Menuju konten utama
Miroso

Mencari Asal-Usul Usal di Pantai Kukup

Sejak dulu, usal sebenarnya merupakan bagian dari sumber protein masyarakat pesisir Gunungkidul yang bergantung pada hasil laut.

Mencari Asal-Usul Usal di Pantai Kukup
Header Miroso Usal. tirto.id/Tino

tirto.id - "Ayo kita cari usal di Pantai Kukup," ajak kawan saya suatu hari.

Usal? Apa itu? Saya yang tak tahu apa itu usal, semangat juga untuk mencari tahu dan mencobanya. Apalagi penelusuran di internet tidak dapat memberikan gambaran utuh seperti apa usal ini.

Hal yang sudah pasti adalah usal merupakan nama lokal dari keong laut. Jadi makanan ini menggunakan keong laut sebagai bahan utamanya. Menurut berbagai sumber, hewan dengan nama latin Turbo argyrostomus ini memang mudah ditemukan di pesisir pantai. Keong ini berbeda dengan keong darat. Keong laut tidak memiliki lendir. Karena itu, pengolahannya pun lebih mudah dibandingkan keong darat.

Sepanjang dua jam perjalanan dari daerah Sleman menuju Pantai Kukup di Gunungkidul, saya membayangkan seperti apa bentuk dan rasanya. Untuk berbagai makanan yang belum pernah saya coba, membayangkannya justru meningkatkan rasa penasaran.

Di Pantai Kukup dan sekitarnya, usal merupakan salah satu makanan yang umum dikonsumsi masyarakat lokal. Meski begitu, rupanya olahan usal ini tidak banyak dijual. Mungkin karena itulah, informasi yang dapat saya kumpulkan tidak terlalu lengkap.

Salah satu penjual usal yang aktif adalah Pak Ji, yang warungnya terletak di lahan parkir Pantai Kukup. Di warungnya, usal disajikan dalam berbagai olahan. Rupanya, beliaulah pelopor penjual usal yang kini diikuti oleh banyak warung makan di Pantai Kukup. Sambil menunggu istrinya memasak, Pak Ji bercerita panjang lebar tentang usal ini.

"Dulu awalnya kami hanya jualan mie ayam, Mbak," ujar Pak Ji. "Sama seperti penjual-penjual warung lainnya."

Pak Ji baru mulai menyajikan usal di warungnya pada tahun 1996. Pembelinya dulu hanya sebatas kenalan, sebelum akhirnya reputasi usal buatannya meluas dari mulut ke mulut. Usal pun terpampang di menu dan dicari oleh turis yang datang ke Pantai Kukup.

Sejak dulu, usal sebenarnya merupakan bagian dari sumber protein masyarakat pesisir Gunungkidul. Sebelum tahun 1995, usal tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, tidak ada yang berpikir untuk menjualnya. Karenanya, usal dipilih sebagai tambahan lauk di kalangan warga.

Sementara, hasil laut lainnya seperti udang, ikan, dan cumi-cumi dianggap memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Karenanya, mereka jarang mengonsumsinya di rumah. Hasil tangkapan yang memiliki nilai jual tinggi lebih baik dijual untuk mendapatkan uang dan membiayai kehidupan mereka.

Warga setempat secara sambil lalu berburu usal ini di antara bongkahan batu karang di tepi pantai, untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Usal memang berumah di di bongkahan batu karang. Kegiatan berburu usal dilakukan ketika air laut surut dan usal dapat mudah diambil. Karena bergantung pada surutnya air laut, usal-usal ini dapat dipanen pada musim-musim tertentu saja.

Menurut Pak Ji, warga lokal pada masa itu memang menjadikan usal sebagai salah satu solusi untuk melengkapi kebutuhan gizi dalam makanan kesehariannya. Tanah di pesisir memang tak sesubur tanah di pegunungan, karena itu masyarakat bergantung lebih banyak pada hasil laut untuk makan sehari-hari.

Di rumah-rumah warga, termasuk rumah Pak Ji, usal sudah biasa terhidang di pawon. Bahan makanan ini kerapnya diolah dengan bumbu sederhana, dengan resep yang biasa mereka gunakan sehari-hari. Tumis/oseng atau tongseng usal adalah olahan yang paling sering ditemukan, disajikan bersama sambal dan lalapan seadanya.

Infografik Miroso Usal

Infografik Miroso Usal. tirto.id/Tino

Pengolahan usal ini tidak terlalu rumit, tapi harus urut dan runut. Sebelum dimasak, usal biasanya direbus dulu bersama cangkangnya. Setelah itu, daging dapat dengan mudah dipisahkan dari cangkang dan kemudian dicuci hingga bersih. Usai dicuci, barulah usal dapat diolah menjadi lauk dan disajikan untuk makan.

Sajian usal ini tersebar dengan tidak sengaja. Sejak banyak yang mencicipinya, usal mulai dicari masyarakat dari luar daerah tersebut.

"Saudara datang, tamu datang, pas kami memasak usal. Ya lalu kami tawari makan, tanpa tujuan khusus. Hanya hidangan begitu saja," jelas Pak Ji.

Hal ini tidak hanya terjadi di rumah Pak Ji, tapi juga di rumah warga lain. Lambat laun, keluarga yang datang kembali mulai bertanya. Rupanya respons tamu-tamu ini dinilai cukup positif oleh Pak Ji dan istrinya. Pak Ji sendiri lantas memanfaatkan hal ini dengan mencoba menambahkan menu tersebut di warungnya. Setelah mulai tersebar luas, warung-warung lain turut menjual yang sama.

Seiring naiknya pariwisata di pantai Gunungkidul, pamor usal juga ikut naik. Banyak wisatawan yang mencicipi usal dan memesan kembali ketika mereka berkunjung lagi ke daerah tersebut. Repeat order, kalau dalam bahasa bisnisnya. Tumis usal pun mulai dikenal di luar Gunungkidul. Ternyata, rasanya cocok untuk lidah para turis ini.

Meski dulu hanya disajikan secara sederhana, kini usal mulai dimasak dengan aneka pilihan bumbu. Pak Ji sendiri mengakui kalau dirinya sempat ikut kursus memasak masakan Cina agar dapat menyajikan hasil laut yang tidak monoton, termasuk usal.

Pada saat saya menyambangi warungnya, usal pun ditawarkan dengan berbagai ragam jenis olahan, mulai dari rica, tongseng, tumis, hingga goreng tepung. Pepes usal juga ditawarkan oleh penjual-penjual lain, tapi hidangan ini harus dipesan terlebih dahulu beberapa hari sebelumnya.

Setelah saya mencicipinya, tekstur daging usal mirip dengan cumi-cumi, sedikit kenyal. Usal goreng tepung dan tongseng yang saya pesan keluar bersama satu set sambal bawang, lalapan, dan nasi hangat.

Pak Ji bercerita bahwa usal ini tidak hanya bisa dimakan sebagai lauk. Sejak jaman dulu, usal juga kerap dikonsumsi sebagai camilan. Usal rebus atau usal goreng disajikan untuk teman wedangan.

Menurut Pak Ji, meski sama-sama pesisir pantai kawasan Gunungkidul, pada kenyataannya usal ini hanya disajikan di warung-warung di Pantai Kukup dan Pantai Krakal. Saat ini, masih banyak warga yang mencari usal untuk diolah sendiri, tapi tak jarang yang mulai menjual hasil tangkapannya ke warung-warung sekitar. Bahkan sudah ada beberapa distributor usal yang menjual usal mentah ini ke warung-warung makan untuk diolah dan dijual ke para wisatawan.

Pak Ji sendiri mengaku kalau dulu dia mencari sendiri usalnya. Namun semenjak usianya makin beranjak, dia selalu membeli usal-usal ini dari distributor usal. Pak Ji kerap membeli dalam jumlah besar untuk kemudian disimpan.

"Agar tidak kehabisan, Mbak. Karena kalau pas bukan musimnya, usal menyusut..." jelasnya. “Kalau tidak stok, tidak mungkin bisa menyajikan setiap hari.”

Iya juga. Kalau sudah jauh-jauh ke Pantai Kukup untuk mencicip usal, dan ternyata habis, pasti turis-turis seperti saya akan kecewa, kan?

Baca juga artikel terkait GUNUNGKIDUL atau tulisan lainnya dari Rizkie Nurindiani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono