tirto.id - Hari sudah menjelang sore pada Jumat pekan lalu, 20 Desember, saat Abdul Kadir, 66 tahun, berdiri menatap hamparan hijau sawah di depannya. Siapa sangka di tengah hutan beton Jakarta, rupanya terselip 420 hektare sawah di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Kadir memiliki 1,5 hektare di antaranya.
Hamparan padi di depannya baru berusia 10 hari, diperkirakan bisa dipanen pada Februari 2020. Sebelum itu, Kadir rutin mengunjungi sawah setiap hari untuk mengontrol air, gulma, dan hama. Jika ada rumput di sisi padi, ia mencabutnya; jika ada hama, ia menyemprotnya dengan pestisida.
"Jadi petani itu sebenarnya menjanjikan. Yang penting itu 'susu ultra'; Sungguh-sungguh, ulet, terampil," kelakar Kadir.
Dalam satu tahun Kadir bisa panen dua kali. Total 10 ton gabah kering terkumpul dalam satu kali panen. Kadir mengaku enggan menjual langsung gabahnya. Ia memilih menahan dulu gabah sampai sebulan hingga harga naik. Perbedaannya lumayan: kala baru panen harga gabah hanya Rp300 ribu per kuintal; sebulan kemudian bisa naik menjadi Rp450 ribu per kuintal.
"Kan 15 juta (keuntungan) saya dapat. Nah, dari hasil begitu bisa mengurusi anak sekolah," kata Kadir.
Kadir sudah bertani sejak usia 12 tahun. Sejak itu, ia sudah menunaikan dua kali ibadah haji dan satu kali umrah. Tiga dari lima anaknya berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sementara si bungsu kini masih kuliah.
Dengan pencapaiannya itu, Kadir dipandang "petani sukses" di kampungnya. Itu pula yang membuatnya diangkat menjadi Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kelurahan Rorotan.
Meski begitu, usaha pertanian Kadir tak selalu mulus. Nyaris setiap masa tanam, padinya selalu ada penyakit, belum lagi serangan hama. Dua tahun lalu, Kadir bercerita, jumlah panennya amblas hingga bersisa hanya 4 ton lantaran serangan penyakit dan hama.
Ada satu cara yang digunakan untuk memberantas hama, yakni memanfaatkan organisasi tani untuk membersihkan lahan bersama-sama.
Pasalnya, jika hanya satu petani yang membersihkan lahan sendirian, ada potensi hama justru berpindah ke lahan yang lain. Pembersihan secara bersama-sama agar hama terdesak dan benar-benar terusir dari sawah.
Selain itu, petani kerap terjerat oleh utang ke tengkulak.
Mansyur, 57 tahun, misalnya, di tengah masa tanam tak menentu dan rawan penyakit, ia mengaku pernah butuh tambahan Rp5 juta untuk membeli pestisida atau pupuk dan lain-lain. Untuk memenuhi itu, ia terpaksa meminjam ke tengkulak dan saat meminjam disepakati pembayaran dengan dua ton gabah.
Sialnya, ketika panen, harga gabah cukup tinggi, mencapai Rp400 ribu per kuintal. Artinya, semestinya ia mendapat Rp8 juta jika ia tak meminjam.
"Ya mau gimana lagi? Saya, kan, dari kampung enggak bawa modal, cuma bawa dengkul doang," kata Mansyur.
Menanti Ajal
Waskin, 62 tahun, berjalan mantap meniti pematang sawah seakan ia bisa melaluinya sambil tutup mata. Ia memanggul tangki semprot yang baru saja dia pakai sembari tangan kanannya menenteng bungkusan berisi botol-botol pestisida. Saya berjalan hati-hati di belakangnya, hampir-hampir tertinggal oleh laki-laki asal Indramayu itu.
"Ini patok-patok punya pengembang," kata Waskin menunjuk sejumlah patok putih yang tersebar di sawah.
Waskin tak bisa menjawab ketika ditanya luas lahan yang dikuasai pengembang. Ia hanya mengedarkan telunjuknya ke hamparan sawah seraya berkata itu tanah milik pengembang, termasuk lahan yang ia garap.
Waskin mengaku sudah bertani sejak 2005. Sebelumnya, ia bekerja sebagai penjaga kampus di Bogor. Awalnya ia menggarap sekitar 4 hektare sawah, kemudian sebagiannya diambil oleh Pemprov DKI Jakarta untuk pembangunan rumah susun Rorotan pada 2017 sehingga yang tersisa hanya tinggal 3 hektare.
Beberapa waktu kemudian, lahan garapan Waskin kembali diambil untuk pembangunan makam.
Dalam sekali panen, Waskin harus membayar sekitar Rp2 juta kepada pengembang sebagai biaya sewa tanah. Ia tak tahu kapan sawah sumber penghidupannya akan direnggut, tapi jika waktu itu tiba, ia mau tak mau harus menerimanya.
"Pulang ke Indramayu, mau ngapain lagi di sini?" kata Waskin.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, luas sawah Jakarta selalu menyempit karena beralih fungsi sebagai lahan dengan nilai ekonomis lebih tinggi.
Pada 2011, DKI Jakarta memiliki 1098 hektare sawah, paling banyak di Jakarta Utara dengan total 593 hektare serta di Jakarta Barat 259 hektare. Luas sawah itu terus menyusut setiap tahun dan pada 2013 hanya tersisa 895 hektare.
Pada 2015, luas sawah di Jakarta tersisa 653 hektare, 460 hektare di antaranya di Jakarta Utara; 116 hektare di Jakarta Barat; dan 77 hektare di Jakarta Timur.
Menyempitnya luas sawah tentu berdampak pada penurunan hasil panen.
Produksi padi di Jakarta tahun 2015 hanya mencapai 6361 ton dan menjadi terendah dalam lima tahun sebelumnya. Produksi tertinggi pada 2012 yang mencapai 11.044 ton.
Abdul Kadir menyebut dari 420 hektare sawah di Rorotan, hanya 29 hektare yang dikuasai oleh pribadi, sementara sisanya dikuasai oleh dua perusahaan, yakni PT Taman Sejahtera dan PT Nusa Kirana. Kadir mengaku tak tahu kapan lahan akan diambil, tapi ia memprediksi pertanian di wilayahnya tak akan berumur lebih panjang dari 10 tahun lagi.
Kadir khawatir atas nasib 270 petani yang menggantungkan hidup dari sawah. Ia tak tahu bagaimana cara mereka menyambung hidup.
Di sisi lain, para pemuda di Rorotan enggan menjalani profesi petani. Kadir mengambil contoh putra sulungnya yang memilih bekerja di perusahaan dibandingkan bertani.
"Kotor, katanya. Padahal namanya kerja di sawah, ya emang kotor!"
Harapannya kini ada pada Pemprov DKI Jakarta. Ia berharap pemerintah mau membeli tanah milik pengembang itu dan menjadikannya sebagai sawah. Kadir mengaku pernah mengirim surat untuk mengusulkan itu tapi sampai saat ini belum ada balasan.
"Jadi, kalau saya sekarang tinggal menunggu, pertanian duluan yang selesai atau saya duluan yang selesai," ujar Kadir.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri