tirto.id - The Matrix. Fight Club. American Beauty. Magnolia. Office Space. The Blair Witch Project. The Sixth Sense. The Green Mile. Being John Malkovich. Star Wars: Episode I — The Phantom Manace. Three Kings. The Iron Giant. American Pie. Notting Hill. Girl, Interrupted. Eyes Wide Shut. The Talented Mr. Ripley. The Insider. South Park: Bigger, Longer & Uncut. 10 Things I Hate About You.
Sulit dipercaya. Tapi film-film legendaris itu, dan sederet lainnya, rilis pada tahun 1999. Masing-masing judul memberikan pengaruh terhadap industri perfilman Hollywood hingga hari ini.
Dan atas alasan itulah, banyak orang yang mendaulat 1999 sebagai tahun terbaik bagi sinema modern.
Direktur artistik dan pemandu program Toronto International Film Festival (TIFF), Cameron Bailey dan Brad Deane, menyepakatinya. Sebagaimana dilaporkan The National, pada awal Januari lalu mereka memiliki daftar 23 film untuk membuktikannya dan diputar dalam agenda TIFF Bell Lightbox.
“Kami berdua sama-sama cukup tua untuk mengingat 1999. Aku ingat saat terkejut karena menyadari betapa kuatnya tahun tersebut untuk film-film layar lebar. Banyak judulnya yang mampu mencerminkan ketidakpastian yang semakin berkembang soal bagaimana kita memandang dunia,” kata Bailey.
Allisa Wilkinson dari Vox memaparkan argumen yang sama dengan cara membandingkan sepuluh film terlaris pada 1999 dan 2018.
1999: Star Wars: Episode I — The Phantom Menace, The Sixth Sense, Toy Story 2, Austin Powers: The Spy Who Shagged Me, The Matrix, Tarzan, Big Daddy, The Mummy, Runaway Bride, The Blair Witch Project.
2018: Black Panther, Avengers: Infinity War, Incredibles 2, Jurassic World: Fallen Kingdom, Deadpool 2, Dr. Seuss’s The Grinch, Mission: Impossible—Fallout, Ant-Man and the Wasp, Solo: A Star Wars Story, Venom.
Wilkinson lalu mengambil kesimpulan: ada perubahan yang signifikan dalam industri perfilman Hollywood sepanjang dua dekade terakhir, terutama dari segi orisinalitas cerita.
Tidak ada satu pun film dalam daftar terlaris tahun 2018 yang berangkat dari ide baru. Semuanya sekuel atau upaya pertama untuk mengadaptasi cerita komik. Di daftar terlaris tahun 1999, setengahnya mengangkat naskah orisinal (The Sixth Sense, The Matrix, Big Daddy, Runaway Bride, and The Blair Witch Project).
“Sekuel dalam daftar tahun 1999 pun tidak biasa. Phantom Menace adalah prekuel yang menambah banyak karakter dan alur cerita baru ke semesta Star Wars. Toy Story 2 adalah salah satu sekuel terbaik yang pernah dibuat. Tarzan memang remake, tapi hasilnya sangat sukses dan tetap terasa orisinal,” catat Wilkison.
Wilkison memandang fenomena yang sama untuk Fight Club, The Talented Mr. Ripley, hingga Girl, Interrupted. Ketiganya diangkat dari novel (semua dengan judul yang sama karya Chuck Palahniuk, Patricia Minghella, dan Susanna Kaysen). Tapi, sekali lagi, hasilnya terasa orisinal.
Itu semua tidak lah hadir dari ruang hampa. Amy Nicholson dari Guardian menelusuri faktor penyebabnya berasal dari dimulainya penjualan DVD pada tahun 1997, dan laris-manis.
Rumah-rumah produksi tiba-tiba kebanjiran untung berlipat. Mereka kemudian menginvestasikannya kepada generasi sutradara berbakat sembari mendorong penonton untuk membeli film dua kali: sekali saat menonton di bioskop, kedua kali saat membeli DVD untuk disimpan di rak koleksi di rumah.
“Berbakat” yang dimaksud juga bukan yang terkenal saja, melainkan sineas-sineas independen muda yang permulaan kariernya disokong rumah-rumah produksi arthouse. Meski kecil dan reputasinya belum ke level A Hollywood, tapi cukup untuk mengantar mereka ke festival-festival film prestisius seperti Cannes.
“Itu era kebangkitan kreativitas. Produser mengambil kesempatan untuk menjadi aneh dengan menggandeng nama-nama baru,” catat Nicholson.
Paul Thomas Anderson, misalnya, digelontori $37 juta untuk merakit drama emosional Magnolia. David O Russell diberi $ 47 juta untuk membuat Three Kings, salah satu satire Perang Teluk terbaik. Bahkan Spike Jonze, sutradara video musik yang tak pernah bikin film layar lebar, memperoleh $13 juta untuk membikin dunia aneh di Being John Malkovich.
Durian runtuh turut menimpa kepala Sam Mendes. Hingga pertengahan 1990-an ia berkarier sebagai pemimpin produksi teater. Pada 1998 tiba-tiba ia mendapat kesempatan untuk menyutradarai film layar lebar. Skenario puitisnya ditulis oleh Allan Ball. Judulnya American Beauty.
American Beauty laris manis di pasar dalam maupun luar negeri. Drama keluarga ini juga otomatis mengangkat reputasi Mendes karena memenangi lima kategori di Oscars 2000, yakni Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Asli Terbaik, Sinematografi Terbaik, dan Aktor Terbaik (Kevin Spacey).
Film-film tahun 1999 rata-rata disukai dua golongan yang sering berbenturan pendapat: kritikus dan penonton. Lebih penting lagi, sineas-sineas yang merilis filmnya pada 1999 menjadi suara baru yang turut membentuk industri Hollywood hingga satu dekade setelahnya.
American Pie, misalnya, mengawali era film komedi remaja Amerika yang terobsesi dengan pacaran, pesta, dan seks sepanjang 2000-an. Atau 10 Things I Hate About You, yang membungkus pencarian identitas khas remaja dengan lebih elegan tapi tetap humoris, serta kerap masuk dalam daftar film SMA terbaik sepanjang masa.
The Blair Witch Project jadi contoh film independen yang tidak hanya sukses secara komersil, tapi juga menjadi film cult. Film ini berhasil mempopulerkan teknik kompilasi rekaman yang ditemukan usai tragedi (found footage). Metode yang sama kemudian dipakai dalam horor-thriller seperti Paranormal Activity dan Cloverfield.
Puncaknya barangkali ada pada Fight Club dan The Matrix. Selain mengandung mutu dari berbagai sisi, menggondol nominasi dan penghargaan hingga ke Oscar, dua karya terbaik David Fincher dan Wachowski Bersaudara ini seakan mampu memprediksi karakteristik masyarakat modern abad ke-21.
Fight Club kental dengan nuansa nihilistik. Fincher sebenarnya hanya menjadikannya kendaraan untuk mengkritik hedonisme akut yang menjangkiti warga urban Amerika. Film ini tidak langsung disambut pasar, tapi punya pengaruh kebudayaan yang besar, termasuk menjadi film cult.
The Matrix sering dianggap sebagai patokan bagi film-film fiksi ilmiah setelahnya, terutama yang bertema eksistensialisme. Efek visual menghentikan peluru di udara menginspirasi film seperti Inception. Jika kini ada banyak film yang menyuguhkan dampak kecerdasan buatan bagi umat manusia, The Matrix sudah melakukannya 20 tahun yang lalu.
Gara-gara Penjualan DVD Anjlok
Berbicara soal talenta, tahun 1999 jadi batu loncatan bagi pemain berbakat. Angelina Jolie (Girl, Interrupted), Jude Law di (The Talented Mr. Ripley), Heath Ledger (10 Things I Hate About You), Russel Crowe (The Insider), Reese Witherspoon (Election). Mereka dulu bukan apa-apa. Kini jadi pesohor Hollywood kelas A.
Sayangnya, bulan madu antara produser dan talenta ajaib itu berakhir saat bisnis penjualan DVD mulai runtuh pada 2008. Satu dekade manis berujung pada skema produksi film baru, di mana produser cenderung bermain aman untuk menghindari kemungkinan rugi, demikian catat Nicholson.
Nicholson mengamati para elite rumah produksi tidak akan mengeluarkan uang besar jika tidak ada jaminan box office, yang biasanya disokong dengan merekrut sutradara maupun para pemain besar.
Talenta yang bersinar di Cannes atau festival film lain tidak dijemput untuk memperkaya eksplorasi seni mereka, tapi dikontrak untuk membuat atau melanjutkan film waralaba (franchise). Jika tidak mau berkompromi, maka selamat melanjutkan karya di jalur independen, bareng rumah produksi kecil, atau maksimal jadi sineas medioker.
“Alih-alih bertaruh untuk seniman yang sesungguhnya, studio sibuk menginvestasikan uang mereka untuk para superhero di layar lebar,” kata Nicholson.
Mengapa superhero? Sebab mereka minimal sudah memiliki basis penggemar di dunia komik. Bukan sesuatu yang benar-benar asing, dan narasinya mudah dibungkus sebagai film laga untuk misi hiburan.
Praktis, tapi sayangnya melahirkan wabah baru di industri Hollywood kekinian: miskin talenta baru, langka cerita orisinal.
Editor: Windu Jusuf