tirto.id - Persentase kematian COVID-19 di Indonesia sebesar 2,7 persen. Angka ini terus bertahan selama dua bulan sejak Februari. Di sisi lain, persentase kasus positif turun di angka 6 persen dan angka kesembuhan tembus 90 persen. Persentase kesembuhan berada di sekitar angka 80 persen, sementara kasus positif mencapai lebih dari 10 persen.
Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah kesulitan dalam menekan persentase kematian akibat COVID-19 di Indonesia, yang meningkat dalam sepekan terakhir. "Persentase kematian ini lebih sulit untuk ditekan karena penurunan hanya dapat terjadi apabila setiap kasus positif baru dapat seluruhnya sembuh, sedangkan pada saat ini dari kasus baru yang ada masih ada yang meninggal dan dalam perawatan," kata Wiku, Selasa (27/4/2021).
Satgas juga mencatat kenaikan kasus kematian. Pekan ini, satgas mencatat kenaikan sebesar 29,2 persen dibanding pekan lalu. "Adapun tingginya angka kematian ini dikontribusikan oleh Provinsi Jawa Tengah, naik 178 kematian," kata Wiku.
Peringkat kedua ditempati Sumatera Selatan (kenaikan 25 kematian), DKI Jakarta (kenaikan 20 kematian), Jawa Barat (kenaikan 18 kematian), dan Aceh (kenaikan 15 kasus kematian).
Setelah pandemi berlangsung lebih dari satu tahun, kata Wiku, seharusnya daerah sudah banyak belajar sehingga mencegah tingginya persentase kematian. Kalaupun rumah sakit kesulitan menangani kasus, dapat minta bantuan pusat.
"Saya ingin menyampaikan kepada seluruh provinsi, tidak ada toleransi pada kenaikan kematian, apalagi saat ini BOR tidak menunjukkan kenaikan dan angka kasus aktif secara nasional juga menurun," kata Wiku.
Tak Semua Dibawa ke Rumah Sakit
Data bed occupancy rate (BOR) rumah sakit yang bertolak belakang dengan tingginya kasus meninggal ini, menurut epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman, disebabkan tak semua kasus berada di rumah sakit. Menilik data riset sebelum pandemi, penduduk Indonesia itu kerap melakukan pengobatan sendiri. Data sebelum pandemi itu di atas 80 persen.
"Kalau saat pandemi, ya, meningkat karena ada stigma dan sebagainya. Kenapa BOR rendah tapi kematian meningkat, ya, karena yang sakit itu lebih banyak di rumah, ada di masyarakat enggak muncul dan enggak mau muncul. Karena memang perilakunya begitu," kata Dicky kepada reporter Tirto, Rabu (28/4/2021).
Oleh sebab itu, data kematian yang meningkat ini pun menurutnya belum dapat menggambarkan separah apa kondisi pandemi yang sesungguhnya.
Dicky bilang angka kematian yang meningkat merupakan indikator paling valid untuk menilai keparahan suatu pandemi. Bahkan menurutnya kematian adalah indikator telak yang mestinya tak boleh terjadi. "Kalau telak artinya kita kebobolan," katanya.
Kolaborator saintis LaporCovid Iqbal Elyazar mengatakan data peningkatan kematian yang bertolak belakang dengan BOR harus dilihat secara lebih detail. Pertama, bisa jadi ada yang masuk ke rumah sakit dalam keadaan parah. Kedua, harus dilihat BOR yang disebut menurun itu di ICU atau di ruang isolasi. "Sehingga hubungan keduanya bukanlah sebab akibat," kata Iqbal kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Rabu.
Menurutnya situasi BOR naik dan turun itu hanya temporer alias bisa berubah kapan saja. Jika jumlah tempat tidurnya ditambah karena beli baru atau dibawa dari faskes yang lain, angka BOR pasti akan turun signifikan. "Jadi kita harus hati kalau BOR turun, lalu menganggap pandemi terkendali," ujarnya.
Ada pula pendapat dari epidemiolog di Universitas Indonesia Pandu Riyono. Ia mengatakan meningkatnya angka kematian ini disebabkan sejumlah faktor. Yang harus dilihat yang pertama adalah angka kematian ini rata-rata umur berapa. Bila angka kematian masih didominasi lansia, artinya vaksinasi pada mereka belum berhasil menekan angka kematian. Dan ini menurutnya sejalan dengan angka cakupan vaksinasi lansia yang masih rendah.
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino