tirto.id - Wajah itu kerap dikirim dari satu grup percakapan ke grup lainnya dengan tambahan teks yang berbeda-beda. Ada yang diimbuhi frasa “Aku temenin belajar yuk.” Pada bingkai lain, ia sedang merengut dan gambarnya ditimpa dengan tulisan: “Kapan pulang?”
Meski berbeda-beda format, semua meme itu berisi wajah orang yang sama: Chelsea Islan. Seniman peran berusia 21 tahun dan berdarah Indonesia-Amerika Serikat ini adalah salah satu Indonesia's sweethearts terkini, seperti Luna Maya atau Dian Sastro 5-10 tahun lalu.
Chelsea—sama halnya dengan Luna Maya atau Wulan Guritno atau Tamara Bleszynski—adalah pesohor berdarah campuran yang banyak dipuja. Mereka orang Indonesia, tetapi kulitnya lebih terang dari kebanyakan orang Indonesia. Mereka punya kekhasan-kekhasan ala Kaukasian, tetapi juga punya fitur nusantara. Kebanyakan orang pun menganggap mereka amat cantik.
Selain ada di antara selebritas perempuan, pesohor laki-laki pun banyak juga yang berdarah blasteran. Lihatlah betapa populernya Nicholas Saputra. Hingga kini wajahnya selalu muncul di dinding-dinding dan linimasa media sosial. Padahal empat belas tahun sudah lewat sejak pertama kali ia dipopulerkan film Ada Apa Dengan Cinta.
Beberapa pria biasa mengucapkan kalimat semacam: “Gue hari ini lebih ganteng dari Nicholas Saputra.” Nico, yang separuh Jerman itu, adalah kerangka acuan perihal ketampanan.
Sekarang mari kesampingkan dahulu orang-orang Indonesia berleluhur homogen yang juga dipuja seperti Dian Sastrowardoyo atau Afgan Syahreza. Lalu coba jawab pertanyaan: mengapa Chelsea dan Nicholas dianggap cantik dan tampan? Mengapa wajah-wajah blasteran itu banyak menghiasi layar-layar televisi dan gawai kita? Mengapa saat ada kenalan berpasangan dengan orang asing, akan muncul komentar bernada ramalan semacam: “Nanti pasti anaknya cakep.”
Ilmuwan dan pemikir sosial ada yang melihatnya sebagai gejala pascakolonial, terkait dengan pengalaman orang Indonesia sebagai bangsa yang pernah dijajah Eropa. Dari pengalaman itu, ada pandangan bahwa orang Eropa lebih luhur daripada kaum pribumi. Karenanya, orang-orang berdarah blasteran pun dianggap lebih rupawan karena mereka “separuh Barat.”
Mereka dipersepsikan lebih baik dan lebih luhur. Pendeknya, menurut teori ini, cantik dan tampan tak lebih dari bentukan kebudayaan, bukan perkara obyektif bahwa darah campuran memang lebih rupawan dibanding yang lain.
Ada juga teori yang mengaitkannya dengan hegemoni kebudayaan Barat. Teori ini misalnya mengaitkan standar kerupawanan dengan massifnya film dan musik Amerika di seluruh dunia. Akibatnya, wajah yang dianggap cantik dan tampan pun berkiblat pada Hollywood: seseorang rupawan jika mendekati standar wajah-wajah yang ada di layar-layar bioskop dan saluran televisi kabel dari negeri Paman Sam.
Tapi, dua teori yang mengaitkan standar daya tarik wajah dengan faktor sosial budaya itu hanya bisa bunyi di negara-negara non-Eropa atau non-Barat. Bagaimana menjelaskan kesukaan Amerika Serikat terhadap Halle Berry, misalnya, seorang campuran Kaukasian dan Afro-Amerika? Atau pujian terhadap Keanu Reeves yang punya jejak-jejak oriental pada wajahnya?
Michael B. Lewis adalah salah satu ilmuwan yang menyediakan penjelasan lain. Menurut penelitian yang dilakukannya pada 2009 di Cardiff University, Inggris, orang ras campuran memang lebih menarik, bahkan lebih sukses.
Penelitian Lewis sederhana. Ia mengumpulkan 1.205 wajah secara acak sebagai sampel, terdiri dari kulit putih, kulit hitam, serta blasteran keduanya. Lalu, 20 mahasiswa psikologi berkulit putih di kampus Cardiff diminta untuk menilai wajah-wajah itu pada skala 1-9 (angka 5 menunjukkan daya tarik rata-rata).
Hasilnya memang demikian: orang berdarah campuran rata-rata dianggap lebih menarik, baik dibanding kulit putih maupun kulit hitam. Jika dilihat proporsinya, di antara 10 persen wajah paling menarik, 65 persennya adalah orang berdarah campuran. Bagaimana jika yang diambil adalah 5 persen wajah yang dianggap paling menarik? Proporsi blasteran di kelompok itu lebih besar lagi, yakni 74 persen.
Apa penjelasannya?
Jawabannya pendek dan klasik: heterosis atau kekuatan hibrida. Gagasan dari Charles Darwin (1876) ini menerangkan bahwa perkawinan silang akan menghasilkan keturunan yang lebih kuat dibanding orangtuanya. Ini sebenarnya fenomena yang umum. Kita juga mengetahuinya dari hasil-hasil rekayasa genetika pada pangan. Meski kontroversial, sulit dimungkiri bahwa pangan hibrida banyak yang kualifikasinya unggul.
Begitu juga hewan. Beberapa anjing hasil kawin silang menghasilkan keturunan yang lebih kuat. Belum lagi perkawinan silang dalam kasus hewan ternak yang menghasilkan daging serta susu lebih baik dan lebih banyak.
“Heterosis, jika dalam populasi manusia, memperkirakan keturunan dari seorang Eropa dengan seorang Afrika akan memiliki kekuatan hibrida lebih besar dibanding keturunan dari orangtua yang sama-sama Eropa maupun sama-sama Afrika,” tulis Lewis dalam jurnalnya “Why Are Mixed-Race People Perceived as More Attractive?”
Dalam hal ini, lanjut Lewis, daya tarik terkait dengan kekuatan genetik. Bahkan, bisa jadi daya tariklah indikator terbaik dari kekuatan genetik. Sebab, hal-hal lain seperti kecerdasan dan tinggi badan banyak dipengaruhi faktor lingkungan.
Tak hanya berhenti pada daya tarik, Lewis menyimpulkan heterosis juga berefek pada kesuksesan. Meski jumlah orang blasteran ini proporsinya kecil, mereka berada di level-level tertinggi pada jenis profesi yang berbeda-beda. Lewis mencontohkan golf yang punya Tiger Woods dan Halle Berry pada profesi aktor. Lihatlah pula Lewis Hamilton dalam dunia balap Formula 1, serta tentu saja dalam politik: Barack Obama.
Di Indonesia, sejumlah keturunan asing menonjol dalam dunianya masing-masing. Misalnya saja Anies Baswedan, keturunan Arab yang jadi menteri pendidikan. Juga Agnes Monica, penyanyi berdarah Tionghoa yang menjajal pasar luar negeri. Atau aktor berdarah Iran, Reza Rahadian, pemborong peran utama di film-film Indonesia kekinian.
Jika melihat fenomena dan penjelasan ilmiah dari Lewis ini, bukankah konyol jika ada yang masih mengagung-agungkan kemurnian ras atau suku, lalu menyerang orang yang dianggap bukan “orang Indonesia asli”?
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti