Menuju konten utama

Menanti Jokowi Pilih Langsung Dewan Pengawas: KPK Masih Independen?

Presiden Jokowi akan memilih kandidat Dewan Pengawas (Dewas) KPK tanpa pansel sesuai UU KPK baru. Benarkah independensi KPK tetap bisa dipertahankan?

Menanti Jokowi Pilih Langsung Dewan Pengawas: KPK Masih Independen?
Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). TIRTO/Andrey Gromico.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melantik Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pimpinan komisioner terpilih KPK secara bersamaan pada Desember 2019 nanti.

Saat ini Jokowi masih dalam tahap mendengar masukan nama-nama yang akan mengisi Dewas KPK.

Sebab, untuk pertama kalinya, Dewas KPK diangkat dan ditetapkan langsung oleh Presiden Jokowi tanpa melibatkan Panitia Seleksi (Pansel) sesuai UU KPK yang baru disahkan: UU No.19/2019.

“Tapi percayalah yang terpilih memiliki kredibilitas yang baik,” ujar Jokowi.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menanggapi hal tersebut dengan berlapang dada. Febri merujuk kepada mekanisme pemilihan Dewas yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“UU Nomor 19 Tahun 2019 itu kan memang mengatur terkait dengan mekanisme pemilihan dewan pengawas. Sekaligus pengecualian untuk dewan pengawas yang pertama kali dipilih,” ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (1/11/2019).

“Disesuaikan saja, karena ada kewenangan presiden untuk memilih di sana.”

KPK, menurut Febri, lebih memilih fokus mempersiapkan diri untuk menangkal sekaligus meminimalisir potensi-potensi risiko kerusakan akibat hadirnya UU KPK terbaru itu.

“Ini yang sedang kami dalami di internal, bagi pihak lain yang juga terkait dengan UU Nomor 19/2019 tentu saja kita perlu hati-hati mencermati semangat di balik pembentukan KPK, pelaksanaan tugas independen dan upaya pemberantasan korupsi tersebut,” ujarnya.

Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan pada Pasal 37E ayat (2): Dalam mengangkat ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden Republik Indonesia membentuk panitia seleksi.

Pada Pasal 37E ayat (3) disebutkan: Panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (2) terdiri atas unsur Pemerintahan Pusat dan unsur masyarakat.

Namun, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan bahwa dalam pemilihan pertama kali anggota Dewas KPK akan dilakukan langsung oleh Presiden sendiri.

“Ada peralihannya bahwa Jokowi dapat memilih langsung [anggota Dewas KPK],” ujarnya kepada Tirto, Sabtu (2/11/2019).

Peralihan yang dimaksud Feri merujuk pada UU Nomor 19 Tahun 2012 pasal 69A ayat (1): Ketua dan anggota Dewan Pengawas untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.

Dewas KPK Bisa Untungkan Jokowi

Feri berpendapat pasal penunjukan langsung Dewas KPK berpotensi menguntungkan posisi Presiden Jokowi. Sebab, Jokowi memiliki kewenangan untuk menempatkan orang-orangnya untuk mengendalikan KPK.

“Kondisi itu memperjelas bahwa revisi UU ini betul-betul menguntungkan Jokowi,” ujarnya.

Conflict of interest-nya terlalu kental. Itu soal presiden semua, bahkan penyidik harus disupervisi kepolisian yang berada di bawah presiden.”

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman justru mengkhawatirkan keberadaan Dewas KPK justru membuat kinerja KPK ke depannya akan tebang pilih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Penyebabnya penyadapan dan upaya paksa lainnya seperti penggeledahan dan penyitaan harus izin Dewas. Sedangkan Dewas sendiri tidak independen, karena bentukan presiden,” ujarnya kepada Tirto, Sabtu lalu.

Secara lebih luas lagi, Zaenur melihat akan ada perubahan konsep pada laku kerja KPK di kemudian hari. Jika sebelumnya KPK mampu berdiri sebagai institusi yang memperbaiki institusi penegak hukum lainnya. Kini KPK turut menjadi institusi yang diawasi oleh aparat penegak hukum lainnya.

Zaenur juga menilai kehadiran Dewas KPK terlalu berlebihan. Dewas KPK semestinya hanya berdiri untuk mengawasi etika dan kinerja KPK saja, tidak mengurusi soal izin penyadapan, penyitaan, atau pun penggeledahan.

“Dewas sudah masuk ke dalam kewenangan pro justicia. Padahal Dewas bukan aparat penegak hukum. Ini sangat berbahaya bagi penegak hukum,” ujarnya.

Dengan atau Tanpa Pansel, Dewas KPK Tak Penting

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana justru tidak mau ambil peduli perihal klausul keterlibatan pansel atau tidak dalam UU Nomor 19 Tahun 2019. Sebab, ia menilai Dewas memang tidak dibutuhkan oleh KPK.

“Itu hanya membuktikan bahwa presiden atau pemerintah tidak memahami lembaga korupsi yang baik itu,” ujarnya kepada Tirto, Sabtu.

Ia juga pesimistis melihat kinerja KPK ke depannya, apabila komposisi regulasinya seperti saat ini. Karena tidak ada yang bisa menjamin KPK akan mampu bersikap independen.

“Tidak ada jaminan, sama sekali tidak ada. Isu penegakan hukum di KPK akan berubah drastis 180 derajat, kehadiran UU KPK dan seluruh pasal yang disepakati DPR dan pemerintah adalah pasal-pasal yang membunuh KPK,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia tetap mendesak Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu/ Perpu) KPK dan meminta agar Presiden Jokowi jangan berkilah dengan alasan menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Itu alasan yang tidak tepat. Karena Perppu adalah hak prerogatif dan konstitusional presiden yang dijamin UUD. Tidak ada satu pun klausul yang menyebutkan penerbitan Perppu harus menunggu JR di MK,” ujarnya.

Presiden Jokowi memang sempat menegaskan tidak akan mengeluarkan Perppu terkait UU Nomor 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK karena masih ada proses uji materi di MK. Ia meminta masyarakat untuk bersabar dan menghormati proses tersebut.

“Pernyataan itu mengkonfirmasi bahwa desain besar pelemahan KPK hari ini memang disponsori pemerintah dan DPR. Presiden juga tidak mengakomodir suara masyarakat,” pungkas Kurnia.

Baca juga artikel terkait PELEMAHAN KPK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri