tirto.id - Sabtu pagi (13/07), Stasiun MRT Lebak Bulus mendadak ramai. Stasiun yang terletak di Jakarta Selatan ini menjadi tempat ajang tatap muka antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto untuk pertama kalinya pasca pilpres kemarin.
Dua tokoh yang menjadi sentral perseteruan politik Tanah Air selama 10 tahun belakangan tampil mesra. Keduanya berpelukan dan saling melontarkan pujian, seakan-akan perseteruan yang lalu itu tak pernah ada.
"Jadi saya terimakasih Pak, naik MRT luar biasa, kita jadi tahu bahwa bangsa Indonesia akhirnya punya kereta yang bisa membantu kepentingan rakyat," kata Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Namun demikian, keakraban kedua tokoh tersebut tampaknya tidak menular ke media sosial. Ketika dua tokoh tersebut bertemu, pada saat bersamaan tagar #utangmeluluyangbayarsiapa malah menjadi trending topic di Twitter.
Seperti diketahui, isu utang pemerintah kerap menjadi bahan kritik terhadap pemerintahan Jokowi. Apalagi menjelang hari pemungutan suara, isu utang pemerintah yang melonjak kian intens digoreng oposisi, terutama di media sosial.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam beberapa bulan terakhir juga kerap kena sasaran tembak dari melonjaknya utang pemerintah itu. Bahkan, Prabowo sempat menyindir mantan direktur Bank Dunia itu sebagai Menteri Pencetak Utang. Gara-gara terus digoreng, Menteri Keuangan Sri Mulyani angkat bicara, dan beberapa kali menjelaskan terkait isu utang tersebut. Kemenkeu bahkan membuat konten khusus terkait utang di laman resmi Kemenkeu.
Sebagai catatan, utang pemerintah pusat terdiri dari pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi rupiah dan SBN berdenominasi valas.
Melonjaknya utang pemerintah pusat juga disoroti oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut BPK, rasio utang pemerintah terhadap PDB terus mencatatkan kenaikan sejak 2015 sampai dengan 2017. "Rasio utang pemerintah pusat terus meningkat meski di bawah ambang batas 60 persen dari PDB. Peningkatan rasio utang dimulai 2015 sampai 2017," kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara.
Dalam catatan BPK, rasio utang pemerintah meningkat sebesar 27,40 persen pada 2015. Pada tahun berikutnya, naik menjadi 28,3 persen. Sementara pada 2017, rasio utang pemerintah meningkat lagi 29,9 persen.
Menurut Moermahadi, peningkatan rasio utang pemerintah dari tahun ke tahun itu tidak lepas dari besarnya realisasi pembiayaan utang, yakni sebesar Rp380 triliun pada 2015. Kemudian, menjadi Rp403 triliun pada 2016, dan Rp429 triliun pada 2017.
Pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya tren utang pemerintah pusat di era Jokowi ini?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, selama periode pertama Jokowi, pemerintah pusat mencatatkan kenaikan utang sebesar 75 persen dari posisi utang pemerintah senilai Rp2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp4.572 triliun pada Mei 2019. Tren utang pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Jokowi itu jauh lebih tinggi ketimbang presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada periode kedua SBY, utang pemerintah hanya naik 64 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kenaikan nilai utang pemerintah pusat tidak bisa dihindari lantaran pemerintah membutuhkan dana yang besar guna menunjang pembangunan infrastruktur dan SDM Indonesia. "[Dana untuk infrastruktur dan SDM] tidak dapat sepenuhnya digantungkan dari pendapatan negara karena pendapatan negara belum cukup menutupi pengeluaran pemerintah," kata Sri Mulyani, dikutip dari Kompas.
Namun, Sri Mulyani menegaskan bahwa nilai utang pemerintah pusat pada Mei 2019 itu masih dalam batas aman karena masih di bawah 60 persen dari PDB sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara.
SBN Rupiah menjadi penyumbang terbesar utang pemerintah pusat ketimbang jenis utang pemerintah lainnya dengan porsi 60 persen. Disusul, SBN Valas sebesar 23 persen, pinjaman luar negeri 17 persen dan pinjaman dalam negeri kurang dari 1 persen.
Kondisi ini sedikit berbeda ketika akhir periode SBY pada 2014. SBN Rupiah masih menjadi penyumbang terbesar, yakni 57 persen. Namun, di posisi kedua ditempati utang luar negeri dengan porsi 26 persen, disusul SBN Valas 18 persen dan utang dalam negeri kurang dari 1 persen.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan utang dari SBN memang lebih disukai pemerintah ketimbang utang luar negeri. "Bunga yang SBN memang tinggi 7-8 persen, ketimbang pinjaman luar negeri yang sekitar 3-4 persen. Hanya saja, pinjaman bilateral atau multilateral itu suka ada syaratnya. Nah, jadi kurang bagus," tutur Bhima.
Gara-gara alasan yang sama, dalam satu dekade terakhir ini, utang melalui SBN melambung. Pada Mei 2019, utang pemerintah dari SBN naik 96 persen menjadi Rp3.789 triliun dari 2014. Sementara pada waktu bersamaan, pinjaman luar negeri hanya naik 15 persen menjadi Rp776 triliun.
Kreditur Asing
Namun, bukan berarti SBN tidak ada kaitannya dengan asing. SBN juga bisa dimiliki asing. Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, kepemilikan asing di SBN sudah mencapai Rp967 triliun per Maret 2019.
Jumlah itu menyumbang 35 persen dari nilai SBN Rupiah pemerintah pusat sebesar Rp2.741 triliun pada Maret 2019. Angka tersebut jauh lebih tinggi ketimbang negara tetangga seperti Malaysia sebesar 28 persen atau Thailand sebesar 15 persen.
"Sangat disayangkan jika utang pemerintah itu banyak dipegang asing karena imbal hasilnya itu lari keluar. Coba kalau SBN itu lebih banyak dipegang lokal, uang tetap berputar di dalam negeri," tutur Bhima.
Di sisi lain, meski SBN terus meningkat, bukan berarti pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia kalah kencang. Justru, peluang untuk tumbuh masih terbuka mengingat pemerintah Indonesia juga gencar negara lain dalam rangka pendanaan proyek infrastruktur.
Pada April 2019 lalu, misalnya, pemerintah Indonesia dan Cina menandatangani 23 kesepakatan kerja sama untuk sejumlah proyek di bawah panji kebijakan luar negeri pemerintah Cina yang dikenal sebagai One Belt One Road (OBOR).
Berdasarkan data dari Bappenas, nilai pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia dari Cina memang terus meningkat. Pada 2011, pinjaman dari Cina hanya Rp8,02 triliun. Pinjaman itu naik 70 persen menjadi Rp13,56 triliun pada 2016.
Meski tumbuh signifikan, toh, Cina bukan menjadi penyumbang terbesar pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia. Porsi Cina hanya sekitar 1,85 persen dari total pinjaman luar negeri pada 2016 sebesar Rp733,13 triliun.
Pada 2016, Bank Dunia menjadi kreditur terbesar pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia, yakni Rp232,26 triliun atau menyumbang 32 persen. Disusul, Jepang senilai Rp195,95 triliun (27 persen), dan ADB sebesar Rp125,10 triliun (17 persen).
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara