tirto.id - Korea Utara kembali menggemparkan dunia dengan menguji coba tujuh peluru kendali alias rudal sepanjang Januari lalu. Jumlahnya hampir sama dengan total uji coba rudal selama 2021.
Senjata paling dahsyat yang diuji coba adalah rudal balistik jarak menengah (IRBM) Hwasong-12. Potensi daya jangkaunya mencapai 4.500 km atau bisa sampai markas militer Amerika Serikat di Guam, Samudra Pasifik. Ketika diuji, Hwasong-12 dilaporkan mencapai ketinggian maksimum 2.000 km dan melesat sejauh 800 km sebelum jatuh ke laut di timur Korut. Hwasong-12, yang menurut klaim otoritas Korut bisa membawa hulu ledak nuklir, terakhir kali dites pada 2017.
Ritual tahunan negara paling terisolasi ini terjadi ketika situasi politik global tengah bergejolak. Rusia yang berpotensi menginvasi Ukraina membuat Pentagon memutuskan untuk menempatkan 3.000 tentara di beberapa negara Eropa anggota NATO. AS dan Iran juga yang saling lempar ancaman dan sanksi seiring keduanya mengusahakan kesepakatan nuklir baru sejak 2015.
Kawan terdekat Korut, Cina, sedang sibuk mempersiapkan Olimpiade Musim Dingin di bawah tekanan boikot diplomatik dari AS dan beberapa negara lain karena kasus pelanggaran HAM di Xinjiang. Dalam konteks itu Presiden Rusia Vladimir Putin dijadwalkan datang ke Beijing untuk memberi dukungan. Ini adalah sinyal kuat tentang prospek mesra poros Moskow-Beijing.
Kemudian, rakyat di negeri jiran Korea Selatan sedang dihadapkan pada dilema menentukan presiden baru pada Maret mendatang. Dikatakan dilema karena kandidat capres sama-sama tersandung beragam skandal kontroversial termasuk korupsi, sampai-sampai pemilihan kali ini disebut sebagai pilpres “paling menjijikkan.”
Lantas, apa yang membuat elite politik Korut merasa perlu menambah ketegangan di atas dengan serangkaian uji coba senjata?
Cara Korut Tampil
Menurut jurnalis New York Times Choe Sang-hun, tes rudal di tengah ketidakstabilan politik ini mengandung pesan untuk adidaya Paman Sam: bahwa pemimpin besar Korut Kim Jong-un “merasa sudah diabaikan.”
Ekonomi Korut sekarang berada di ujung tanduk. Salah satu penyebabnya adalah sanksi-sanksi ekonomi dari PBB yang pemerintah AS dukung sejak 2016-2017. Ketika itu Korut melakukan serangkaian tes nuklir dan rudal balistik.
Setelah dihujani sanksi ekonomi, Kim memang menahan diri untuk tidak main rudal lagi. Ia juga beberapa kali sempat bertemu dengan administrasi Donald Trump dalam rangka negosiasi denuklirisasi. Sayangnya perbincangan mereka tersendat sejak 2019 dan sejak itu Kim mulai berani pamer senjata lagi.
Uji rudal Januari lalu bisa dimaknai sebagai usaha Kim untuk mengajak Washington duduk kembali ke meja perundingan. Kim perlu bicara lagi dengan AS agar dapat meraih konsesi-konsesi ekonomi untuk menyelamatkan rakyatnya, tulis Choe.
Menurut Leif-Eric Easley, dosen dari Ewha University di Seoul, uji coba senjata perlu dipahami sebagai “usaha-usaha modernisasi militer” dan cara Korut meningkatkan “kebanggaan nasionalnya.” Pamer senjata juga merupakan cara untuk mengingatkan Washington dan Seoul bahwa Korut tidak mudah digulingkan.
Easley juga mengatakan bahwa Korut sengaja menciptakan keresahan saat keadaan politik dunia kurang stabil karena ingin dilihat oleh komunitas internasional sebagai “kekuatan nuklir yang bertanggung jawab”—istilah yang pernah disampaikan Kim sendiri pada 2016 silam. Kim mengatakan tidak akan menggunakan nuklir kecuali jika pihak lain memakainya lebih dulu dan melanggar kedaulatan Korut. Setahun kemudian, Kim merestui lagi satu kali uji nuklir.
Kim memang suka pamer kekuatan militer ketika momen-momen politik besar terjadi. Hal ini terlihat jelas pada 2017. Awal tahun itu, pebisnis Donald Trump baru saja memulai administrasinya di Washington setelah melalui proses kampanye dan pemilu paling memecah-belah dalam sejarah politik AS. Sementara di Korsel, masyarakat tengah dihebohkan dengan kasus pemakzulan Presiden Park Geun-hye.
Uji coba senjata militer yang Korut lakukan saat itu dapat dimaknai sebagai cara mereka “menyambut” Trump dan presiden baru Korsel, Moon Jae-in.
Ada lagi contoh pada Januari 2021. Beberapa hari sebelum inaugurasi Joe Biden sebagai Presiden AS, Korut melakukan parade militer di Pyongyang sembari memamerkan rudal balistik kapal selam (SLBM) bernama Pukguksong-5 yang disebut oleh Korean Central News Agency sebagai senjata “paling kuat di dunia.”
Pada kesempatan itu Kim mengungkapkan keyakinannya bahwa kebijakan AS terhadap Korut tidak akan berubah, terlepas “siapa pun yang berkuasa.” Kendati demikian, Kim dipandang masih terbuka pada negosiasi. Dirinya menganggap hubungan baru bisa terwujud apabila AS mau mengakhiri “kebijakan-kebijakan penuh permusuhan” terhadap Korut.
Belum lama tim kepresidenan Biden mulai bekerja, Korut melakukan sejumlah uji coba rudal jelajah jarak dekat dan rudal balistik jarak dekat (SRBM)—yang melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Aksi dilakukan pada akhir Maret, bertepatan dengan tahap final peninjauan ulang kebijakan Washington terhadap Pyongyang. Kejadiannya juga berlangsung tak lama setelah saudara perempuan Kim, Kim Yo Jong, mengkritik otoritas Korsel karena latihan militer bersama pasukan AS.
Robert E. Kelly, dosen ilmu politik dari Pusan National University, menduga serangkaian tes rudal kala itu memang sengaja ditujukan untuk menguji Biden. “Setiap kali ada presiden baru di Amerika Serikat atau Korea Selatan, selalu ada semacam provokasi dari Korea Utara. Mereka seakan-akan mau bilang, ‘Kami masih di sini’,” ujar Kelly, dikutip dari Al Jazeera.
Pada September, Korut kembali bikin heboh dengan menguji rudal jelajah jarak jauh yang punya kapasitas nuklir. Mereka juga menguji dua rudal balistik yang terbang sejauh 750 km sampai jatuh ke laut bagian dari zona ekonomi eksklusif Jepang, persisnya di perairan Semenanjug Noto di Prefektur Ishikawa. Uji coba dilakukan menjelang dimulainya administrasi baru Jepang di bawah Perdana Menteri Fumio Kishida. Pada bulan itu juga, perwakilan dari AS, Jepang, dan Korsel bertemu di Tokyo untuk mendiskusikan persenjataan nuklir dan rudal balistik Korut.
Di antara semua kemungkinan, ada pula motif yang mungkin nonpolitis. Pengamat pertahanan internasional A. B. Abrams dalam artikel di The Diplomat menyebutalasan uji coba Hwasong-12 baru-baru ini bisa jadi sesederhana karena Korut ingin meninjau perkembangan senjata yang sudah lima tahun tidak diuji.
Sanksi Pengembangan Senjata Korut
Korut mulai rutin menguji nuklir setelah keluar dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) pada 2003—yang diikutinya sejak 1985. Pakta untuk melucuti senjata nuklir ini pertama kali disepakati pada 1968 oleh negara-negara yang pernah mengembangkan teknologinya.
Sementara ambisi mengembangkan rudal jarak jauh berakar dari pengalaman historis Tentara Rakyat Korea (KPA) semasa Perang Korea (1950-1953). Kala itu angkatan udara AS membombardir Korut dengan bom-bom yang diluncurkan dari markas di Jepang. Inilah yang memotivasi KPA untuk mengembangkan teknologi serupa. Akhirnya, pada dekade 1990-an, terciptalah Rodong-1 atau Hwasong-7—yang bisa menjangkau Jepang.
Rudal Hwasong merupakan seri senjata kebanggaan KPA. Termasuk di dalamnya adalah rudal balistik antarbenua (ICBM) Hwasong-14 dan Hwasong-15.
Melansir laman Missile Threat dari think tank CSIS, saat pertama diujicobakan, rudal dengan potensi daya terbesar, Hwasong-15, bisa terbang selama 53 menit sejauh 960 km, mencapai ketinggian 4.500 km, sampai jatuh di laut Jepang. Jika ditembakkan pada lintasan yang lebih datar, Hwasong-15 diperkirakan mampu menempuh sampai 10 ribu km sehingga berpotensi mengancam keamanan daratan AS.
Sejak berkuasa pada 2011, Kim Jong-un sudah melakukan 130 kali uji coba rudal. Jumlahnya seratus kali lebih banyak dibanding era bapaknya, Kim Jong-il (16 kali) dan kakeknya, Kim Il-sung (15 kali). Di bawah pemerintahannya pula tes nuklir dilakukan sebanyak 4 kali, sementara bapaknya hanya menguji 2 nuklir selama 15 tahun berkuasa.
Singkat kata, terlepas dari motivasinya, Korut memang semakin berhasrat mengembangkan teknologi militer di bawah rezim Kim Jong-un.
Tindakan Korut menimbulkan konsekuensi dari komunitas internasional karena sudah tentu melanggar resolusi PBB. Dengan dorongan dari Washington, Dewan Keamanan PBB mulai menghujani Korut dengan lebih banyak sanksi ekonomi. Pemerintah AS juga mengeluarkan sanksi-sanksinya sendiri untuk sejumlah individu dan lingkaran bisnis di Korut.
Dirangkum dari situs Council on Foreign Relations, sanksi dari PBB meliputi larangan perdagangan senjata dan alat-alat militer, pembekuan aset milik pihak-pihak yang terlibat di proyek senjata Korut, larangan impor gas alam dan ekspor alat-alat listrik, batu bara, mineral, produk makanan laut dan pertanian, pembatasan impor minyak dan jumlah tenaga kerja asal Korut, sampai larangan kepada negara-negara anggota PBB untuk mempunyai akun bank di Korut.
Sanksi-sanksi di atas berpotensi menggerus pemasukan Korut sampai 1 miliar dolar AS lebih atau sekitar belasan triliun rupiah.
Setelah itu, Kim Jong-un dilaporkan menghentikan aktivitas pengujian senjata dan menunjukkan minat untuk berdialog dengan AS. Pada 2018, Kim mencetak sejarah sebagai pemimpin Korut pertama yang bertatap muka langsung dengan Presiden AS, meskipun negosiasi dengan administrasi Trump gagal melahirkan jalan keluar.
Akhirnya, sejak 2019, Kim kembali aktif menguji rudal-rudalnya dan konsisten sampai hari ini.
Editor: Rio Apinino