tirto.id - Para pemimpin dunia tampaknya memahami bahwa mengatasi krisis iklim adalah upaya krusial yang harus dijalankan. Komitmen yang menggambarkan upaya tersebut tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing negara, termasuk Indonesia (PDF) yang menetapkan target netral karbon pada 2050—meski menuai kritik karena dianggap kurang ambisius.
Sektor krusial yang sangat berkontribusi pada penurunan emisi adalah energi. Karena itulah agenda transisi ke energi terbarukan menjadi prioritas hampir semua negara. Di Indonesia, pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada 2025. Namun, target ini diperkirakan tidak akan tercapai mengingat progresnya yang baru 11,51% per akhir 2020.
Hal lain yang patut disorot dalam upaya ini adalah penggunaan nuklir sebagai salah satu sumber energi untuk pembangkit yang diselipkan dalam RUU Energi Baru Terbarukan (EBT). Nuklir dianggap mampu membantu memenuhi target sumber energi bersih yang rendah emisi.
Masalahnya klaim rendah emisi saja bukan alasan yang cukup untuk menggunakan nuklir. Setidaknya ada tiga sebab mengapa nuklir harus dikeluarkan dari RUU EBT dan rencana membangun PLTN semestinya dilupakan: rendahnya ketersediaan bahan bakar, potensi ancaman akibat perubahan iklim, dan nilai keekonomian yang rendah.
Pertama soal ketersediaan bahan bakar nuklir, uranium. Menurut dokumen teknis International Atomic Energy Agency (IAEA), Indonesia diperkirakan memiliki uranium yang sangat sedikit, sekitar 2.500-9.600 ton (PDF). Sebagai pembanding, cadangan uranium di seluruh Asia sekitar 4,5 juta ton dan di dunia 58,2 juta ton.
Jurnal Pengembangan Energi Nuklir milik Badan Tenaga Nuklir Nasional (Badan) menyimpulkan ketersediaan cadangan uranium terbukti hanya cukup untuk operasional sebuah PLTN dengan kapasitas 1.000 MWe selama 6-7 tahun. Angka tersebut juga sangat kecil mengingat pada 2019 saja kapasitas pembangkitan listrik Indonesia sudah sekitar 69.600 MWe.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa merencanakan pembangunan sebuah PLTN—yang pada umumnya diharapkan akan beroperasi 30-40 tahun—di Indonesia bukanlah keputusan bijak karena berpotensi membebani anggaran negara.
Kedua, secara geografis Indonesia merupakan negara yang berada di kawasan Cincin Api Pasifik. Bahkan Presiden Joko Widodo sudah mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia rawan bencana alam, khususnya gempa. Selain risiko gempa vulkanik karena berada di Cincin Api Pasifik, Indonesia juga berada di titik pertemuan tiga lempeng benua utama yang meningkatkan risiko gempa tektonik. Hal ini penting diperhatikan karena pembangkitan listrik menggunakan nuklir perlu kestabilan geologis, bukan hanya pada fase pembangkitan namun juga dalam hal pembangunan instalasi penampung limbah radioaktif.
Analisis terkini juga menunjukkan bahwa pembangkit nuklir rentan terdampak perubahan iklim, baik langsung maupun tidak. Kerentanan ini diperkirakan semakin nyata seiring dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem seperti gelombang panas, kekeringan, dan badai hebat. Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga berarti rentan terhadap dampak peningkatan muka air laut.
Dengan semua kondisi ini, berarti rencana pembangunan sebuah PLTN di Indonesia harus memasukkan variabel potensi gangguan operasional maupun gangguan kesinambungan pasokan uranium.
Hal ini membawa kita pada permasalahan ketiga, yaitu nilai keekonomian. Kebutuhan infrastruktur keamanan yang akan semakin besar karena ancaman perubahan iklim seperti yang telah dideskripsikan di atas akan meningkatkan biaya yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa pembangunan PLTN tidak akan mengulang kejadian seperti Fukushima, Jepang.
Laporan terkini juga menunjukkan nuklir semakin ditinggalkan di dunia internasional karena rentan mangkrak. Selain memerlukan waktu pembangunan yang lama—rata-rata saat ini sekitar 10 tahun—pembangunan PLTN di berbagai negara ditemukan sering mengalami pembengkakan biaya yang signifikan.
Salah satu contoh paling terkenal dari pembengkakan waktu pembangunan maupun biaya konstruksi ini terjadi pada PLTN Olkiluoto-3 di Finlandia. Pembangkit ini semestinya sudah beroperasi pada 2009 lalu, namun hingga kini masih dalam fase konstruksi. Meski total angka pembengkakan anggaran tidak dipublikasikan, namun diketahui bahwa pada 2018 sudah ada perjanjian penalti keterlambatan sebesar 450 juta dolar AS. Ada pula PLTN Flamanville-3 di Prancis yang semestinya mulai beroperasi pada 2012. PLTN ini diperkirakan baru rampung pada 2023 dan biaya yang awalnya sebesar 3,3 miliar euro diperkirakan akan membengkak hingga 19,1 miliar euro.
Ketika harga pembangkitan tenaga nuklir sudah menunjukkan kecenderungan meningkat sejak lama dan diperkirakan akan terus naik, harga pembangkitan menggunakan energi terbarukan sudah lebih murah dan akan semakin murah. Inilah alasan utama para ahli, ekonom, pemerhati lingkungan, bahkan para pengusaha dan investor semakin cepat beralih ke pembangkit terbarukan. Daya saing dan nilai keekonomian yang semakin murah, seperti lelang energi terbaru di Portugal, semakin memperkuat temuan bahwa energi terbarukan adalah yang paling murah dibanding sumber energi lain.
Selain itu, beralih ke energi terbarukan juga terbukti akan menghasilkan jauh lebih banyak lapangan pekerjaan ketimbang nuklir. Tentunya ini sebuah langkah yang lebih bijak untuk mengoptimalkan bonus demografi Indonesia yang akan segera berakhir, bukan?
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.