tirto.id - Badannya bungkuk, rambutnya memutih, dan kulitnya keriput. Dulu, Fay Garcia muda adalah seorang perempuan pekerja keras. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa sehingga lebih sering tinggal di New York, Amerika Serikat. Ketika masa bekerja usai, ia kembali ke negara asalnya, Inggris dan tinggal di panti werdha.
“Saya tak punya anak anak. Selama bekerja, saya tinggal di luar negeri. Saya bahkan tidak berkomunikasi dengan keluarga saudara perempuan saya,” ujarnya kepada Independent.
Di panti jompo, Garcia mengikuti berbagai macam aktivitas. Seperti yang dilaporkan Independent, ia dan para lansia lain turut serta dalam kegiatan senam. Mereka duduk di kursi yang sengaja ditata melingkar di sebuah ruangan.
Garcia tampil segar dengan sweater berkerah tinggi putih polos dan celana panjang hitam. Sehelai selendang bercorak kotak-kotak hitam-putih tersampir di lehernya. Tak ketinggalan, sepasang anting bundar berwarna perak menggantung di kedua telinga perempuan berusia 90 tahun tersebut.
Ada pemandangan berbeda hari itu. Sejumlah anak berumur di bawah lima tahun turut serta bersenam dengan para lansia. Mereka menari, bernyanyi, dan berjingkrak-jingkrak di tengah lingkaran kursi.
Garcia merasa lebih sehat saat bermain dengan anak-anak. “Sangat menyenangkan ketika mereka bergabung dengan kami. Kami jadi tak sabar memulai [kegiatan],” ujar Fay sambil tersenyum lebar kepada Independent. “Asyik melihat mereka juga bersenang-senang. Ini sangat bagus.”
Kepada CNN, Fay mengaku awalnya sulit merasakan koneksi dengan generasi muda. Namun ketika anak-anak datang ke panti werdha dan berkenalan dengan dirinya, Fay dan kawan-kawan langsung nampak bersemangat.
“Banyak orang di sini yang saban harinya cuma duduk-duduk, makan, dan tidur. Tapi ketika anak-anak datang, bahkan lansia yang pemarah pun langsung kelihatan senang,” katanya. “Mereka merasa lebih hidup saat menyaksikan anak-anak. Saya rasa kami beruntung ada anak-anak di sini.”
Menurut CNN, Fay tinggal selama tiga tahun di panti werdha Nightingale Hammerson yang menyediakan perawatan antargenerasi. Istilah“antargenerasi” di sini merujuk pada kegiatan bersama antara lansia dan anak-anak yang bersekolah di taman bermain Apples and Honey.
Sejak September tahun lalu, Apples and Honey turut berkegiatan di lokasi yang sama dengan panti jompo tersebut. Setiap hari, anak-anak dan penghuni panti dapat saling mengunjungi serta menghabiskan waktu bersama. Mereka bisa melakukan kegiatan seperti memasak, berkebun, seni, dan senam.
Sebanyak 200 lansia tinggal di Nightingale Hammerson. CNN memberitakan Simon Pedzisi, kepala perawatan Nigtingale Hammerson, mengatakan sekitar 10% dari total penghuni panti berusia di atas 100 tahun.
“Rata-rata usia penghuni saat masuk adalah 90 tahun sehingga kami harus berpikir inovatif untuk mengurus aktivitas di sini,” aku Pedzisi kepada Guardian. “Perawatan harus lebih bermakna, dalam, dan terukur. Penekanannya ada pada interaksi sosial karena itulah yang betul-betul dibutuhkan orang lanjut usia.”
Judit Ish-Horowitz mengusulkan model perawatan antargenerasi ketika Nightingale Hammerson tengah memperbarui pelayanannya. Seperti yang dilansir CNN, premis perawatan antargenerasi adalah menciptakan pengalaman dan relasi untuk generasi muda seraya memberikan umur panjang bagi para lansia.
Nightingale Hammerson pun menjadi panti werdha pertama di Inggris yang menerapkan perawatan antargenerasi bagi penghuninya. Ish-Horowitz selaku pendiri Kelompok Bermain Apples and Honey menilai perilaku anak kecil dapat memberikan stimulan pikiran pada lansia.
“Anak kecil tidak menghakimi orang lain. Mereka mudah menerima dan melihat sesuatu dengan cara yang unik. Hal ini yang menstimulasi para lansia. Mereka dirangsang keluar dari identitas diri sebagai seseorang yang tidak mempunyai tujuan hidup atau sudah terlalu tua,” katanya kepada CNN.
Seperti yang dilaporkan CNN, penghuni panti mengalami perubahan semenjak perawatan antargenerasi diberlakukan, tidak terkecuali Fay. Pedzisi mengatakan bahwa Fay kerap datang ke Taman Bermain Apples and Honey. Ia sering meyambangi anak-anak beserta orang tuanya, jalan-jalan, dan bersenang-senang dengan si “penghuni” kecil.
“Saya melihat Garcia jalan-jalan keliling dari satu tempat ke tempat lain,” katanya. “Gerakan fisik itu ada tujuannya, karena ia harus pergi ke suatu tempat dan mesti melakukan sesuatu. Hal ini berbeda dari bergerak untuk memotivasi diri sendiri.”
Apa yang terjadi pada Fay serupa dengan hasil penelitian Kumiko Morita dan Minako Kobayashi. Kedua peneliti meriset 25 lansia yang berpartisipasi pada program antargenerasi (IG program) dengan anak-anak peserta Taman Bermain yang berusia lima hingga enam tahun di Tokyo. Morita dan Kobayashi meneliti percakapan antargenerasi, perilaku, ekspresi wajah, dan atensi visual selama lansia dan anak-anak menyanyi dan menari (performance-based IG program) serta bermain bersama (social-oriented IG program).
Penelitian bertajuk “Interactive Programs with Preschool Children Bring Smiles and Conversation to Older Adults: Time-Sampling Study” (2013) itu menjelaskan bahwa program antargenerasi berhasil menciptakan percakapan dan perasaan senang pada lansia. Aktivitas bermain bersama memberikan kesempatan bagi lansia untuk menjalankan peran lebih banyak dibandingkan ketika menyanyi dan menari. Program antargenerasi pun dipandang sebagai peluang untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan mengintegrasikan kelompok lansia ke masyarakat.
Selain di Inggris, perawatan antargenerasi juga diterapkan di negara lain, salah satunya Amerika Serikat. Di benua paman Sam tersebut, Provindence Mount St Vincent yang berada di Seattle adalah panti jompo pertama yang menyediakan perawatan antargenerasi bagi penghuninya.
Menurut Guardian, panti jompo Provindence Mount St Vincent pertama kali dibuka pada tahun 1924. Taman bermain baru ditambahkan di lingkungan panti pada tahun 1991 dan menempati sejumlah ruangan di lantai dasar dan satu ruangan di lantai atas.
Charlene Boyd, administrator Provindence Mount St Vincent, mengatakan bahwa panti jompo tersebut dihuni 400 orang lansia yang rata-rata usianya mencapai 92 tahun. Mereka bisa berinteraksi dengan anak-anak lima hari dalam seminggu lewat kegiatan seperti kelas seni, musik, voli, bowling, dan mendongeng. Rentang usia anak-anak peserta taman bermain berkisar dari enam minggu hingga lima tahun.
The Atlantic menjelaskan bahwa anak-anak juga melakukan kunjungan ke tempat tinggal para lansia di luar jadwal aktivitas bersama tiap minggunya. Waktunya dibatasi sesuai umur si anak: 20 menit untuk bayi dan 60 menit untuk anak yang usianya lebih dewasa. Selain itu, penghuni panti dibebaskan mengamati kegiatan anak-anak di kelas. Interaksi spontan seperti menari bersama kala seorang penyanyi datang dan memainkan lagu pun tidak terelakkan, sebab mereka beraktivitas di gedung yang sama.
Di Jepang, program antargenerasi pertama kali diterapkan di sebuah pusat kegiatan masyarakat bernama Kotoen. Dalam Intergenerational Programs: Support for Children, Youth, and Elders in Japan (1998: 60), Matt Kaplan, Atsuko Kusano, Ichiro Tsuji, dan Shigeru Hisamichi menjelaskan bahwa Shimada Masaharu adalah orang pertama yang mencetuskan konsep “pusat kegiatan masyarakat antargenerasi” tahun 1976.
Saat itu, ia mengajukan izin pada pemerintah daerah Edogawa, Tokyo dan Kementerian Kesehatan dan Sosial Jepang untuk mengelola Kelompok Bermain Edogawa dan panti jompo dalam satu fasilitas yang lengkap. Menurut Japan Times, sebanyak 16 fasilitas serupa Kotoen dibangun di Jepang hingga tahun 1998.
Menurut Matt Kaplan, dkk (1998: 51), beberapa konsep seperti “pembelajaran seumur hidup”, volunterisme, “normalisasi”, dan “machi zukuri” (pendekatan partisipatoris membangun komunitas) mengilhami berbagai macam kebijakan pembangunan pendidikan dan kesejahteraan dalam masyarakat Jepang.
Konsep “pembejalaran seumur hidup” berhubungan dengan usaha mengenalkan pengalaman belajar cara baru pada murid non-tradisional, termasuk orang lanjut usia. Masyarakat Jepang mengartikan “pembelajaran seumur hidup” sangat luas, mencakup kegiatan budaya, olahraga, atau rekreasi serta aktivitas kejuruan, profesional, dan sukarelawan.
Program antargenerasi, dalam hal ini, adalah salah satu wujud kebijakan di negeri Sakura yang diilhami konsep-konsep di atas.
Editor: Windu Jusuf