tirto.id - Rentetan gempa mengguncang Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat siang hingga petang (28/9/2018) kemarin. Gempa terbesar dengan magnitudo 7,4 SR terjadi pukul 17.02 WIB. Titik pusat gempa berada di 26 km timur laut Donggala dengan kedalaman 11 km.
Setengah jam kemudian, tsunami menghantam Donggala dan Palu, tepatnya di kawasan pantai Barat Donggala dan Palu bagian Barat. Berdasarkan pantauan BMKG dan informasi saksi lapangan, ketinggian tsunami mencapai 1,5 meter. Kepanikan melanda warga Kota Palu setelahnya. Listrik putus dan jaringan komunikasi terganggu akibat gempa dan tsunami sore itu.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), dalam keterangan resminya, menyatakan pemicu gempa besar dan tsunami di Sulawesi Tengah disebabkan aktivitas Sesar Palu-Koro. Hingga tulisan ini dibuat, gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah telah mengakibatkan lebih dari seribu orang tewas.
Harapan dari Jepang
Hanya ada satu kata: bangkit.
Tujuh tahun silam, apa yang terjadi di Sulawesi Tengah saat ini juga dialami Jepang. Waktu itu, gempa berkekuatan lebih dari 9,0 SR menghantam wilayah pantai timur laut. Gempa mengakibatkan dua bencana susulan sekaligus: tsunami dan hancurnya reaktor nuklir di Fukushima.
Berdasarkan laporan The National, jumlah korban tewas di 12 prefektur mencapai 15.895 orang. Sedangkan 2.539 orang masih belum ditemukan serta puluhan ribu orang tinggal di pemukiman sementara.
Bencana alam tersebut meninggalkan luka mendalam bagi warga Jepang. Duka dan tangis mengiringi hari-hari mereka, menyaksikan anggota keluarganya tersapu ombak maupun tempat tinggalnya remuk tanpa sisa.
Tapi, Jepang segera bangkit dari keterpurukan. Bagi mereka, bangkit merupakan salah satu cara agar harapan terus menyala.
Tak lama usai gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan Jepang, pemerintah langsung ambil sikap dengan mengeluarkan kebijakan 10 tahun rekonstruksi pasca-gempa. Tujuannya, mengutip Japan Times, “membangun kembali infrastuktur yang rusak di timur Jepang.” Selain itu, pemerintah juga ingin mempromosikan perencanaan tata kota yang tahan terhadap bencana alam. Total dana yang dikeluarkan hampir menyentuh 32 triliun yen.
Langkah pemerintah membuahkan hasil. Sebagaimana diwartakan The Kahoku Shimpo, per Desember 2017, sekitar 77% perumahan sudah dibangun di tiga prefektur yang paling parah terkena dampak tsunami: Fukushima, Miyagi, dan Iwate. Sebanyak 1.074 dari 1.100 (atau hampir 98%) sekolah di tiga prefektur tersebut juga telah dibuka kembali pada Desember 2016.
Perkembangan memuaskan bisa dilihat pula dari berfungsinya lagi pelabuhan perikanan di Iwate dan Miyagi. Di kawasan Miyagi, sebanyak 93% lahan pertanian yang mulanya remuk, sudah berhasil diperbaiki.
Dari segi pariwisata, kondisinya juga berangsur membaik. Di dua kawasan, Miyagi dan Iwate, tingkat kedatangan wisatawan mencapai 90%. Masyarakat pun merasa bahwa mereka mampu mendapatkan mata pencaharian kembali selepas bencana tsunami.
Laporan yang sama memperlihatkan bencana tsunami telah mendorong publik untuk lebih waspada. Dari jajak pendapat yang dilakukan, sekitar 83,1% penduduk setempat telah mengambil langkah-langkah antisipasi apabila gempa dan tsunami terjadi lagi di masa depan.
Berbeda dengan Miyagi dan Iwate, upaya rekonstruksi pasca-tsunami di prefektur Fukushima masih kerap terganjal—atau belum maksimal. Pasalnya, tak sekadar tsunami saja, wilayah ini juga terpapar radiasi nuklir cukup parah akibat dari rusaknya pembangkit di sana, imbas dari munculnya gempa.
Tentu, progres pembangunan yang dicapai Jepang usai disapu tsunami tak bisa dilepaskan dari sikap masyarakatnya yang sudah seperti menyatu dengan bencana ini. Tsunami, yang berarti “gelombang di pelabuhan,” menghantam Jepang sejak abad 15. Kala itu, tsunami menyapu daerah Kamakura, kota di selatan Tokyo. Dua abad berikutnya, pada 1707, tsunami lagi-lagi menerjang pulau Shikoku yang menewaskan ribuan orang.
Sadar bahwa negaranya berpotensi kerap disambangi tsunami, langkah pencegahan sekaligus penanggulangan dilakukan masyarakat—dan pemerintah—sejak dini. Salah satunya adalah soal mitigasi.
Di Jepang, anak-anak sekolah diajari cara mengorganisir diri ketika sinyal peringatan tsunami menyala. Siswa yang lebih tua juga membantu yang lebih muda ketika menuju daerah yang lebih tinggi untuk menghindari gelombang.
Dilansir dari Japan Times, Toshitaka Katada, profesor teknik sipil di Gunma University yang mengawasi program pendidikan bencana di Kamakura, mengatakan bahwa latihan berulang-ulang saat tidak ada bencana telah sukses membuat siswa bertindak cepat dan tertib dalam keadaan darurat. Tak lupa, anak-anak diajarkan agar tidak bergantung pada lokasi yang dipetakan semata, mengingat bencana bisa saja datang dari luar lokasi yang telah diprediksi.
Selain itu, beberapa wilayah pesisir Jepang dilengkapi tempat perlindungan tsunami, sementara beberapa lainnya membangun pintu air untuk mengontrol aliran air dari tsunami. Kemudian, sejak 1952, Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengoperasikan Layanan Peringatan Tsunami, sebuah sistem yang akan mengirimkan peringatan tsunami dalam tiga menit pertama setelah gempa.
Berdasarkan situs resminya, JMA memiliki 200 seismograf dan 600 alat meter intensitas seismik, ditambah 3.600 alat meter intensitas seismik yang dikelola pemerintah lokal bersama Institut Riset Nasional untuk Ilmu Bumi dan Pencegahan Bencana (NIED).
Data lalu dikumpulkan dari perangkat-perangkat tersebut kemudian dikelola oleh Sistem Pengamatan Fenomena Gempa Bumi (EPOS) yang berpusat di Tokyo. Sistem tersebut juga terintegrasi dengan stasiun televisi nasional NHK. Data mengenai kekuatan gempa segera muncul di siaran televisi lengkap beserta informasi potensi tsunami.
Dua Sisi Mata Uang
“Beberapa orang mengatakan kepada saya bahwa iman mereka telah membantu meredakan rasa sakit [akibat tsunami]. Ada keyakinan bahwa perang sipil adalah “buatan manusia,” dan tsunami merupakan “ciptaan Tuhan.” Oleh karena itu, [tsunami] lebih mudah diterima dalam beberapa hal,” kata Kira Kay, Direktur Eksekutif NGO bernama Bureau for International Reporting (BRI) kepada Deustche Welle.
Pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,0 SR memicu tsunami setinggi 30 m. Menewaskan sekitar 230 ribu orang serta menghancurkan wilayah pesisir di 11 negara, dari Sri Lanka sampai Indonesia.
Wilayah yang paling parah terkena dampak tsunami 2004 ialah Aceh. Korban tewas di Serambi Mekkah itu tercatat mencapai 130 ribu orang. Sementara di lain sisi, setengah juta orang terlantar dan puluhan ribu bangunan rusak parah. Tsunami membuat Aceh seperti terhapus dari peta geografis.
Namun, Aceh segera bangkit. Bantuan dari dalam maupun luar negeri mengalir deras. Seperti dicatat The Guardian dalam “After the 2004 Tsunami: Rebuilding Lives, Salvaging Communities,” bantuan telah diberikan kepada 4.807.000 orang. Sebanyak 51.395 rumah baru didirikan kembali serta 289 rumah sakit dan klinik direhabilitasi. Total, ada 13,5 miliar dolar yang masuk ke Aceh untuk rekonstruksi besar-besaran.
Dari bantuan yang ada, perlahan, Aceh mulai berdiri tegak.
Sebastian Strangio lewat artikelnya berjudul “Aceh Ten Years After the Tsunami” yang dipublikasikan di The Diplomat pada 2014 silam menyebutkan bahwa tsunami di Aceh punya beberapa dampak yang besar bagi kehidupan warganya.
Pertama, tsunami membikin konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan militer Indonesia, yang berlangsung selama tiga dekade serta punya andil dalam menewaskan 15 ribu jiwa, berakhir. Segera setelah tsunami menerjang, kedua belah pihak mengumumkan gencatan senjata. Delapan bulan berselang, Agustus 2005, mereka sepakat menandatangani perjanjian damai.
Poin berikutnya, rekonstruksi besar-besaran yang berlangsung di Aceh mendorong menggeliatnya pembangunan—dan kehidupan masyarakatnya. Kota-kota besar di Aceh tumbuh dengan hadirnya banyak restoran, kedai kopi, papan iklan, pusat bisnis, hingga tempat belanja yang penuh sesak dan buka sampai larut malam.
“Rekonstruksi tidak hanya berhasil menggantikan apa yang dihancurkan, tapi juga menempatkan lebih banyak pembangunan,” kata Bukhari Daud, Bupati Aceh Besar periode 2007-2012.
Tak semua upaya “membangun kembali” Aceh meninggalkan jejak positif. Misalnya, ketika dana bantuan rekonstruksi justru jadi lahan korupsi para pejabatnya. Selain itu, menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 20 persen masyarakat Aceh mengalami trauma. Tak sekadar trauma akan tsunami, tapi juga trauma oleh konflik GAM-TNI yang berlangsung puluhan tahun dan masih meninggalkan jejak.
Bencana alam yang terjadi di Donggala adalah duka bagi kita semua. Namun, lewat kasus Aceh dan Jepang, setidaknya kita bisa paham bahwa harapan untuk hari esok yang lebih cerah akan senantiasa terbuka lebar, terlepas dari pelbagai masalah yang bakal dihadapi.