tirto.id - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sedih mendapatkan hasil survei Setara Institute yang menyatakan DKI Jakarta berada di posisi 92 dari 94 wilayah dalam Indeks Kota Toleran.
"Jakarta itu kan kota majemuk. Seluruh warga punya hak untuk tinggal dan datang di Jakarta. Jangan karena beda pendapat dan gubernur jadi seperti ini," ujar Tjahjo ketika ditemui di Jakarta Pusat, pada Jumat (7/12/2018) sore.
Tjaho menekankan, jangan sampai Pemilihan Kepala Daerah menjadi ajang pecah belah. "Bayangkan tetangga bisa enggak kompak. Kan sedih sekali. Marilah kita dewasa, jangan pendekatan memecah belah," kata Tjahjo.
Hasil riset Setara Institute menunjukan Jakarta berada di posisi ketiga terbawah dalam Indeks Kota Toleran, bersama Banda Aceh di posisi 93 dan Tanjung Balai di posisi 94.
Direktur Riset Setara Institute Halili, mengatakan, posisi Jakarta tahun ini relatif baik ketimbang tahun 2017 lalu. "Tahun lalu Jakarta itu paling rendah. Sekarang membaik," ujarnya kepada Tirto.
Namun, Halili menilai, minimnya tindakan pemerintah DKI Jakarta dalam meredam bentuk intoleransi, menjadi faktor bahwa Jakarta tetap berada di urutan terbawah. "Regulasi pemerintahnya tidak progresif. Padahal potensi intoleransinya tinggi," ujarnya lagi.
"Tindakan pemerintahnya tidak menonjol, peristiwanya tinggi. Demografi agama beragam tapi tidak dibarengi inklusi sosial keagamaan. Begitu banyak kita saksikan ujaran kebencian, persekusi di DKI ini," kata dia.
Halili menambahkan, posisi Jakarta yang berada di urutan bawah soal toleransi ini juga dilatarbelakangi oleh pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang meningkat sejak 2018.
Bahkan, kata dia, pelanggaran tersebut mengalahkan Jawa Barat yang dalam 10 tahun terakhir tercatat memiliki angka pelanggaran terbesar. "Baru kali ini ada provinsi selain Jawa Barat yang bisa memiliki skor pelanggaran KBB sebesar itu," kata dia.
Apabila DKI mau memperbaiki tingkat Indeks Kota Toleran, Halili menyarankan supaya Gubernur Anies Baswedan mencontoh Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi yang rela kepalanya ditembak ketimbang harus mencabut IMB Gereja Santa Clara.
"Kalau contoh itu. Itu kan statement publik yang kuat. Pernah Anies Baswedan begitu? Pernyataannya tak ada. Tindakannya juga tak ada," pungkas Halili.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Alexander Haryanto