Menuju konten utama

Mempersoalkan Rp1,7 Kuadriliun dari Utang untuk Borong Alutsista

Dana utang untuk alutsista dipersoalkan. Anggaran sebanyak itu dianggap tidak tepat, apalagi dalam situasi pandemi.

Mempersoalkan Rp1,7 Kuadriliun dari Utang untuk Borong Alutsista
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memberikan keterangan terkait KRI Nanggala 402 yang mengalami hilang kontak saat konferensi pers di Lanud I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Kamis (22/4/2021). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/aww.

tirto.id - Kementerian Pertahanan (Kemhan) berencana memborong alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan anggaran yang luar biasa besar. Pro kontra pun bermunculan. Mereka yang menolak menganggap duit sebanyak itu dapat membuat keuangan negara secara keseluruhan berdarah-darah.

Rencana pembelian alutsista tertuang dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 (alpalhankam). Di dalamnya tertera rencana anggaran sebesar 124.995.000.000 dolar AS atau setara Rp1.760 triliun.

Sebagai gambaran, jumlah tersebut lebih dari separuh alokasi belanja dalam APBN 2021 yang jumlahnya Rp2.750 triliun.

Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak membenarkan kabar yang beredar. Dia mengatakan mengingat "60 persen alpalhankam kita sudah sangat tua dan usang serta memprihatinkan", modernisasi "adalah keniscayaan karena pertahanan yang kuat terkait dengan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah."

"Kementerian Pertahanan mengajukan sebuah formula modernisasi alpahankam melalui reorganisasi belanja dan pembiayaan," kata Dahnil kepada reporter Tirto melalui keterangan tertulis, Senin (31/5/2021).

Reorganisasi ini diharapkan membuat "postur pertahanan ideal bisa tercapai pada tahun 2025 atau 2026, dan postur ideal tersebut bertahan sampai 2044."

Pasal 6 Ayat (1) rancangan perpres tersebut menjelaskan bahwa sumber pendanaan bisa menggunakan utang luar negeri yang nilainya "dipastikan tidak akan membebani APBN," kata Dahnil. Selain itu juga "menggunakan alokasi anggaran Kemhan [...]dengan asumsi alokasi anggaran Kemhan di APBN konsisten sekitar 0,8 persen dari PDB selama 25 tahun ke depan."

Dahnil menjelaskan sudah ada negara yang berjanji memberikan pinjaman dengan tenor yang panjang dan bunga yang sangat kecil.

Sebagaimana peraturan yang masih berbentuk rancangan, jumlah dana yang diperlukan juga belum tetap. Dahnil mengatakan semuanya "masih dalam proses pembahasan bersama para pihak yang terkait, nukan konsep yang sudah jadi dan siap diimplementasikan."

Rencana ini didukung oleh anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn.) TB Hasanuddin. "Pada prinsipnya saya setuju untuk modernisasi alutsista TNI yang hampir 70 persen sudah tua," kata dia Sabtu pekan lalu, mengutip Antara.

Sudirman Said, Direktur Utama perusahaan pelat merah produsen alat pertanahan PT Pindad (Persero) Juni 2014 sampai Oktober 2014, juga senada. Usulan angka itu menurutnya wajar demi meningkatkan mutu perlengkapan keamanan, terutama setelah kapal selam KRI Nanggala 402 tenggelam.

"Semua pasti sepakat bahwa tentara kita harus diperkuat, tetapi tetap harus melalui kajian dan prosedur pengadaan yang hati-hati," kata Sudirman, Senin.

Ditolak

Pandangan berbeda disampaikan pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie. Ia mengatakan rencana ini terlalu "tiba-tiba" seperti "turun dari langit". Ia menilai ada yang janggal jika rencana sestrategis itu dikonsep secara singkat dan instan. Pesan barang dan proses lain juga tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu singkat.

"Pakai common sense saja. Angka segitu mesti diserap, lalu itu harus barang baru karena kalau barang bekas melanggar aturan. Pertanyaannya: siapa yang bisa mengadakan barang begitu cepat? Sudah enggak mungkin. Rp1.760 triliun enggak dia jelaskan kenapa harus habis dalam 2,5 tahun," katanya kepada reporter Tirto, Senin. "Kami tuntut bagaimana dia menerangkan itu mau beli apa," tambahnya.

Lebih aneh lagi karena sudah muncul sumber anggaran pinjaman dengan besaran bunga yang sudah dihitung untuk 25 tahun, katanya. "Bayangkan dia sudah bisa hitung bunga 25 tahun ke depan. Itu juga salah karena enggak mungkin uang dibayar di depan, bunga dibayar di belakang."

Alasan lain mengapa rencana ini dianggap patut ditolak adalah penarikan utang baru dari luar negeri bakal membuat keuangan negara semakin tertekan.

"Kalau ada rencana itu, bisa. Tapi disesuaikan dengan kemampuan dan keuangan negara. Keuangan negaranya lagi parah, nih. Saya rasa bisa ditunda sampai kondisi ekonomi kita kembali sehat. Catatannya adalah ketika katakanlah defisit kita sudah di bawah 3%," kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad kepada reporter Tirto, Senin.

Utang pemerintah saat ini sudah cukup besar, per akhir Maret mencapai Rp6.445 triliun atau setara 42 persen PDB. Tambahan utang, apalagi dalam jumlah yang fantastis, tentu bisa memicu masalah yang lebih buruk di kemudian hari.

Rencana belanja pertahanan dengan anggaran ekstra jumbo ini juga dikhawatirkan bakal mengganggu proses pemulihan ekonomi yang masih babak belur dihantam pandemi. Tauhid menegaskan jangan sampai Indonesia malah kebanyakan tambah utang di tengah ketidakpastian karena pandemi.

"Kondisinya lagi begini lho, dan kita enggak mungkin bisa cari utang sebesar itu," kata dia.

Hal serupa dikatakan dosen kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah. Pembelian alutsista memang penting, namun menurutnya anggaran untuk pemulihan perekonomian masyarakat lebih penting.

"Catatan utama itu pokoknya harus dilakukan secara terbuka. Yang paling penting itu adalah urgensinya dulu dijelaskan karena itu anggarannya besar," terang Trubus kepada reporter Tirto, Senin.

Itulah yang dijanjikan Menteri Pertahanan Prabowo. Di DPR, Rabu (2/6/2021), dia berjanji "akan berusaha menjelaskan segamblang-gamblangnya." Rapat dengan DPR sendiri kemarin dilakukan secara tertutup--tak boleh diakses media.

Baca juga artikel terkait ALUTSISTA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah & Andrian Pratama Taher
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino