tirto.id - Pada minggu pertama April lalu, Sakura mendadak tumbuh dan berbunga di kawasan Landmark Residence Apartment Bandung selama tiga hari. Sejumlah anak muda terlihat memakai yukatalengkap dengan makeuptebal dan rambut yang dicat coklat, hijau terang, sampai merah muda. Di tengah keriuhan mereka, seorang berpakaian ninja dengan pedang panjangnya membelah keramaian, diikuti laki-laki berpakaian Sailormoon, Power Rangers, serta beberapa perempuan memakai seragam lengkap seperti murid-murid di banyak drama Asia timur.
Mereka bukan rombongan personil girl band atau malah wotayang tengah kesasar dengan kostum yang serba selaras dengan warna sakura plastik di sekeliling mereka. Mereka adalah cosplayer yang sedang turut memeriahkan acara Hanami Festival Bandung 2017.
Cosplay atau costum play merupakan permainan kostum yang mengadaptasi seluruh ragam budaya populer tersebut. Seorang cosplayerdapat memilih kostum yang akan ia pakai dari salah satu tokoh yang terdapat dalam drama yang ia saksikan atau malah satu tokoh gameyang kerap ia jadikan karakter permainan.
Di acara ini, para cosplayer menyaru menjadi tokoh dalam budaya populer Jepang. Budaya populer Jepang memang diminati di banyak negara, termasuk Indonesia. Ragam bentuknya meliputi dorama atau drama, anime, manga/komik, gamesampai dengan fashion.
Sebagian dari cosplayer menganggap melakukan cosplay bukanlah ditujukan untuk kepentingan umum, tapi lebih sebagai ekspresi kefanatikan mereka atas satu tokoh fiksi. Sama seperti video fan-fiction yang dibuat penggemar untuk buku atau film yang mereka gilai, cosplayadalah cara pribadi mereka menafsirkan karakter dalam cerita, menampilkannya dalam kostum yang mereka pakai sendiri, dan mengaplikasikannya dengan gaya narasi dan gagasan mereka sendiri.
Sejauh manatafsiran gagasan mereka dalam mempengaruhi identitas mereka sendiri?
Data dari Studi Fenomenologi Pelaku Cosplay di Komunitas Visual Shock Community (VOC) Surakartamenyatakan konsep diri cosplayerterbentuk sejak mereka kecil, tepatnya sejak mereka terinspirasi karakter tokoh-tokoh anime yang mereka simak. Dari situ, mereka berambisi menjadi tokoh idola mereka yang berlanjut terus hingga mereka kemudian menemukan komunitas cosplay. Komunitas cosplay inilah yang memberi ruang bagi seseorang dalam mengekspresikan diri. Melalui komunitas dan agenda-agenda cosplay,mereka mulai benar-benar serius menekuni karakter pilihan mereka.
Robin S. Rosenberg dalam The Journal of Cult Mediamencatat alasan-alasan kenapa seseorang mengikuti cosplay. Alasan terbanyak yang mereka pilih adalah sebagai hiburan. Dari total 197 koresponden, 73 orang menyatakan bahwa cosplayadalah bentuk ekspresi kreatif dan artistik mereka. Sebanyak 44 menyatakan cosplayadalah kesempatan untuk menunjukkan karya atas sesuatu yang mereka gemari (kostum, makeup, gagasan).
Selanjutnya, ada 41 orang yang menganggap cosplay sebagaicara mengidentifikasikan diri atas karakter yang mereka pilih. Sebanyak 28 orang menganggap cosplaysebagai pelarian, dan 26 orang menganggapnya sebagai kesempatan untuk menjadi pesohor dalam waktu singkat. Survei 197 koresponden ini memungkinkan satu orang memilih lebih dari satu alasan.
Dari data yang sama, 53 dari total 197 koresponden menyatakan keputusan memilih kostum didorong oleh karakter psikologis tokoh pilihan dan 13 di antaranya mempertimbangkan biaya yang harus mereka alokasikan untuk menyiapkan kostum.
Dari survei di atas, kita memahami bahwa konsep diri bukanlah kenyataan mutlak yang tak bisa berubah. Konsep diri ternyata bisa berasal dari gambaran diri seperti yang diingini, gambaran diri seperti yang telah dialami, dan gambaran diri yang ditampilkan pada situasi tertentu ketika berinteraksi dengan orang lain.
Dari Catatan Studi Fenomenologis Tentang Konsep Diri Anggota Cosplay Party Bandung,sejumlah koresponden menyatakan mereka menemukan kebebasan bereskpresi, keberanian berinovasi, berekspresi dan keberanian mencoba, serta penerimaan perbedaan sebagai hal terpenting dalam komunitas cosplay. Mereka juga belajar menghargai karya orang lain dan bagaimana membangun harga diri.
Hal-hal ini kemudian meneguhkan kepercayaan mereka bahwa manusia dapat berkreasi, memodifikasi, dan menata hidup sesuai karakteristik masing-masing. Inilah nilai-nilai yang dikembangkan komunitas cosplay yang membuat mereka betah di dalamnya.
Dalam pemilihan kostum tersebut, tidak jarang seorang laki-laki memilih karakter anime perempuan yang mereka senangi, atau sebaliknya. Cosplay semacam disebut crossplay. Kelenturan gender dari laki-laki dan perempuan dalam pertunjukan cosplay adalah satu hal menarik yang juga merujuk pada pembentukan identitas diri mereka.
Di sejumlah besar negara yang sering mengadakan cosplay,crossplayer female-to-male atau perempuan yang memerankan tokoh laki-laki, jauh lebih umum dijumpai karena faktor sosial dan budaya.
Salah satunya sebabnya, karena dalam animedan manga terdapat banyak sekali bishonen: tokoh laki-laki yang ‘cantik’—terlepas dari batas gender dan orientasi seksual. Karena itulah seorang perempuan dianggap lebih mudah melakukan crossplay sebagai bishōnen daripada sebagai tokoh laki-laki dari seri Barat.
Ada pula yang mencurigai crossplayersebagai transgender dan homoseksual. Namun, kebanyakan crossplayersendiri menganggap hal yang mereka lakukan tidak berbeda dengan aktris yang memerankan laki-laki. Tentu, tidak sedikit juga yang sepakat bahwa crossplayerdapat menghapus batasan identitas gender.
Meski demikian, secara umum cosplay tidak memiliki agenda politik yang jelas. Ia bersandar pada pembangunan identitas melalui konten narasi fiksi yang mereka pilih. Hubungan mereka dengan cerita dan karakter juga bersifat dinamis. Kebanyakan cosplayer tidak ingin menduplikat persis karakter yang mereka gambarkan. Mereka biasanya ingin membawa sesuatu dari diri mereka sendiri. Soal ini, mereka bisa kira-kira bisa dibandingkan dengan musisi yang melakukan aransemen (arrangement) atas lagu orang lain.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani