tirto.id - Program hunian tanpa uang muka alias down payment (DP) nol rupiah dinilai tak mendidik dan memberatkan masyarakat. Kritik tersebut dilontarkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir saat mengisi kuliah umum di Jakarta, Selasa lalu (28/1/2020).
Tanpa adanya uang muka, menurut Erick, generasi muda akan malas menabung dan terjebak dengan beban angsuran pokok kredit kepemilikan rumah (KPR) dan porsi bunga yang membengkak.
Ia juga khawatir program tersebut tak tepat sasaran karena bisa dimanfaatkan para trader atau pialang untuk dijual kembali.
"Kalau mereka sudah biasa cicil dari awal 5 persen atau berapa, dia akan ada tanggung jawab tapi akses cicilan 20-30 tahun tidak memberatkan," ujar mantan ketua TKN Jokowi-Maruf tersebut.
Meski demikian, kritik terhadap program yang tengah dikembangkan Pemprov DKI itu memang bukan hal baru. Pesimisme atas skema pembiayaan perumahan tanpa DP juga kerap disampaikan oleh DPRD sejak awal pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Pasalnya, selain karena targetnya yang terlalu ambisius, program tersebut tak punya dasar hukum yang kuat: mulai dari pembiayaan, skema subsidi, hingga penyaluran kredit perumahan.
Pemprov DKI juga tak memiliki lembaga khusus untuk mengelola program DP nol rupiah, melainkan hanya Unit Fasilitasi Pemilikan Rumah Sejahtera (UFPRS) di bawah dinas perumahaan. Hal ini berbeda dengan program KPR subsidi pemerintah pusat yang dikelola Pusat Pengelola Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP),
Hingga saat ini, berdasarkan catatan tirto, Pemprov DKI hanya mengeluarkan satu Peraturan Gubernur yang jadi landasan program tersebut: Pergub Nomor 104 tahun 2018 dan Pergub Nomor 71 tahun 2019.
Tak Ada Subsidi, Cicilan Bengkak
Pengamat properti Savills Indonesia Anton Sitorus mengatakan, kewajiban uang muka dalam KPR sebenarnya bukanlah persoalan didik-tak mendidik, melainkan konsekuensi yang harus diambil masyarakat agar tak terbebani cicilan yang membengkak.
Apalagi, hingga saat ini, program DP 0 rupiah Anies Baswedan bukan lah subsidi uang muka, melainkan dana talangan Pemprov DKI. Nantinya uang ini harus dikembalikan oleh masyarakat lewat cicilan yang akan dilakukan setiap bulannya.
“Mungkin wah kan, ini enak banget enggak ada uang muka tapi dipikir-pikir lagi enggak bagus juga buat dia. Cicilan jadi terbeban. Kalau bayar uang muka semakin besar cicilan jadi ringan,” ucap Anton saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (29/1/2020).
Perbandingan besarnya pokok cicilan dan beban bunga antara KPR dengan dan tanpa DP itu dapat dilihat salah satunya melalui simulator yang dimiliki BTN.
Dengan uang muka sebesar 5 persen, rumah dengan harga Rp300 juta membebankan cicilan sebesar Rp2.419.000 (lima tahun pertama) dan Rp3.287.600 (mulai tahun keenam) per bulan untuk tenor dua puluh tahun.
Angka tersebut diperoleh dengan asumsi suku bunga flat 5 persen selama lima tahun. Sementara jika tanpa uang muka beban angsuran bulanan menjadi lebih tinggi yaitu Rp2.546.300 per bulan (di lima tahun pertama) dan Rp3.460.700 (mulai tahun keenam).
Lagi pula, menurut Anton, uang muka dapat dipandang sebagai komitmen masyarakat atas kemampuan mereka membayar cicilan. “Kan, susah menebak pembeli punya kemampuan apa enggak,” ucap Anton.
Eks Country Manager Rumah123 Ignatius Untung menambahkan peniadaan DP dengan sendirinya menyebabkan risiko kredit menjadi lebih tinggi. Alhasil tanpa sadar pemprov DKI Jakarta malah membuka semakin besar peluang terjadinya risiko kredit macet.
“Bunga lebih besar karena risiko besar ini bisa menimbulkan non performing loan (NPL),” ucap Untung saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (29/1/2020).
Di luar DP nol rupiah, menurut Untung, banyak alternatif yang bisa digunakan pemerintah untuk memudahkan masyarakat memiliki rumah sendiri. Salah satunya, dengan subsidi selisih bunga kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Belajar dari Singapura. Beli dengan bunga kecil tapi enggak bisa diperjual-belikan sebelum 5 tahun,” ucap Untung.
Penilai Properti dari Kantor Jasa Penilai Publik Herly, Ariawan & Rekan (KJPPHAR) Aleviery Akbar menyampaikanbahwa program DP nol rupiah Pemprov DKI tak diperhitungkan dengan matang dan tak tepat sasaran.
Pasalnya, janji memberikan kemudahan akses KPR bagi MBR tak sesuai dengan realisasinya di mana syarat wajib penghasilan Rp4-7 juta per bulan.
Kendati demikian, ia menilai program ini mungkin cocok dengan masyarakat kelas bawah yang mempunyai pendapatan tetap tapi belum mampu menyediakan uang DP.
Dengan demikian, mekanisme ini pun bisa dilakukan tetapi tidak dengan membangun persepsi yang salah kalau uang muka tidak ada. “Ini lebih ke politis. Jadi target pembeli sangat menentukan,” ucap Aleviery saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (29/1/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana