tirto.id - Ruangan di lantai delapan Gedung Sejahtera, Kemayoran, Jakarta Pusat, tampak sepi. Tak ada aktivitas karyawan di sana meski saya mendatanginya pada jam kerja, Jumat siang, 21 Februari lalu.
Deretan meja dan kursinya berdebu. Papan tulis yang berdiri di sisi tengah ruangan hanya berisikan presentasi lama, sementara alat musik drum bermerek Yamaha yang diletakkan di sudut ruangan seperti tak pernah tersentuh.
Kecuali sebuah laptop yang ditinggal pemiliknya, nyaris tak ada penanda tempat itu masih digunakan. Padahal, tepat di muka pintu, terdapat logo yang menandakan ruangan itu adalah kantor PT Garuda Tauberes Indonesia—anak usaha PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Seorang Office Boy mengatakan, dulunya tempat itu adalah gudang. Baru enam bulan belakangan ia difungsikan sebagai kantor menyusul diluncurkannya Garuda Tauberes pada 11 September 2019.
Dua orang karyawan sempat menyapa dan bertanya soal kepentingan kunjungan saya ke kantor itu. Tapi mereka langsung bersikap dingin setelah saya memperkenalkan diri sebagai reporter.
Salah satu di antaranya, yang sempat berusaha ramah dan masih meladeni pertanyaan saya, tak bisa berkomentar banyak. Ia bilang, belum ada kegiatan berarti yang dilakukan oleh Garuda Tauberes hingga saat ini.
"Saya juga bukan orang Garuda Tauberes Indonesia, saya hanya diperbantukan di sini," ujarnya.
Ia mengaku menerima tawaran memperbantukan PT Garuda Tauberes Indonesia (GTI) karena program-programnya punya konsep menarik.
Namun, ada raut kecewa ketika ia tahu perusahaannya masuk ke dalam daftar anak usaha Garuda Indonesia yang akan ditutup oleh Menteri BUMN Erick Thohir.
"Di sini hanya 3 [orang karyawan] saya juga ke sini karena awalnya saya yakin ini program yang bagus," ujar dia.
Dilihat dari situsweb resminya, Tauberes merupakan perusahaan yang berfokus pada usaha digital di bidang logistik: mencakup pengiriman paket dan jasa kargo pesawat. Dukungan kargo udara pesawat Garuda dan Citilink jadi modal utama perusahaan ini bersaing dengan perusahaan serupa yang sudah lebih dulu eksis.
Selain itu, perusahaan ini juga menyediakan platform berbelanja online. Untuk fitur ini, Tauberes menggandeng e-commerce yang dirintis BUMN lainnya, yakni Blanja.com milik PT Telkom (Persero) dan Sarinah Online besutan PT Sarinah (Persero).
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyampaikan, hingga saat ini rencana penutupan Tauberes masih dibahas dalam internal koorporasi. "Kita lagi review perusahaan itu. Nanti aja ya kalau sudah selesai," ujar dia kepada Tirto, Jumat (21/2/2020).
Sementara Chief Technology Officer Tauberes Gisneo Pratala, saat dihubungi melalui pesan Whatsapp, hanya menyampaikan permintaan maaf karena belum bisa memberikan informasi lebih jauh mengenai kondisi perusahaanya.
"Kalau sekarang belum bisa, situasinya lagi kurang nyaman dan kami sedang banyak hal yang harus dilakukan," ujar dia.
Pengamat BUMN dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menuturkan, rencana penutupan anak-anak perusahaan BUMN perlu bisa dikaji ulang mengingat perusahaan induk sudah mengeluarkan banyak uang untuk mendirikan anak usaha.
Jangan sampai usaha yang dilakukan sia-sia karena dianggap tidak efisien karena perusahaan belum balik modal. "Jadi harus diaudit dulu [belum balik modal] sejauh mana kerugian ditanggung oleh anak usaha," kata Abra saat dihubungi, Jumat (21/2/2020).
Memang, kata dia, wacana likuidasi yang diusulkan Menteri BUMN bisa dilakukan selama anak dari korporasi tersebut berjalan di luar bisnis inti perusahaan induk dan hanya dinilai sebagai beban.
Namun, meski potensi pendapatan dianggap tak lagi memungkinkan untuk mengembalikan modal, Kementerian BUMN juga harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada DPR.
"Proses restrukturisasi anak usaha ini, meskipun di Undang-Undang BUMN tidak sampai ke anak usaha, tapi saya pikir juga tidak ada salahnya untuk mengkonsultasikan semua ke DPR. Kalau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005, memang ada pasal yang menjelaskan mengenai penggabungan peleburan dan pengambil alihan dan pembubaran," tandasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana