Menuju konten utama

Melihat Metode Lumbung Bekerja

Dengan metode lumbung, seni yang biasanya bersifat eksklusif justru bertemu dengan aktivisme sosial, manajemen, hingga jaringan lokal.

Melihat Metode Lumbung Bekerja
Suasana kegiatan belajar dari dapur pada acara Gelaran Pekan Kebudayaan Nasional di halaman gedung PT PFN, Jakarta Timur. foto/istimewa

tirto.id - Gelaran Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023, berlangsung sejak 20 Oktober hingga 29 Oktober tahun lalu, membuat aktivitas di komplek gedung PT Produksi Film Negara (PFN) di bilangan Cawang, Jakarta Timur, tampak lebih sibuk ketimbang hari-hari biasa. Nyaris semua area gedung PFN dioptimalkan menjadi venue hajatan budaya yang masif itu.

Di halaman PFN, saban sore ada agenda rutin “Perjamuan”. Sejumlah pegiat gastronomi dari beberapa wilayah di Indonesia menjajal kebolehannya meracik aneka makanan khas, lantas menghidangkannya secara cuma-cuma kepada pengunjung.

Area lainnya, rooftop salah satu bangunan yang menghadap ke Jalan Otista Raya, pada suatu malam digunakan untuk nobar berbagai macam film jadul via DVD dan proyektor. Belum lagi ada ruang pameran, ruang pertunjukan (terutama pertunjukan musik dan teater), ruang diskusi, dan ruang-ruang lainnya. Saban hari, semua ruang itu sarat aktivasi, sarat program, sehingga selalu ramai disambangi orang.

Hal yang sama berlaku di 40 ruang tamu lainnya, tersebar di antero Jabodetabek.

“Secara konsep, keramaian yang terjadi di PKN tahun 2023 lalu persis dengan yang terjadi di ‘Documenta Fifteen.’ Dengan pendekatan lumbung, kegiatan disebar di banyak titik, tidak hanya berlangsung di satu gedung atau galeri,” ungkap pengamat budaya pop Hikmat Darmawan kepada Tirto.id, Selasa (28/5/2024).

Konsep lumbung sendiri diperkenalkan oleh Ruang Rupa, kolektif seni asal Jakarta. Pada gelaran Documenta Fifteen (2022) di kota Kassel, Jerman, Ruang Rupa didapuk menjadi Direktur Artistik kegiatan.

Sejak eksis tahun 1955 atas inisiasi Arnold Bode, inilah kali pertama posisi Direktur Artistik Documenta dipercayakan kepada orang Asia, kolektif pula. Sebelumnya, Documenta selalu mempercayakan posisi Direktur Artistik kepada individu, bukan kepada kolektif atau kelompok seni.

Ade Darmawan dari Ruang Rupa menjelaskan, sebagai sebuah metode, praktik lumbung terinspirasi oleh tradisi agraris masyarakat Indonesia. Para petani tradisional biasanya menyimpan kelebihan hasil panen di dalam lumbung. Manfaatnya, sebagai cadangan pangan saat sebuah kelompok masyarakat dihadapkan pada situasi krisis atau darurat.

Bagi Suku Sasak, Nusa Tenggara Barat, area lumbung tidak hanya berfungsi menjadi tempat penyimpanan bahan pangan (bagian atas, ruang tertutup), tapi juga tempat kumpul-kumpul anggota masyarakat (bagian bawah, ruang terbuka).

Fakta itulah yang diadopsi oleh Ade Darmawan dan Ruang Rupa ke dalam konsep lumbung, lalu diterjemahkan lewat praktik-praktik kesenian mereka.

“Kami melihat lumbung sebagai prinsip kolaborasi. Kami punya perhatian terhadap bagaimana sumber daya, baik berwujud maupun tidak berwujud, dapat dibagikan. Pertukaran dan distribusi pengetahuan selalu menjadi inti dari praktik kami,” bunyi percakapan antara Ruang Rupa dengan Nikos Papastergiadis, Profesor dari School of Culture and Communication University of Melbourne.

Dengan pendekatan kolaboratif semacam itu, seni yang biasanya bersifat eksklusif justru bertemu dengan entitas-entitas yang lebih beragam. Mulai dari aktivisme sosial, manajemen, hingga jaringan lokal. Di gelaran Pekan Kebudayaan Nasional 2023, pertemuan semacam itu begitu kentara.

Belajar dari Dapur Bangsa Kenduri Rasa

Rabu sore, 25 Oktober 2023, penulis buku “Selama Ada Sambal Hidup Akan Baik-Baik Saja” (Buku Mojok, 2023), Nuran Wibisono, terlihat berkeringat setelah mengulek cabai dan garam, bawang dan terasi, di halaman gedung PFN. Kala itu, Nuran ditantang membuat sambal dan sambal bikinannya dibagikan begitu saja kepada pengunjung Dapur Bangsa.

Di meja, selain sambal terasi buatan Nuran, ada juga sambal lain seperti sambal bajak dan sambal matah, dipajang bersandingan dengan sayur sop panas, perkedel, tahu dan tempe goreng, ikan asin, telur dadar, hingga aneka macam kerupuk.

Setelah hidangan gratis itu habis, giliran sekelompok ibu dari Halmahera, Maluku Utara, mengambil alih dapur utama. Mereka menyajikan cakalang asap dan sagu, lengkap dengan air jahe dan sambal dabu-dabu. Lagi-lagi, semua masakan khas ini dihidangkan cuma-cuma buat menjamu para pengunjung.

Rhea Laras, salah seorang panitia, menyebut jauh sebelum kegiatan puncak PKN 2023 dilaksanakan di Jakarta, sejumlah panitia yang tergabung dalam Jejaring Rimpang disebar ke sejumlah daerah di Indonesia untuk belajar tentang bagaimana masyarakat lokal mengolah makanan.

Ketika PKN dilangsungkan, giliran masyarakat lokal yang diundang ke ibukota. Selain bicara soal kekayaan gastronomi daerahnya, mereka juga bercerita soal berbagai masalah yang dihadapi para penduduk di tempat asal mereka.

Maulana Yudhistira dari MODUS/Air, misalnya, menyajikan aneka sajian di bawah nama Teror Mahakam. Meski sekilas terdengar menyeramkan (jika bukan asal-asalan), Teror Mahakam yang isinya antara lain Nasi Kuning Samarinda dan olahan ikan gabus justru digandrungi pengunjung.

Sambil memasak, kolektif MODUS/Air bercerita soal kekhawatiran mereka akan kondisi Sungai Mahakam yang tercemar mikroplastik. Ikan-ikan yang selama ini hidup di Sungai Mahakam, sumber makanan warga lokal, terdampak oleh pencemaran tersebut. Kerusakan ekologis semacam itu jelas-jelas berdampak bagi kelangsungan masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Mahakam.

Dengan latar masalah demikian, MODUS/Air kemudian membuat macam-macam program dan karya seni. Salah satunya, kampanye lingkungan agar publik dan pemerintah sama-sama turun tangan mewujudkan perubahan, dilakukan lewat pendekatan masak-memasak. Kelihatannya sepele, tapi cara komunikasi semacam ini efektif membangkitkan kesadaran publik.

“Dalam Teori Maslow, eksistensi atau aktualisasi diri menempati piramida tertinggi dari hierarki kebutuhan. Seni ada di sana, di puncak piramida, sedangkan kebutuhan akan makanan ada di piramida paling dasar. Di PKN 2023, teman-teman yang mengurus sesi Perjamuan adalah mereka yang bergelut dengan isu makanan, mulai dari teknik, narasi, hingga segala masalah dan kompleksitasnya. Makanan bisa menjadi sarana untuk membicarakan apa saja," beber Rizal, salah seorang anggota Jejaring Rimpang.

Ungkapan Rizal valid. Di Dapur Bangsa, pertemuan antara seni dan pengetahuan lokal terbukti efektif menumbuhkan kesadaran sekaligus mengedukasi publik, terutama tentang masalah-masalah besar seperti krisis iklim atau ketahanan pangan. Hal semacam itu pula yang sebetulnya hendak diperjuangkan pemerintah, dalam hal ini Direktorat Kebudayaan, ketika menjadikan lumbung sebagai metode pemajuan kebudayaan.

Dalam konsep lumbung, kebudayaan dikelola oleh masyarakat, pemilik kebudayaan itu sendiri, berdasarkan kebutuhan dan kepentingan mereka. Diakui atau tidak, sebelum adanya UU Pemajuan Kebudayaan, pengelolaan atas kebudayaan kerap kali bersifat top-down, berdasar instruksi pemerintah pusat, alih-alih hasil rumusan masyarakat.

Dengan pendekatan lumbung, paradigma itu dibalik. Masyarakat berhak mengelola dan memanfaatkan berbagai kekayaan budaya di sekitar mereka, tak terkecuali untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi setiap hari. Hal-hal yang dikehendaki masyarakat terkait kerja-kerja pemajuan kebudayaan, dapat diusulkan lewat mekanisme perumusan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), laiknya sekelompok anggota masyarakat berunding di lumbung mencari mufakat.

“Kita mewarisi gagasan lumbung padi dan gotong royong sebagai satu bangsa yang besar dan terus bersatu di tengah keragaman budaya dan tradisi serta perkembangan zaman. Merawat bumi, merawat kebudayaan merupakan misi, visi, dan panggilan aksi kepada kita semua untuk menjaga kebudayaan dan alam. Dua hal yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi,” ungkap Mendikbudristek Nadiem Makarim, pada pembukaan PKN 2023, Jumat, 20 Oktober 2023.

Setahun sebelum PKN 2023 digelar, Dirjen Kebudayaan Indonesia, Hilmar Farid, mengajukan kebudayaan sebagai public goods, sebagaimana kesehatan atau pendidikan, di hadapan peserta Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan dan Kebudayaan Berkelanjutan di Mexico City. Tentu saja konsep atau metode lumbung tak lepas dari tawaran Hilmar.

“Kesimpulan yang mengakar dari konsep dan praktik lumbung dalam kebudayaan ini sedang menjadi pengetahuan bersama dalam kebudayaan di dunia saat ini. Konsekuensinya pada berbagai aspek pemajuan kebudayaan kita bisa jadi akan substansial,” ungkap Hikmat Darmawan, dalam pengantar Pidato Kebudayaan 2022, “Berakar dan Menjalar: Lumbung sebagai Model Ekonomi dan Estetika Organisasi Seni.”

Pengakuan kebudayaan sebagai ‘barang publik’ menambah dimensi baru dalam kebijakan budaya, memperkuat relevansi konsep lumbung dalam konteks global. Implementasi dan pemahaman yang mendalam tentang lumbung sebagai model ekonomi dan estetika organisasi seni memberikan dasar kuat bagi pengembangan kebudayaan yang berkelanjutan dan berakar pada nilai-nilai lokal. []

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis