tirto.id - Slogan Keluarga Berencana (KB) "2 Anak Cukup” berubah menjadi "2 Anak Lebih Sehat." Kampanye ini sekaligus mendorong perencanaan dan penjarakan kehamilan agar Indonesia mendapat bonus demografi berkualitas.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkap secara general penggunaan berbagai alat kontrasepsi di Indonesia pada periode Februari-Maret 2020 turun 35-47 persen. Imbasnya jumlah kehamilan tidak direncanakan meningkat 15-20 persen pada 2021.
“Dengan perencanaan 2 anak maka kesehatan ibu dan anak juga lebih baik, ada kajiannya,” ungkap Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo dalam penutupan Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi (KR) secara virtual, Rabu, (30/6/2021).
Karena itu, penting bagi pasangan usia subur melakukan perencanaan kehamilan dengan kontrasepsi.
Dari segi penjarakan, jeda umur ideal antar anak berkisar 3-5 tahun agar maksimal pertumbuhannya. Sebab dari sisi kesehatan, lanjut Hasto, ketika ibu hamil masih menyusui maka janin berisiko stunting atau terkena autisme.
Pada periode menyusui, hormon oksitosin dalam tubuh meremas payudara untuk mengeluarkan air susu. Tapi di saat bersamaan hormon menyusui juga meremas rahim, sehingga ruang gerak janin menyempit. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada pertumbuhan janin selama kehamilan.
“Data kita mengatakan mayoritas pasangan tidak mau punya anak di 1-2 tahun pertama. Tapi kebobolan karena tak pakai kontrasepsi, mereka tidak memprediksi kelahiran anaknya,” kata Hasto.
Sementara masalah kesehatan reproduksi terkait KB yang tak kalah penting adalah kehamilan muda. Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia berdampak pada kehamilan pada remaja. Pertumbuhan pada perempuan akan terhenti ketika hamil di umur kurang dari 20 tahun, sehingga ibu cenderung pendek dan mengalami tulang keropos.
“Selain itu diameter panggul juga tak maksimal seperti perempuan dewasa (mencapai 10 cm), berisiko panggul sempit, bisa memicu komplikasi persalinan,” kata dia.
Ketimpangan dalam Berkontrasepsi
Sebelum pandemi angka putus pakai pengguna KB sudah mencapai 29 persen dalam rentang 12 bulan pemakaian. Persentase putus klien tiga kali lebih besar pada kelompok yang tidak menerima Strategi Konseling Berimbang (SKB). Saat ini ketika akses kesehatan terbatas, angkanya diprediksi jadi lebih besar.
Secara general, hasil survei Indonesian Demographic And Health menyimpulkan 70 persen pengguna KB tak mendapat informasi cukup dalam memilih kontrasepsi yang tepat. Mulai dari metode, efek samping, dan perlakuan terhadap efek samping.
“Namun perempuan kota punya lebih banyak akses dan informasi sebelum memilih metode KB,” ungkap Meiwita Budhiharsana, Profesor dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dalam rangkaian acara yang sama, Senin, (28/6/2021).
Hak berkontrasepsi mereka yang punya privilese ekonomi dan pendidikan tinggi juga lebih beruntung dalam hal akses informasi pemilihan kontrasepsi. Sebaliknya, bagi kelompok menengah bawah, karena kontribusi puskesmas sebagai pusat informasi kontrasepsi masyarakat dinilai kurang.
“Dokter praktik swasta lebih berperan besar dalam memberi informasi,” ujar Meiwita.
Jika ditarik benang merah dari data ketimpangan hak berkontrasepsi dari UI dengan peningkatan angka kelahiran dari BKKBN, bukan tak mungkin peluang mendapat generasi emas dari bonus demografi selama pandemi akan jadi asa semata.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Abdul Aziz