Menuju konten utama

Membaca Manuver Jenderal Gatot

Bila bergabung dengan Jokowi, wewenang Gatot akan sangat dibatasi, termasuk ketika menjadi Wapres sekalipun.

Membaca Manuver Jenderal Gatot
Avatar Ari Santoso. tirto.id/Sabit

tirto.id - Publik baru saja menyaksikan teater politik yang menarik: dua jenderal (purnawirawan), yakni Prabowo Subianto dan Gatot Nurmantyo, secara terus-terang menyampaikan hasrat kepingin menjadi presiden. Dalam tradisi militer di Tanah Air, jarang sekali ditemui seseorang menyampaikan secara terbuka jabatan apa yang dia inginkan.

Yang acap muncul biasanya hanya pernyataan basa-basi soal kesiapan menduduki jabatan yang lebih strategis, entah itu sebagai presiden atau menteri, bila negara memanggil. Sementara, “negara memanggil” adalah ungkapan abstrak karena publik tak bisa melihat bagaimana konkretnya panggilan itu.

Model “kejujuran politik” yang diperagakan Prabowo dan Gatot adalah fenomena menarik karena melampaui kebiasaan basa-basi politik selama ini. Dengan berterus terang, respons publik juga akan cepat diperoleh, sehingga yang bersangkutan bisa mengantisipasi langkah berikut yang harus diambil.

Jokowi vs Gatot

Jika Prabowo sudah masuk kategori pemain lama dalam pentas politik, maka lain halnya dengan Gatot yang baru saja pensiun dari TNI. Publik ingin tahu bagaimana peta jalan yang akan dilaluinya.

Namun sebagai “pemain” politik, Gatot sebenarnya tidak baru-baru amat. Ia sudah merintisnya sejak masih aktif sebagai tentara, khususnya pada paruh terakhir jabatannya selaku Panglima TNI.

Sepanjang 2017, terutama setelah gelombang aksi 212, hubungan antara Jokowi dan Gatot terlihat semakin renggang, karena Gatot dianggap sebagai bagian dari gerakan itu

. Bahasa tubuh Presiden Jokowi sudah bisa menjelaskan bahwa dirinya tak lagi nyaman dengan keberadaan Jenderal Gatot. Wajar bila Jokowi (selaku Panglima Tertinggi) segera mencopot Jenderal Gatot pada akhir Desember 2017 tanpa harus menunggu masa pensiun Gatot.

Salah satu peristiwa yang bisa dijadikan petunjuk adalah ketidakharmonisan hubungan antara Jokowi dan Gatot saat acara “nobar” (nonton bareng) film PengkhianatanG30S/PKI di halaman Markas Korem Bogor, pada akhir September 2017. Mungkin hanya karena faktor kebetulan jika semua anggota Paspampres yang mengawal Jokowi pada nobar malam itu berasal dari Korps Marinir.

Respons Jokowi bisa dibaca sebagai tindakan simbolis. Jokowi balik menggertak Gatot (sebagai representasi Angkatan Darat) dengan menunjukkan bahwa ia memperoleh dukungan penuh dari Korps Marinir. Rupanya Jokowi terinspirasi oleh skema Bung Karno dalam menjaga keseimbangan hubungan dengan kelompok militer: bila dirasa hubungan dengan TNI AD sedang genting, selalu ada Korps Marinir di belakang Bung Karno.

Sulitnya hubungan Jokowi dengan Gatot bisa menjelaskan prospek Gatot dalam Pilpres 2019. Kecil kemungkinan Jokowi akan berpasangan dengan Gatot. Seandainya Jokowi mengajak Gatot, Jokowi akan (memperlakukan Gatot) dalam metafor aksara Jawa.

Dalam aksara Jawa, huruf hidup akan “mati” apabila dipangku. Ini tipikal gaya kekuasaan Jawa (mataraman). Cara efektif untuk meredam orang yang berpotensi membahayakan penguasa adalah dengan memberinya jabatan. Persis seperti yang dilakukan Soeharto dulu saat mengangkat Jenderal Benny Moerdani—yang waktu itu mulai dianggap sebagai ancaman—sebagai Menhankam (1988-1993).

Artinya, bila bergabung dengan Jokowi, wewenang Gatot akan sangat dibatasi, termasuk ketika menjadi Wapres sekalipun. Sementara wapres di masa sekarang memiliki peran strategis, bukan sekadar pendamping seperti model wapres era Orde Baru dulu. Orang seperti Gatot rasanya takkan bersedia kalau hanya diposisikan sebagai wapres seremonial.

Nasution dan Soeharto sebagai Model

Politik militer sudah berlangsung sejak awal republik. Jenderal-jenderal senior seperti A.H. Nasution dan Soeharto ibarat pisau bermata dua. Selain figur militer, sejatinya mereka juga merangkap sebagai politisi. Kalau bukan politikus ulung, tentu mereka takkan bisa memenuhi ambisi untuk berkuasa—dan bila kekuasaan sudah diraih, perlu keterampilan tersendiri untuk mempertahankannya.

Salah satu kecanggihan Nasution dalam berpolitik adalah ia bisa dilantik kembali sebagai KSAD beberapa tahun setelah dipensiunkan. Posisi ini sebetulnya sudah pernah dipegang Nasution sebelum akhirnya pensiun gara-gara Peristiwa 17 Oktober 1952.

Jejak Nasution ketika sudah pensiun pada awal tahun 1950-an masih bisa kita lihat sampai sekarang, melalui PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan), partai pimpinan Hendro Priyono (Akmil 1967), yang baru saja diperkenankan untuk ikut Pemilu 2019. PKPI adalah metamoforsis dari IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), partai yang dulu dibentuk Nasution, di tengah jedanya sebagai KSAD. Saat membidani IPKI dan menghadiri rapat-rapatnya, Nasution biasa memakai pakaian sipil, karena memang sudah pensiun.

Dengan segala manuver yang dilakukannya, akhirnya Nasution memang bisa kembali menjadi KSAD pada 1955,. Tindakan Nasution bukan berarti tanpa risiko. Resistensi terhadap Nasution terbilang tinggi, terutama dari koleganya sendiri di Angkatan Darat, misalnya Kolonel Zulkifli Lubis, perwira intelijen yang sangat disegani. Musuh politik Nasution ada di segala lini. Selain Zulkifli Lubis, masih ada nama Kolonel A.E. Kawilarang, mantan Panglima Siliwangi, yang juga pendiri Korps Baret Merah (Kopassus), kemudian KSAU (pertama) Marsekal Suryadi Suryadarma.

Begitu pula dengan Soeharto. Salah satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari cara Soeharto mencapai kekuasaan adalah bagaimana Soeharto sangat mengabaikan nilai persahabatan. Ia tega menghabisi teman-teman dekatnya sendiri, contohnya Letkol Untung dan Kolonel Latief. Dalam politik ada adagium yang mengatakan, tidak ada kawan atau lawan abadi. Sosok Soeharto adalah contoh terbaik dari adagium tersebut.

Bila dibandingkan dengan manuver jenderal senior tersebut, apa yang dilakukan Gatot hari ini belumlah seberapa. Dalam hal prilaku politik dan dampaknya, Gatot masih jauh di bawah Nasution atau Soeharto. Manuver Nasution yang berdampak pada pertikaian berlarut dalam wujud Gerakan PRRI/Permesta. Sementara dampak rezim otoriter Soeharto selama 32 tahun berkuasa, tidak perlu dibicarakan lagi. Publik sudah jamak mendengarnya.

Dukungan Prabowo

Manuver politik gaya Nasution dan Soeharto bisa dijadikan pembelajaran bagi jenderal-jenderal generasi sekarang yang sekiranya ingin terjun di kancah politik praktis, seperti Gatot Nurmantyo. Perlu dihitung benar apakah segala langkah yang akan diambil bakal berdampak (buruk) bagi rakyat kecil dan integritas bangsa. Bila hal itu yang akan terjadi, harus cepat dihindari. Percuma juga mencapai kekuasaan kalau pertaruhannya terlampau besar.

Dengan segala kontroversinya, kiranya masih ada harapan bagi Gatot bila ingin maju pada Pilpres 2019. Apabila kubu (petahana) Jokowi sudah menutup diri, sebagaimana telah diulas sekilas di atas, berarti harapannya tinggal dari kubu Prabowo. Dan peluang itu masih terbuka.

Habitat Prabowo (termasuk Gatot) adalah militer, khususnya dari pasukan tempur. Mereka adalah komandan pasukan tempur yang sangat terlatih dan berpengalaman. Maka kita boleh membayangkan, bahwa akan ada kejutan dari kubu Prabowo. Dalam sebuah pertempuran, unsur kejutan atau dadakan biasa digunakan guna memenangkan pertarungan.

Saya kira logika operasi tempur seperti inilah yang akan dipakai oleh kubu Prabowo, bahwa pada akhirnya ia akan memberi dukungan pada Gatot. Sementara Prabowo sendiri akan lengser keprabon sebagai king maker. Apa yang diperagakan Prabowo hari ini, dengan mendeklarasikan diri sebagai capres, bisa saja kamuflase untuk mengelabui pihak lawan. Tentu Prabowo sudah berhitung: bila ia tetap memaksakan maju, tak ada jaminan akan menang.

Bila Gatot didukung Prabowo, publik akan menyaksikan sebuah kontestasi yang seru dan berimbang. Bila pada akhirnya Jokowi menang (lagi)—anggap saja seperti itu—kemenangannya bakal diperoleh dengan cara yang “berdarah-darah”.

Ingat, Prabowo adalah perwira Baret Merah sejati. Setiap anggota Baret Merah memiliki prinsip yang biasa dijalankan dalam posisi terdesak di medan tempur: nyawa boleh melayang, tapi sebelum itu pihak lawan harus kehilangan banyak korban terlebih dahulu.

Metafora inilah yang akan kita terlihat jika Gatot benar-benar maju kelak.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.