tirto.id - Nama Enzo Zenz Allie tiba-tiba dibicarakan orang-orang dengan nada simpatik, tapi secepat itu pula semuanya berubah.
Ini semua berkat video yang viral beberapa hari lalu. Dalam video itu Enzo, 18 tahun, tengah berbicara dengan Panglima TNI Hadi Tjahjanto dengan bahasa Perancis dalam momen pemantauan akhir (atau pantukhir) di Akademi Militer, Magelang.
Enzo adalah seorang blasteran Indonesia-Perancis yang dinyatakan lulus jadi teruna Akmil. Kepada Hadi, Enzo bilang ingin jadi prajurit Kopassus.
Dalam situs resmi TNI AD, Aspers Kasad Mayjen TNI Heri Wiranto mengatakan Enzo "menarik perhatian Panglima TNI dan para Kepala Staf Angkatan." "Dia adalah anak yatim yang punya kemauan keras untuk menjadi teruna Akmil," katanya.
Masa Kecil Enzo dihabiskan di Paris bersama sang ibu Hadiati Basjuni dan bapaknya Jeans Paul Francois Allie. Setelah ayahnya meninggal, saat Enzo berusia 10 tahun, dia dan ibunya pindah ke Indonesia. Masa SMP dan SMA-nya dihabiskan di sini.
Dalam situs yang sama Enzo juga disebut "bisa berbahasa Inggris serta... lancar mengaji Alquran."
Saking menariknya, beberapa foto Enzo--termasuk saat mengenakan baju tentara saat masih kecil--bahkan diunggah di akun Instagram resmi TNI AD (@tni_angkatan_darat).
Kemudian orang-orang sengaja mengorek-ngorek informasi pribadi Enzo. Dari sanalah simpati berubah sinis.
Warganet menyebut Enzo adalah pengikut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)--organisasi yang telah dicabut badan hukumnya oleh pemerintah--karena menemukan foto Enzo tengah membawa bendera tauhid (atau HTI, tergantung dari sudut mana itu dilihat).
Perspektif Hukum
Sebelum dinyatakan lulus jadi teruna Akmil, sebagaimana calon lain, Enzo sudah melewati beberapa tahap seleksi, dari mulai tes fisik, wawancara, hingga mental ideologi.
Dari seleksi yang disebut terakhir, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi sempat memastikan Enzo 'bersih' dari HTI.
"Kami, kan, ada sistem seleksi yang berbeda dengan seleksi orang mau kerja sif siang sif malam. Ini dia untuk memegang senjata. Jadi sudah selektif," ujar Sisriadi.
Hal serupa sempat dikatakan guru sekaligus Kepala Sekolah Pondok Pesantren Al Bayan, Deden Ramdhani, yang menyebut bekas anak didiknya itu "sangat Pancasilais."
Tapi toh ternyata itu belum final. Saat dikonfirmasi ulang oleh reporter Tirto, Kamis (8/8/2019) kemarin, Sisriadi mengatakan latar belakang dan ideologi yang diyakini Enzo masih ditelusuri oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.
Penelusuran ini dilakukan bersamaan dengan pendidikan teruna yang tengah berlangsung hingga 30 Oktober nanti.
"Kami tunggu hasilnya," kata Sisriadi.
Jika Enzo memang berideologi khilafah dan bisa lolos sampai tahap pendidikan di Magelang, kata Sisriadi, barangkali itu karena waktu perekrutan yang terbatas.
Sisriadi bilang penelusuran latar belakang lebih detail tak hanya berlaku untk Enzo, tapi juga semua peserta didik. Tujuannya jelas: "agar tidak ada prajurit, apalagi perwira, yang memiliki ideologi lain selain Pancasila."
Tidak ada kompromi soal ini, kata Sisriadi. Dia bilang sudah biasa ada teruna dikeluarkan setelah ketahuan berideologi non-Pancasila. Salah satu yang dikeluarkan adalah temannya.
Pernyataan ini sejalan dengan keinginan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Dia bilang Enzo akan langsung diberhentikan jika benar mendukung khilafah. "Pecat saja. Itu namanya pengkhianat," katanya di Istana.
Ini juga sejalan dengan "persyaratan umum" calon teruna, yang menyebut peserta didik mesti "setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945."
Bagi dosen hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Hifdzil Alim, yang telah dilakukan TNI dengan mengecek ulang latar belakang Enzo sudah benar.
"TNI harus melakukan itu. Sebab jika tidak, ia akan digugat oleh warga negara lain karena dianggap tidak dapat melindungi pelaksanaan HAM. Misalnya, atas rasa tidak aman warga negara atas tindak-tanduk HTI," katanya kepada reporter Tirto.
Akan jadi bermasalah jika keputusan diambil hanya karena yang bersangkutan terbukti berstatus eks HTI. Kata Hifdzil, eks HTI tetap punya hak sebagaimana warga negara lain.
Toh yang bermasalah--dari kacamata pemerintah--adalah organisasinya, bukan individu-individunya. Itulah mengapa pemerintah hanya mencabut status badan hukum HTI, tapi tidak menghukum orang-orang yang terlibat di dalamnya. Itu pula mengapa beberapa bulan lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) membolehkan eks HTI maju sebagai caleg.
Akan jadi masalah pula jika misalnya Enzo dipecat jika yang terbukti berideologi khilafah adalah ibunya.
Ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Indra Perwira mengatakan jika itu yang terjadi, maka "seperti kembali ke zaman Orba: bersih lingkungan".
Bersih lingkungan adalah istilah yang diciptakan Orde Baru pasca-peristiwa G30S, terutama setelah terjadi kasus Blitar Selatan pada tahun 1968, yaitu pembersihan sisa-sisa PKI dan simpatisannya lewat Operasi Trisula.
Pemerintah Orde Baru menggulirkan istilah ini, dan "bersih diri", untuk menyaring PNS dan ABRI yang kemungkinan sanak saudaranya terlibat PKI. Mereka akan didepak karena itu.
"Jadi keterkaitannya ke atas, bawah, kiri, dan kanan," terang Indra.
Masalahnya, itulah yang juga dilakukan TNI. Mereka juga tengah menelusuri rekam jejak ibu Enzo.
"Kan, bisa jadi terpengaruh juga dari lingkungan," kata Sisriadi.
Indra menegaskan jika Enzo dikeluarkan karena faktor keturunan ini, dia bisa menggugatnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino