tirto.id - Salah satu kunci dalam upaya melestarikan lingkungan adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ini tercermin dari kehidupan warga Desa Tanjung Rejo.
Di desa yang terletak di Kecamatan Percut Sei, Deli Serdang, Sumatera Utara ini, warga memanfaatkan tanaman mangrove untuk dijadikan berbagai jenis olahan, mulai dari batik, selai mangrove, hingga menjadikan mangrove sebagai atraksi wisata.
Menurut Selamet, Kepala Desa Tanjung Rejo, desanya memiliki banyak potensi ekonomi. Di desa seluas 4.114 hektare ini, terdapat sekitar 704 hektare lahan pertanian irigasi, pertanian tadah hujan seluas 600 hektare, tambak seluas 1.300 hektare, dan hutan mangrove seluas 600 hektare.
“Saat ini,” kata Selamet, “ada wisata mangrove di Dusun 13 yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa. Pada 2024 kami meraih juara I Bumdes terbaik tingkat Deli Serdang, dan juara 3 di tingkat Sumatera Utara.”
Perjuangan Selamet dan warga desa bukaan sesuatu yang terjadi dalam semalam. Mereka sudah mulai gerakan penananaman dan pelestarian mangrove sejak 2006. Saat itu mereka melihat banyak orang dari luar desa menebang mangrove sembarangan dan menjualnya ke berbagai pengepul untuk dijadikan bahan baku arang.
Ini membuat Selamet rajin mengampanyekan pentingnya menjaga mangrove. Karena hutan mangrove yang lestari akan memberikan banyak keuntungan. Mulai dari keuntungan ekologis, hingga keuntungan ekonomi.
Ketika menjadi kepala desa, Selamet mengeluarkan Peraturan Desa yang isinya berkaitan dengan perlindungan mangrove dan juga para burung migran. Selain itu, pemerintah desa dan warganya membangun pusat edukasi mangrove.
Selamet juga sadar bahwa pemberdayaan lingkungan harus sejalan dengan pemberdayaan ekonomi.
“Jadi kami juga membudidayakan ikan, kepiting, kerang, udang, di lahan mangrove seluas 3 hektare. Selain itu kami juga membudidayakan lebah di bawah pohon mangrove,” kata Selamet.
Ponisah (58), salah satu warga yang mengelola kolam, mengatakan hasil kolamnya lebih dari cukup untuk kehidupan sehari-hari. Ia bisa memanen ikan empat bulan sekali, dan panen kepiting tiap satu hingga 1,5 bulan. Harga kepiting ini bervariasi. Mulai dari Rp70 ribu hingga Rp250 ribu per kilogram.
“Sekali panen, kami bisa dapat 150 kilogram kepiting,” ujar Ponisah.
Selain hasil boga bahari, warga Desa Tanjung Rejo juga kreatif membuat aneka produk turunan dari batang dan akar mangrove. Salah satunya dengan membuat tinta/ pewarna batik dari akar mangrove yang sudah mati.
Ayu Paramitha, salah satu warga yang menjadi pembatik di kelompok Sima Batik, mengatakan proses batiknya cukup rumit dan memakan waktu. Ada dua jenis batik yang mereka buat, yakni cap dan tulis. Jika cap membutuhkan waktu satu hingga dua minggu untuk selesai, cap tulis bisa makan waktu satu hingga dua bulan untuk rampung.
Batik ini punya banderol beragam, mulai dari harga Rp600 ribu untuk batik cap, hingga Rp1,7 juta untuk batik tulis.
“Batik kami pernah dijual sampai pasar internasional, yaitu di Australia dan Amerika Serikat. Tapi sekarang kami fokus ke pasar lokal lagi,” ujar Ayu.
Sumatera Utara menjadi salah satu daerah yang menjadi fokus Mangrove for Coastal Resilience (M4CR), sebuah program percepatan rehabilitasi mangrove dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Program ini bertujuan untuk mendukung Program Rehabilitasi Mangrove Nasional yang bertujuan merehabilitasi sekitar 600.000 hektare mangrove yang terdegradasi.
Program ini adalah kerja bersama antara Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), dengan melibatkan sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan.
M4CR saat ini menargetkan empat provinsi untuk rehabilitasi dan konservasi mangrove, yakni Riau, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Khusus untuk Sumatera Utara, M4CR menargetkan rehabilitasi mangrove mencapai 6.078 hektare hingga 2027. []
(INFO KINI)
Penulis: Tim Media Servis