan bahwa hukum penting ditegakkan sebagai cermin ketegasan aparat dalam upaya memberantas kekerasan dalam dunia sepakbola.
“Kita dulu berharap orang yang menyiksanya dihukum seadil-adilnya,” ujar Iwat.
Keluarga-keluarga korban kematian suporter ini berharap peristiwa yang menimpa anak-anaknya tak lagi terjadi pada orang lain. Dan, yang tak kalah penting, ada penegakan hukum serta sikap antisipatif dari semua pihak. Agar parade kematian yang kadung terjadi tak hanya menjadi jambang kesedihan, melainkan pelajaran.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Suhendra