tirto.id - Rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan gaji kepala daerah untuk mencegah korupsi dinilai kurang tepat. Apalagi menurut Dosen Administrasi Publik di Universitas Indonesia Defny Holidin korupsi kepala daerah disebabkan faktor yang lebih kompleks dari sekadar urusan perut.
Defny mengatakan, poin pertama yang jadi penyebab maraknya korupsi kepala daerah selama ini adalah aturan yang tidak jelas, dan tidak sinkron dengan aturan yang lain. Hal ini membuat celah yang memungkinkan praktik korup terjadi.
Sementara faktor kedua, kata Defny, adalah mahalnya biaya politik untuk menjadi kepala daerah di Indonesia. Masalah ini membuat kepala daerah terpilih yang tak punya integritas tinggi memanfaatkan jabatannya untuk mengembalikan biaya kampanye yang telah dikeluarkan.
“Orang ketika pilkada, orang harus balik modal dan karena dia enggak punya integritas akhirnya dia mengambil berbagai kebijakan, misalnya program pemda itu bisa memberi input kepada dirinya dan partai politiknya,” kata Defny kepada reporter Tirto, Kamis (6/12/2018).
Selain itu, Defny juga menyoroti masalah kaderisasi yang dilakukan partai politik. Menurutnya parpol masih belum memilih calon kepala daerah berdasarkan kapabilitas dan integritasnya.
Selama ini, kata Defny, partai politik hanya menjadikan elektabilitas sebagai faktor utama dalam menyokong calon kepala daerah.
Untuk itu, Defny mengatakan, semestinya yang pertama harus dilakukan pemerintah adalah meminimalisir celah kelembagaan untuk melakukan korupsi. Poin ini terkait dengan keselarasan peraturan dan reformasi birokrasi, termasuk akuntabilitas dari kepala daerah.
Sistem pilkada pun, kata Defny, harus dibenahi untuk mencegah politik berbiaya tinggi. Selain itu, ia menilai, perlu dibentuk kode etik bagi kepala daerah.
“Jadi menaikkan gaji itu, seperti di Singapura, itu hanya langkah pemoles, langkah terakhir saja setelah berbagai langkah sebelumnya dibuat,” kata Defny.
Hal senada diungkapkan Kepala Divisi Riset Transparansi International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko. Ia menilai yang semestinya didorong adalah penguatan lembaga inspektorat di pemerintahan daerah.
Salah satunya ialah soal kewenangan. Menurutnya keberadaan inspektorat pemerintah daerah saat ini seolah tak ada artinya karena berada di bawah kepala daerah.
Setiap temuan inspektorat mesti dilaporkan kepada kepala daerah untuk kemudian ditentukan langkah selanjutnya. Padahal, kata Wawan, sering kali kepala daerah turut terlibat dalam korupsi tersebut.
“Banyak lho inspektorat itu punya temuan-temuan, tapi ketika dilaporkan ke kepala daerah, ya dia [inspektorat] enggak bisa ngapa-ngapain,” kata Wawan.
Selain itu, Wawan menilai inspektorat juga mesti ditingkatkan kapabilitasnya. Terutama terkait investigasi dan juga audit.
Di samping itu, sistem keterbukaan informasi publik juga perlu diperkuat agar pengawasan terhadap perilaku korup menjadi lebih mudah. Sebab di beberapa daerah, kata dia, sistem informasi melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) belum berjalan maksimal.
“Sesuai dengan undang-undang keterbukaan informasi publik di mana setiap badan publik harus punya yang namanya PPID. Apakah PPID sudah berjalan? Nah masih banyak daerah yang dicantumkan. Mereka bahkan enggak tahu mana informasi rutin, berkala dan rahasia," imbuhnya.
Pendapatan Kepala Daerah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2000, besaran gaji bagi gubernur adalah Rp3 juta per bulan, dan wakil gubernur adalah Rp2,4 juta. Sementara bagi walikota/bupati mendapat gaji Rp2,1 juta, dan bagi wakil walikota/wakil bupati mendapat Rp1,8 juta.
Sedangkan tunjangan untuk kepala daerah diatur dalam Keppres Nomor 68 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 168 Tahun 2000 Tentanf Tunhangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu.
Dalam regulasi itu disebutkan tunjangan bagi gubernur ialah Rp5,4 juta, dan wakil gubernur Rp4,32 juta. Di sisi lain, walikota/bupati mendapat tunjangan Rp3,78 juta dan wakil walikota/wakil bupati mendapat Rp3,24 juta.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz