tirto.id - Siang di Kathmandu, Nepal, berjalan seperti biasa pada 25 April 2015. Banyak turis berlalu-lalang di Kathmandu Durbar Square. Sejumlah orang lain tampak melihat-lihat barang untuk trekking. Hingga kemudian tanah terasa bergetar. Lalu seolah berguncang. Gempa! Orang-orang histeris. Bangunan-bangunan rontok macam daun kena angin.
Hari itu, Nepal mengalami salah satu gempa paling besar dalam sejarah. Beberapa laporan menyebut gempa itu berkekuatan 7,9 SR. Sedangkan China Earthquake Networks Center menyebut kekuatan gempa itu 8,1 SR. Setelahnya, ada beberapa gempa susulan dengan skala 5 hingga 6. Gempa itu menyebabkan longsor di Gunung Everest dan menewaskan sekitar 21 pendaki. Total korban jiwa dalam gempa besar ini diperkirakan lebih dari 8.800 orang. Sebulan kemudian, ada gempa 7,3 SR yang menyebabkan 153 jiwa melayang.
Selain menyebabkan 3,5 juta jiwa kehilangan rumah, gempa ini juga merusak sendi utama ekonomi Nepal: pariwisata. Di Kathmandu Durbar Square, yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO, beberapa candi runtuh. Begitu pula candi kuno di berbagai titik lain. UNESCO memperkirakan butuh 160 juta dolar untuk membangun kembali candi, rumah bersejarah, kuil, dan biara yang runtuh.
Pada 2014, total kontribusi pariwisata ke Produk Domestik Bruto Nepal mencapai 8,9 persen. Sektor pariwisata juga menghadirkan satu juta pekerjaan langsung, atau sekitar 7,5 persen dari total pekerjaan di Nepal. Pariwisata mendatangkan 790 ribu wisatawan mancanegara (wisman) ke Nepal pada 2014. Usai gempa besar terjadi, diikuti lambat dan sukarnya pemulihan, hanya 530 ribu wisman yang datang pada 2015, turun 31 persen. Ini tentu pukulan telak.
Nepal bukan satu-satunya daerah wisata yang mengalami kemerosotan usai bencana alam. Yogyakarta adalah contoh paling dekat. Pada 27 Mei 2006, Yogyakarta diguncang gempa berkekuatan 6,2 SR, menyebabkan sekitar 6.000 orang meninggal, dan 200 ribu lainnya kehilangan rumah.
Pariwisata di Yogyakarta sempat mengalami pukulan telak. Candi Prambanan mengalami kerusakan struktural, Kraton Yogyakarta rusak parah, begitu pula dengan Makam Imogiri. Kerusakan ini diperparah dengan ditutupnya Bandara Adi Sutjipto karena landasan retak. Saat itu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memperkirakan sektor pariwisata Yogyakarta kehilangan pendapatan sekitar 1 miliar dolar.
Bencana Dalam Industri Pariwisata
Bill Faulkner dalam “Towards a Framework for Tourism Disaster Management” (2000), membagi dua jenis tragedi dalam koridor pariwisata: krisis dan bencana. Secara sederhana, krisis dapat diartikan sebagai kejadian yang diakibatkan oleh manusia. Ini bisa mengacu pada terorisme (kejadian Bom Bali), hingga tragedi Chernobyl. Sedangkan bencana adalah fenomena alam yang muncul tiba-tiba, mulai dari angin topan, tanah longsor, tsunami, juga gempa bumi.
Berbeda dengan krisis yang bisa dicegah dengan mitigasi yang tepat, bencana alam sukar diprediksi. Jikapun bisa diprediksi, manusia hanya punya, “...sedikit kontrol”, dan meminimalisir risiko. Seringkali, bencana datang tanpa bisa diprediksi. Gempa bumi adalah jenis bencana yang hingga sekarang tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Ini membuat penanganan pasca bencananya makin sukar.
Di posisi seperti itu, pemerintah akan mengalami situasi simalakama, seperti yang saat ini terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Secara insting, ketika ada bencana terjadi, pemerintah dan pelaku industri wisata akan menyelamatkan turis terlebih dulu. Ini bukan tanpa alasan, bukan pula tindakan diskriminatif. Faulkner, mengutip Burby & Wagner (1996) serta Drabek (1992), menulis: saat terjadi bencana, turis adalah kelompok paling rentan dan terancam ketimbang warga lokal.
“Ini karena para turis kurang begitu familiar dengan kondisi lokal, nyaris tak bisa mengandalkan sumber daya apapun untuk menghindari bahaya, pun mereka lebih punya ketergantungan.”
Begitu pula perkara status bencana nasional. Pemerintah jelas berada dalam posisi pelik. Memang seharusnya ada pemakluman mengapa pemerintah pusat belum (atau bahkan tidak akan) memberi status bencana nasional bagi Lombok. Selain yang sudah berulang kali disampaikan oleh Gubernur NTB maupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana, ada pula alasan yang bisa ditengok dari kacamata pariwisata.
Menurut Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, status bencana nasional bisa mematikan perekonomian banyak warga NTB yang menyandarkan penghidupan pada pariwisata. Dampak paling terlihat: menurunnya jumlah wisatawan. Padahal, tulis TGB dalam siaran pers, tidak semua daerah di NTB kena gempa. Tempat wisata seperti KEK Mandalika, Sekotong, juga Pulau Moyo masih bisa dikunjungi wisatawan.
"Apabila gempa Lombok ini dinyatakan sebagai bencana nasional, maka Pulau Lombok dan Sumbawa akan 'mati' dan pemulihannya akan lama. Padahal sektor pariwisata adalah salah satu andalan pertumbuhan ekonomi NTB," tulis TGB.
Argumen yang dikemukakan TGB senada dengan yang disampaikan oleh Muhammad Baiquni. Peneliti senior di Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada ini beranggapan penetapan status bencana nasional bisa berpengaruh pada pariwisata Lombok dan NTB secara keseluruhan.
“Status (bencana nasional), jelas akan membuat dunia melongok ke Indonesia. Akan terekspos kalau seluruh Indonesia (seolah-olah) sedang gawat. Jadi memang harus hati-hati memberikan status bencana nasional,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi bidang Geografi dan Pendidikan Geografi se-Indonesia ini.
Kasus Yogyakarta, ujar Baiquni, bisa dijadikan contoh. Gempa besar itu tidak dimasukkan sebagai bencana nasional, tetapi lebih cepat teratasi karena nyaris nihilnya polemik, terutama yang dibuat oleh mereka yang punya motif politik. Saat itu semua pihak bahu membahu mempercepat pemulihan dan pembangunan kembali Yogyakarta.
“Solidaritas waktu ada gempa itu kuat. Waktu itu juga banyak peran orang-orang yang punya ikatan batin dengan Yogya. Jadi lebih cepat,” tutur Baiquni.
Bagaimana Bangkit dari Bencana dan Krisis
Pariwisata Yogyakarta saat itu sempat terpukul, tetapi tidak lama. Dalam perhitungan Baiquni, masa “istirahat” pariwisata Yogyakarta setelah gempa hanya berlangsung selama enam bulan. Setelahnya, pariwisata Yogyakarta kembali menggeliat. Baiquni juga mencatat bagaimana kecerdikan warga Yogyakarta dalam mengemas pariwisata. Apa yang disebut sebagai disaster tourism, alias pariwisata bencana, bisa berjalan di Yogyakarta. Misal: banyaknya pengusaha wisata yang bikin tur Merapi. Juga dengan adanya Museum Gunung Merapi, ataupun warga lokal yang membuka warung kopi di kaki Merapi.
Apa yang dilakukan oleh warga Yogyakarta ini bukan hal baru dalam dunia pariwisata. Faulkner menyebut hal itu bisa dilakukan ketika warga lokal yang terdampak bencana sudah masuk dalam tahap adaptasi. Tahapan ini ditandai oleh berkurangnya perasaan duka, komunitas lokal sudah bangkit, mengembangkan cara untuk berdamai dengan keadaan, dan memulai usaha untuk menata hidup lagi.
Dalam "Tourism and Disaster Planning" (1989), Peter E. Murphy dan Robin Bayles menulis kalau warga lokal yang sudah berada dalam tahapan pemulihan dan adaptasi bisa "memanfaatkan" bencana untuk sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Umumnya, usaha warga lokal itu juga akan dibantu oleh media yang akan memberikan pemberitaan.
"Eksposur itu bisa meningkatkan kunjungan wisatawan yang bisa menghasilkan pemasukan untuk membantu pemulihan dan membantu hidup pasca bencana," tulis Murphy dan Bayles.
Bangkitnya pariwisata Yogyakarta dengan cepat juga bisa terjadi berkat respons cepat post-crisis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata kala itu, yang membentuk Java Tourism Care dan Java Crisis Tourism Media Center. Dua organ pariwisata ini yang kemudian rajin memberikan informasi dan pemasaran ke media internasional bahwa Yogyakarta aman dikunjungi.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Kementerian Pariwisata Meksiko saat terjadi gempa pada 19 September 2017. Dua hari setelah gempa besar yang menewaskan 370 orang itu, Kementerian Pariwisata meluncurkan kampanye pariwisata baru bertajuk: Mexico, a World of Its Own, lengkap dengan slogan tambahan, how far you will go?
“Kami telah memutuskan bahwa yang lebih penting adalah mengabari dunia bahwa kami masih tegak berdiri. Kalau orang-orang menanyakan bagaimana cara membantu Meksiko, caranya ya dengan melancong ke sini,” ujar Sekretaris Pariwisata Meksiko, Enrique de la Madrid.
Yang kemudian tak boleh dilupakan oleh pemerintah adalah bagaimana kembali membangun sumber daya manusia, juga komunitas-komunitas lokal. Sebab mereka adalah orang-orang yang paling kena dampak, sekaligus yang kelak akan jadi motor kebangkitan suatu daerah seusai bencana.
Saat ini Lombok memang masih berada dalam tahap siaga dan was-was, apalagi gempa susulan masih terjadi terus menerus. Pemerintah daerah maupun pusat punya banyak pekerjaan besar, termasuk hal yang tampak sepele padahal penting: menghindari kesalahan komunikasi --semisal memakai kata “rugi” seperti yang disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung beberapa waktu lalu. Sedangkan bagi para politisi yang ingin menunggangi isu ini: ketimbang tak membantu, menutup mulut rasanya adalah pilihan terbaik.
Pekerjaan tak akan bertambah ringan ketika Lombok sudah melewati masa krisis. Pemerintah, warga lokal, juga para pelaku pariwisata masih harus menata kembali perekonomian di sana --penataan ini bisa makan waktu bertahun-tahun. Hal itu termasuk membangun ulang citra pariwisata dan mengampanyekan bahwa Lombok masih tetap sama seperti sebelum gempa: tempat yang menyenangkan, dengan orang-orang ramah, dan makanan yang pilih tanding. Ketika masa pemulihan itu tiba, orang Lombok dan pengusaha pariwisatanya bisa menyitir apa yang dibilang oleh Enrique de la Madrid.
“Kalau mau tahu cara paling cepat membantu kami, mari melancong ke Lombok.”
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti