tirto.id - Presiden Jokowi memang sedang dekat dengan Presiden Cina Xi Jinping. Jalur Sutera yang digagas Xi Jinping seide dengan Jokowi yang bermimpi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia. Meski keduanya memiliki ide besar buat kejayaan negara, tetapi tampaknya mereka berbeda untuk urusan penindakan korupsi.
Sejak menjabat pada 14 Maret 2013, Presiden Xi bersumpah menghukum berat para koruptor, bahkan jika perlu mengeksekusi mati. Sedikitnya 100 ribu pejabat atau mantan pejabat telah dinyatakan bersalah dan dihukum. Liu Zhijun, mantan Menteri Perkeretaapian Cina, dieksekusi mati setelah terbukti menerima suap saat menjabat.
Sementara di Indonesia, pada akhir Juli lalu, tiba-tiba saja Luhut Binsar Panjaitan yang saat itu masih menjabat Menko Polhukam, justru menyatakan bahwa pemerintah sedang mengkaji kebijakan yang bakal mengenyampingkan hukuman pidana penjara bagi koruptor.
"Kalau koruptor terbukti merugikan negara, kita bisa hukum dengan mengembalikan uang negara, ditambah penalti, dan pemecatan dari jabatannya. Kalau masuk penjara, maka penjara kita bisa penuh nanti," ujar Luhut kepada wartawan, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, pada Selasa (26/7/2016).
Luhut bahkan mengatakan, Presiden Jokowi bersama Kemenko Polhukam dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah membentuk tim pengkaji.
Meski Luhut menambahkan bahwa pembahasan penghapusan pidana bagi koruptor masih pada tahap awal, tetap saja alasan penjara bakal dipenuhi koruptor terasa menggelikan.
Maklum, berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Pas) Kemenkumham, jumlah koruptor yang menjadi narapidana penghuni berbagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hanyalah 3.632 orang atau 3 persen dari jumlah total penghuni Lapas sebanyak 197.670 orang.
Memang benar bahwa jumlah 197.670 orang penghuni Lapas sangat jauh melebihi kapasitas sebesar 118.969 orang. Terdapat kelebihan kapasitas 78.701 orang. Hanya saja, narapidana koruptor ternyata hanya 3 persen dari jumlah total penghuni berbagai Lapas di negeri ini.
Justice Collaborator Dihapus
Lalu kajian seperti apakah yang sedang dilakukan Tim Kemenkumham seperti disampaikan Luhut tadi?
Ternyata saat ini Kemenkumham memang sedang merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksana Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Sejauh ini, revisi barulah sampai pada tahap pembahasan. “Belum, kita masih pembahasan, minta pendapat ahli-ahli. Belum sampai ke presiden,” kata Asep Wisnu, Biro Komunikasi dan Informasi Kemenkumham, saat ditemui tirto.id, pada Kamis (18/8/2016).
Adakah keterkaitan revisi PP No. 99/2012 tersebut dengan kebijakan “keringanan” hukuman bagi koruptor?
Ternyata Menkumham Yasonna Laoly sudah menyatakan bahwa revisi terhadap PP No. 99/2012 perlu dilakukan, karena ada pengetatan aturan pemberian remisi kepada napi kasus korupsi, narkotika dan terorisme. “Saya jujur, sekarang sudah banyak studi dan beberapa kampus merekomendasikan agar ini (PP No. 9/2012) diubah," katanya, pada Rabu (22/7/2016).
Pengetatan dalam pemberian remisi inilah, tambah Yasonna, telah membuat Lapas menjadi kelebihan kapasitas.
Lalu, bagaimana sebenarnya “keringanan” bagi para napi kasus korupsi dalam revisi yang kini sedang dalam proses pembahasan tadi?
Jika melihat PP No. 99/2012, yakni pada Pasal 34A (1), diatur tentang syarat tambahan agar narapidana korupsi bisa mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman, yakni: (a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (menjadi justice collaborator); (b) telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2011 tentang “Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator”, istilah “Justice Collaborator” dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
Nah, berdasarkan draf revisi terhadap PP No. 99 Tahun 2012, soal “Remisi Umum” diatur dalam Pasal 30. Selanjutnya pada Pasal 32 diatur syarat yang harus dipenuhi para narapidana, yakni poin (1) berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 (sepertiga) masa pidana. Khusus bagi narapidana korupsi dan pencucian uang, tercantum dalam poin (2) “telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan”.
Syarat harus menjadi justice collaborator sebagaimana diatur PP No 99/2012, ternyata justru dihilangkan dalam draf yang kini sedang dimatangkan oleh Tim Kemenkumham tersebut.
Hilangnya syarat menjadi justice collaborator tentu menjadi pertanyaan banyak pihak. Salah satunya dilontarkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). “Kami menemukan bahwa justice collaborator tidak ada dalam revisi baru. Ini sangat janggal bagi kami,” kata Erasmus AT Napitupulu, peneliti dari ICJR, kepada tirto.id, pada Sabtu (13/8/2016).
Menurut Erasmus, ada dua hal yang harus diceramti terkait hilangnya syarat harus menjadi justice collaborator jika ingin mendapatkan remisi. Pertama, justice collaborator justru sangat diperlukan karena korupsi merupakan kejahatan teroganisir, sistemik dan mempunyai jaringan.
Kedua, ICJR menengarai bahwa saat ini, status menjadi justice collaborator bagi para narapidana, justru menjadi lahan baru korupsi karena status itu diperjual-belikan di Lapas agar seorang narapidana korupsi mendapat remisi.
“Kami minta Ditjen Pemasyarakatan (Ditjen Pas) membuka semua narapidana korupsi yang mendapatkan remisi pasca 2012. Kita minta, siapa nama-namanya dan alasan pemberian remisi. Kalau di sana alasan pemberian remisi adalah justice collaborator, maka sangat mudah meilhat ada permainan atau tidak,” kata Erasmus.
Sementara itu, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agaknya juga keberatan dilakukan revisi terhadap PP No. 99/2012. “Kami sudah sampaikan sikap. Jadi kalau alasannya hanya over capacity terhadap lembaga pemasyarakatan, tidak semestinya ya dilakukan revisi terhadap PP itu,” kata Agus Rahardjo, Ketua KPK, pada Kamis (18/8/2016).
Begitulah, memberi keringanan kepada para koruptor dengan salah satu alasan bahwa Lapas kelebihan kapasitas tampaknya memang terlalu menyederhanakan masalah.
Pemerintahan Presiden Jokowi harus ingat bahwa berdasarkan laporan Transparency International (TI) tentang indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index-CPi) untuk tahun 2015, yang dirilis awal tahun 2016. Indonesia berada di peringkat ke-88 dari 168 negara.
Skor CPI Indonesia adalah 36 atau berada di bawah nilai rata-rata 43. Penilaian skor CPI maksimal adalah 100. Semakin besar skor, justru menunjukkan semakin bersih suatu negara dari korupsi. Negara-negara di peringkat atas dengan skor tinggi adalah Denmark, Fiinlandia, Swedia, atau Selandia Baru.
Apalagi menurut Agus Rahardjo, justru diperlukan percepatan dan inovasi dalam pemberantasan korupsi. “Tidak dipungkiri, saat ini Indonesia belum sepenuhnya merdeka dari kejahatan korupsi. Perlu adanya akselerasi dan inovasi dalam agenda memberantas korupsi,” katanya.
Jadi mengapa para narapidana korupsi justru harus diberi keringanan?
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho