Menuju konten utama
Taruna Akmil

Ada Tentara Indo-Eropa, Ada Pula yang Dekat dengan Para Pemberontak

Enzo Zenz Allie membikin heboh Indonesia. Padahal, dulu juga ada tentara Indo. Ada pula tentara yang melawan republik.

Ada Tentara Indo-Eropa, Ada Pula yang Dekat dengan Para Pemberontak
Pierre Andreas Tendean. FOTO/Istimewa

tirto.id - Taruna Akademi Militer (Akmil) Magelang bernama Enzo Zenz Allie tengah jadi berita dan perbincangan di masyarakat. Pertama, karena ia berdarah campuran Indonesia-Perancis. Kedua, karena ia dikaitkan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Enzo bukan satu-satunya taruna di sekolah pencetak perwira Angkatan Darat yang punya darah luar Indonesia atau punya keterkaitannya dengan organisasi tertentu yang dinyatakan berseberangan dengan pemerintah.

Para pembaca sejarah Indonesia tentu tidak asing dengan Pierre Tendean, ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution yang kemudian jadi korban penculikan pasukan G30S (1 Oktober 1965) dan ditemukan terbunuh di Lubang Buaya. Pierre Tendean belakangan diangkat jadi Pahlawan Revolusi dan namanya diabadikan sebagai nama jalan di banyak kota Indonesia.

Pierre Andries Tendean, menurut Masykuri dalam buku Pierre Tendean (1983, hlm. xi) terlahir di Centrale Burgulijke Ziekenhuis (CBZ), yang kini jadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, pada 21 Februari 1939. Ayahnya adalah dr. Aurelius Lammert Tendean yang berdarah Minahasa, sementara ibu Tendean adalah Maria Elizabeth Cornet yang berdarah Perancis-Belanda. Menurut buku Jejak Sang Ajudan: Sebuah Biografi Pierre Tendean (2018, hlm. 1) yang disusun Ahmad Nowmenta Putra & Agus Lisna, Tendean lahir dengan persalinan normal.

Perkawinan antar-bangsa, termasuk kasus laki-laki Indonesia menikahi perempuan berdarah Eropa, adalah lumrah belaka. Bukan hanya orang tua Tendean yang melakoninya. Ada pula Raden Moerdani Sosrodirdjo yang menikahi Jeanne Roech yang berdarah Jerman. Mereka melahirkan banyak anak, satu di antaranya adalah Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani yang lahir di Cepu pada 2 Oktober 1932.

Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007, hlm. 11-14) menyebutkan bahwa ayah Benny adalah pegawai kereta api dan ibunya guru taman kanak-kanak kelahiran Magelang. Status hukum ayah Benny sudah dipersamakan dengan orang-orang Belanda. Moerdani pun menjadi nama belakang atau nama keluarga.

Benny Moerdani terlibat dalam revolusi Indonesia di Solo sampai-sampai sekolahnya berantakan. Setelah tentara Belanda angkat kaki, Benny masuk Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) pada 1951 dan akhirnya dinyatakan lulus pada 1952 sebagai anggota TNI dengan pangkat pembantu letnan.

Beberapa tahun kemudian, pangkatnya naik menjadi Letnan Dua. Ia masuk satuan baret merah. Pangkatnya terus naik. Ia terlibat dalam berbagai operasi militer, misalnya di Sumatera barat (melawan PRRI) dan di Papua (operasi trikora). Pada 1965 pangkatnya sudah mayor. Bertahun-tahun kemudian, Benny Moerdani diangkat sebagai Panglima ABRI dan kemudian menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Benny nampaknya harus puas dengan pencapaiannya sebagai orang nomor satu di militer dan Departemen Pertahanan saja. “Sebagai seorang berlatar belakang Indo dan beragama Katolik, Benny sangat sadar kemungkinannya menjadi presiden hampir tidak ada,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016, hlm. 164). Bagaimanapun, Benny adalah orang Indo-Eropa pertama yang jadi orang nomor satu di ketentaraan RI.

Pierre Tendean tak bisa punya pencapaian seperti Benny Moerdani karena terbunuh pada 1965. Tendean menjadi perwira TNI lewat Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada 1958. Menurut Masykuri (1983, hlm. 16), ketika masih berpangkat kopral taruna, Tendean ikut serta dalam praktek lapangan operasi penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra.

Tendean lulus pada 1962. Dua tahun di atas Pierre ada Try Sutrisno yang lulus ATEKAD pada 1960. Tendean, yang pernah ikut Konfrontasi Dwikora, kemudian diangkat sebagai ajudan Jenderal Nasution. Bagi sebagian orang Indonesia, Tendean terhitung punya wajah tampan. Sebagai ajudan, ia sering ikut bersama Nasution ke banyak acara resmi. Banyak gadis muda yang meliriknya di acara-acara tersebut. Soal Tendean dan Nasution, ada ungkapan dari gadis-gadis itu: “telinga untuk Pak Nas, mata untuk ajudannya.”

Ada yang Dekat, bahkan Terlibat, Pemberontakan

Akademi pencetak perwira TNI tidak hanya pernah menerima orang-orang berdarah Indo saja. Ada juga pemuda dengan latar belakang punya kedekatan atau bahkan pernah terlibat pemberontakan. Syarat dan ketentuannya tentu saja bukan terlibat pemberontakan yang terkait dengan komunis. Tak jadi masalah besar jika pemberontakannya 'hanya' PRRI-Permesta.

Di negeri Belanda zaman kolonial dulu, seperti ditulis dalam Buku Kenang-kenangan Alumni Breda (1997, hlm. 82-83), militer Belanda pernah memecat Suardjo Tirtosupeno dan Ahmad Salim dari Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda. Menurut catatan Harry Poeze dalam Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950 (2008, hlm. 222), Suardjo dikeluarkan karena terkait dengan orang-orang komunis pasca-Pemberontakan 1926. Achmad Salim, menurut Poeze (2008, hlm. 165), punya kecenderungan revolusioner.

Letnan Jenderal Sintong Panjaitan masih duduk di bangku sebuah SMA di Tarutung, pemberontakan PRRI pecah di Sumatera. Banyak pemuda direkrut PRRI sebagai tentara. Mereka mendapatkan senjata bagus tapi kurang latihan sehingga mudah digulung tentara kiriman pemerintah pusat. Sintong termasuk yang dilatih, tetapi ia tak pernah bertempur di pihak PRRI.

“Ia dilatih kemiliteran selama tiga bulan oleh anak buah Kolonel [Maludin] Simbolon. Meski demikian, Sintong tidak pernah bertempur di pihak pemberontak,” tulis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan, perjalanan seorang prajurit para komando (2009, hlm. 44).

Sintong kemudian berkawan dengan tentara dari Jawa. Setelah PRRI tumbang, Sintong berjuang masuk TNI pada 1959. Mula-mula, ia mencoba masuk Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, tapi gagal karena amandel.

Sintong kemudian mendaftar Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang pada 1960 dan diterima. Sintong masuk bagian infanteri, satu angkatan dengan Basofie Sudirman, Kuntara, dan Wismoyo Arismunandar. Lulus dari AMN pada 1963, mereka masuk Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang berbaret merah. Puluhan tahun setelahnya, mereka jadi jenderal.

Infografik Taruna Unik

Infografik Taruna Unik. tirto.id/Nadya

Satu angkatan di atas Sintong, ada seorang anak pedagang kain dari Sulawesi Utara yang juga pernah ikut Permesta. “Sebelum masuk AMN pernah ikut gerakan Permesta karenanya setelah lulus AMN semangat/jiwa militernya bisa diandalkan,” tulis buku Kompi Sulhaspati: Pengabdian dan Perjuangan (2002, hlm. 320). Nama pemuda ini adalah Rudy Manoppo.

Rudy lulus AMN pada 1962 bersama Raden Hartono—yang kelak jadi jenderal, KSAD, dan Menteri Dalam Negeri, serta dikenal dekat dengan keluarga Soeharto. Jika Hartono di Kavaleri, maka Rudy di bagian infanteri. Ketika kursus kecabangan infanteri, Rudy memberikan contoh bertahan hidup dengan makan monyet dan ular. Ia pernah terjun ke Serawak dalam rangka operasi melawan Paraku.

Rudy terkenal di kalangan mahasiswa 1966 yang menurunkan Presiden Sukarno dan mengganyang PKI. Sepengakuan bekas aktivis angkatan '66, Cosmas Batubara, dalam Cosmas Batubara, Sebuah Otobiografi Politik (2007, hlm. 27), Rudy adalah orang yang mengawalnya pada 1966. Pada 1972, 10 tahun setelah lulus, Rudy diangkat sebagai komandan Batalyon di Batalyon Infanteri 507 Surabaya. Jabatan terakhirnya adalah kepala staf Brigade Infanteri II KODAM Brawijaya di Malang.

Rudy meninggal dunia karena sakit kuning. Pangkat terakhirnya adalah letnan kolonel.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf