tirto.id - Indonesia semakin menunjukan potensinya sebagai raja ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara. Berdasar riset Google, Temasek, dan Bain, pada 2019 Indonesia telah menguasai 40% dari total nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara. Hasil riset bertajuk e-Conomy SEA 2019 itu menyebut, nilai ekonomi berbasis internet Indonesia mencapai 40 miliar dolar atau Rp567,9 triliun. Angka tersebut diproyeksikan bakal melonjak 32 persen menjadi 133 miliar dolar pada 2025 mendatang.
Penetrasi bisnis ke ranah digital itu berbanding lurus dengan kebutuhan akses data di Indonesia. Celah kebutuhan data itu kemudian melahirkan bisnis yang populer dinamakan cloud computing atau komputasi awan. Konsep komputasi awan ini telah hadir sejak 2005 dan memicu antusiasme pelaku bisnis untuk mengakselerasi perusahaan dengan bantuan teknologi informasi.
The National Institute of Standards and Technology atau NIST menjelaskan komputasi awan sebagai sebuah model bayar sesuai penggunaan (pay per use) dalam menggunakan sumber daya komputasi, seperti server, jaringan, data, hingga penyimpan. Sumber daya tersebut kemudian tersedia dan dapat diakses dengan mudah lewat basis "awan”.
Awan merupakan analogi internet untuk menggambarkan ketersediaan jaringan yang dapat dikelola pengguna secara langsung tanpa perlu memasang aplikasi. Dengan kata lain, “awan” merupakan sistem yang dapat menghubungkan pengguna untuk mengakses sumber daya komputasi.
Teknologi komputasi awan ini, secara sadar atau tidak, sebenarnya kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika menyimpan file dalam Google drive. File yang disimpan tersebut secara langsung telah masuk ke dalam “awan” yang dibuat oleh pengguna. Pengguna lalu dapat secara bebas mengakses, menambahkan, hingga membagikan ”awan” tersebut sesuai keinginannya.
Secara umum, terdapat tiga model layanan komputasi awan yang tersedia. Ketiganya dapat digunakan sesuai kebutuhan dari pengguna atau bersifat on demand. Pertama, Software as a Service (SaaS). Layanan ini menyediakan penggunaaan perangkat lunak yang dapat digunakan tanpa harus memasang aplikasi. Melalui software tersebut, pengguna bisa menyimpan, mengakses data, hingga memakai berbagai fitur software. Contoh layanan SaaS antara lain Google Drive dan Dropbox.
Kedua, Platform as a Service (PaaS). Model layanan ini umumnya menyasar pengembang perangkat lunak karena PaaS menyediakan kerangka atau framework penyusun pemrograman. Salah satu model layanan PaaS yang populer di kalangan pengembang ialah Azure dan AWS.
Terakhir, Infrastructure as a Service (IaaS). Model layanan ini memungkinkan pengguna “membungkus” perangkat keras dan sistem operasi ke dalam bentuk virtual, termasuk di dalamnya penyimpanan, jaringan, hingga server cloud.
Kebutuhan komputasi awan yang semakin besar membuat peta persaingan perusahaan penyedia pun semakin sengit. Di Indonesia, bisnis ini masih didominasi oleh raksasa teknologi dari luar negeri, sementara pemain lokal belum terlalu nampak meramaikan panggung bisnis komputasi awan.
Potensi Ekonomi Komputasi Awan
Kemudahan akses dan integrasi data menjadi keharusan bagi perusahaan di era digital ini. Hal ini yang menjadikan kebutuhan komputasi awan semakin meningkat. Hasil riset World Economic Forum mencatat, terdapat beberapa teknologi potensial yang diadopsi oleh berbagai perusahaan pada 2025 mendatang. Paling potensial adalah enkripsi dan keamanan siber (29 persen), diikuti komputasi awan (17 persen).
Seiring makin progresifnya komputasi awan, tak heran kalau perusahaan seperti Netflix dan Adobe berhasil muncul di jajaran 15 perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar tertinggi.
Menurut laporan Bain berjudul Technology Report 2020: Taming The Flux,Adobe yang mengandalkan model layanan SaaS, masuk dalam peringkat 15 dengan kapitalisasi pasar mencapai 110 miliar dolar. Sedangkan Netflix mengisi posisi ke 14 dengan kapitalisasi pasar 117 miliar dolar. Kedua perusahaan komputasi awan itu kini mampu bersanding dengan raksasa teknologi seperti Microsoft dan Google yang sudah lebih dulu mendulang keuntungan dari komputasi awan.
Akselerasi bisnis komputasi awan semakin melesat di tahun 2020 ini. Teknologi ini bisa menjadi jembatan di tengah pembatasan aktivitas tatap muka akibat pandemi Covid-19. CB Insight dalam laporannya menjelaskan, perusahaan rintisankomputasi awan di seluruh dunia mendapat total suntikan modal hingga 3 miliar dolar atau sekitar Rp45 triliun selama kuartal kedua 2020.
“Banyak korporasi besar menggunakan momen ini (pandemi COVID-19) untuk mengalihkan operasionalnya ke awan dan mengantisipasi kemajuan zaman,”ujar Ken Fox, pendiri perusahaan investasi Stripes asal New York, seperti dilansir Tech In Asia.
Para pemain besar yang mendominasi bisnis komputasi awan juga melihat potensi besar Cina. Masih melansir laporan Bain, pasar IaaS negeri tirai bambu itu diprediksi tumbuh 60 persen dari total laju pertumbuhan majemuk tahunan atau Compound Annual Growth Rate (CAGR) global, yang mencapai 145 miliar dolar pada 2023.
Meski belum sebesar Tiongkok, Indonesia ternyata jadi negara yang menyimpan potensi keuntungan bagi perusahaan komputasi awan global.
Meski belum ditopang oleh kepastian regulasi, riuh bisnis komputasi awan di Indonesia tetap terasa. Boston Consulting Group (BCG) memproyeksikan, Indonesia bakal mendapatkan 40 miliar dolar dalam rentang 2019 hingga 2023, baik dari sektor public cloud mau pun private cloud.
“Sektor public cloud menjadi yang paling berdampak langsung, disusul sektor private cloud. Pertumbuhan bisnis ini juga didorong pertumbuhan industri dan peningkatan belanja konsumen,” tulis BCG dalam laporannya.
Derasnya pertumbuhan bisnis ini juga dapat ditinjau dari ekspansi perusahaan komputasi untuk membangun pusat data di Indonesia. Pada Juni lalu, Google Cloud telah resmi beroperasi di Indonesia. Tidak ketinggalan, Amazon Web Service (AWS) ikut meramaikan bisnis komputasi awan Indonesia usai memastikan pembangunan pusat data senilai 2,5 miliar dolar pada 2021.
Terganjal Keamanan data dan Ketidakpastian Regulasi
Meski punya banyak potensi, ada masalah terkait komputasi awan di Indonesia, terutama perkara regulasi dan keamanan data.
Revisi Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik mendapatkan kritik tajam dari berbagai pihak. Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) dalam siaran persnya menyebut besar kemungkinan implikasi yang merugikan masyarakat sipil dalam baleid yang diteken 16 Oktober 2019 ini.
Implikasi itu lahir akibat diperbolehkannya penyelenggara sistem elektronik menyimpan data di luar wilayah Indonesia. Padahal, Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2019 telah lebih dulu memberi arahan tidak ada unsur kompromi dalam regulasi keamanan data.
“Kami berharap Presiden Jokowi dalam kabinet barunya bisa mempunyai pembantu yang bisa menerjemahkan keinginan Presiden dengan lebih baik, bukan malah membuat aturan yang bertolak belakang dengan kemauan Presiden," kata Alex Budiyanto, Ketua Umum ACCI.
Lemahnya regulasi terkait data di Indonesia membuat pengguna layanan komputasi awan mengambil langkah lebih dulu untuk mengamankan datanya. Hal itu disampaikan Program Manager Kelas Muda Demokrasi Digital (Kemudi), Resa Temaputra yang menganggap Indonesia masih punya pekerjaan besar dalam membenahi masalah keamanan data.
Menurut Resa, jejak digital seseorang punya potensi untuk disalahgunakan. Hal itu membuat pengguna layanan digital, termasuk komputasi awan untuk mengontrol dan mengurangi risiko keamanan data. Resa mengungkapkan, sudah banyak alternatif yang bisa dilakukan pengguna untuk mengamankan data dirinya. Resa mencontohkan kehadiran beberapa layanan pemeriksa pencurian data, salah satunya Periksadata.com.
“Setiap hal yang kita lakukan, ada jejaknya jadi kita sendiri yang harus mengendalikan privasi digital. Ada hal-hal yang bisa dikontrol, ada yang tidak bisa dikontrol karena melibatkan pihak lain yang mengunggah," kata Resa dalam pelatihan virtual #KendalikanPrivasimu yang diselenggarakan oleh Pamflet Generasi, Rabu (04/11).
Soal keamanan data di sistem awan dan mengembangkan akses ke layanan mereka, perusahaan besar seperti Facebok mengupayaan ekspansi pusat data dan mengerahkan sumber daya manusia terlatih. “Kita sebagai platform menyadari potensi keamanan data itu, termasuk di sistem awan," ujar Dessy Septiane, Policy Program Manager Facebook Indonesia.
"Keuntungan dari Facebook sebagai platform global menjadikan kami punya sumber daya manusia terlatih dari berbagai negara yang bisa mengantisipasi hal itu. Hal ini juga yang jadi concern Facebook Indonesia."
Editor: Nuran Wibisono