Menuju konten utama
Mozaik

Mei Kartawinata & Peran Aliran Sungai dalam Kebatinan Perjalanan

Ia berpikir betapa mulianya sungai yang mengalir dari hulu ke hilir hanya untuk dimanfaatkan manusia. Kemudian lahirlah aliran kebatinan Perjalanan.

Mei Kartawinata & Peran Aliran Sungai dalam Kebatinan Perjalanan
Header Mozaik Ma-Pitu Mei Kartawinata. tirto.id/Tino

tirto.id - Golongan menak atau bangsawan di Priangan sejak abad ke-17 merupakan corong Islam di Jawa Barat. Selain memegang posisi elite strategis, mereka juga dipercaya sebagai sosok yang saleh. Ini terkait dengan kekuasaan yang berkiblat pada konsep kuasa Kerajaan Mataram Islam.

Menurut Nina Herlina Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1942) (1998), para elite lokal Priangan ini dianggap sebagai "terahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih" atau "trah bunga, rembesan madu, biji petapa, keturunan orang mulia".

Kesamaan konsepsi kuasa antara Jawa dan Sunda pada periode akhir rezim VOC sampai menjelang kejatuhan Hindia Belanda memungkinkan Clifford Geertz dalam Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam kebudayaan Jawa (2013) menggambarkan para priyayi gemar sekali mempraktikkan laku kebatinan.

Puncak dari gerakan kebatinan di kalangan para aristokrat, baik di Jawa maupun di Sunda, agaknya terjadi menjelang pertengahan abad ke-20. Di kalangan aristokrat Jawa misalnya, Ki Ageng Suryomentaram memilih keluar dari keraton dan menjadi ikon dari jiwa zaman itu.

Sang Pangeran tersohor dengan keprihatinannya itu melihat wong cilik yang kondisinya jauh sekali dari ia dan kerabat-kerabatnya. Keresahannya itu diasah bertahun-tahun dalam pengembaraan, sampai ia mencapai suatu pencerahan yang disebut kawruh bejo--pengetahuan akan kebahagiaan.

Seperti ditulis oleh A.P. Trinarso pada "Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram" (2015), sosok ini aktif mengajar di wilayah Jawa bagian tengah dengan pusat pengajarannya di Yogyakarta.

Sementara di kalangan bangsawan Sunda, Mei Kartawinata menjadi salah satu monumen gerakan ilmu kebatinan di Priangan. Ajaran kebatinannya yang bernama Perjalanan begitu populer di komunitas penghayat di daerah-daerah urban, khususnya Bandung.

Ia menjadi penggebrak revivalisme pemikiran Sunda Kuno di masa awal kemerdekaan Indonesia, yang akhirnya menimbulkan antusiasme golongan intelektual dan sosialita di Bandung untuk mengeksplorasi falsafah masa lampau.

Wangsit di Ci Leuleuy

Menurut M. Syaiful Hanafi dalam Aliran Kebatinan dan Tanggapan Masyarakat di Desa Keboansikep Gedangan Sidoarjo (2019), Mei Kartawinata lahir di Kebonjati, Kota Bandung, pada 1 Mei 1897. Sumber lain menyebut ia lahir pada 1 Mei 1898.

Ayahnya adalah Raden Kartowidjojo dari Rembang dan ibunya Raden Mariah dari Bogor. Masa remaja ia habiskan di Keraton Kanoman Cirebon bersama kakak iparnya. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsch School milik zending hingga mengenal teologi Kristen.

Kedekatannya dengan teologi sudah berlangsung sejak beberapa tahun sebelum ia menempuh pendidikan di HIS, yakni ketika belajar di pesantren. Ia mampu membaca kitab kuning.

Selama tinggal di Cirebon pula Mei mulai bersentuhan dengan aliran kebatinan. Ia dikenal mendapat pengaruh aliran kebatinan ngelmu sajati atau ngelmu garing yang banyak diadopsi oleh kalangan bangsawan Cirebon. Ngelmu garing menekankan konsep hakikat dibandingkan syariat dalam kehidupan beragama, sehingga kesan yang muncul mirip dengan ajaran sufisme.

Kisah "pencapaian kesadaran" Mei cukup unik. Bermula dari perseteruannya dengan dua kawan karibnya, yakni M. Rasid dan Sumitra pada 17 September 1927.

Untuk mengakhiri perseteruan, mereka membuat perjanjian untuk berkelahi di sebuah hutan larangan bernama Cimerta di pinggir Sungai Ci Leuleuy, perbatasan Purwakarta-Subang. Selama menunggu Rasid dan Sumitra, Mei bersedih hati dan putus asa karena harus berkelahi dengan dua sahabatnya.

Di tengah kegalauan, ia memutuskan hendak bunuh diri dengan melompat ke Sungai Ci Leuleuy. Namun, sebelum sempat melompat, Mei mendengar suara sayup-sayup yang kemudian dikenal sebagai Wangsit Ci Leuleuy.

Dikutip dari Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan Perjalanan” di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Lubang Buaya, Jakarta Timur (2003) karya Endang Supriatna dkk. wangsit ini secara umum berisi nasihat agar Mei tidak sewenang-wenang terhadap diri sendiri, eksistensinya tidak lepas dari pemberian manusia lain yang ada di dalam hidupnya (seperti kasih sayang orang tua, teman, dan saudara).

Infografik Mozaik Ma-Pitu Mei Kartawinata

Infografik Mozaik Ma-Pitu Mei Kartawinata. tirto.id/Tino

Aliran Kebatinan Perjalanan

Mei lantai mengamati aliran Sungai Ci Leuleuy. Ia berpikir betapa mulianya sungai yang mengalir dari hulu ke hilir hanya untuk dimanfaatkan manusia. Dari peristiwa ini, beberapa dekade kemudian ajarannya dikenal sebagai Perjalanan.

Menurut Endang Supriatna dkk. inti ajaran Mei Kartawinata bisa ditemui pada sepuluh wangsit yang didapatkannya di tepi Sungai Ci Leuleuy. Inti ajarannya menyebut manusia harus senantiasa menjunjung welas asih, etos kerja, kepentingan/pandangan kolektif, eksistensi para leluhur, dan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.

Secara konkret, aliran Perjalanan melarang ma-pitu, yakni maen (berjudi), madon (melacur), maling, mabuk, madat, maksiat dan mateni (membunuh).

Dalam buku Budaya Spiritual Aliran Kebatinan Perjalanan (2014) yang ditulis Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Tuhan menurut orang-orang penganut aliran Perjalanan disebut dalam beberapa nama:

Hyang Maha Agung (Yang Maha Esa), Hyang Maha Murba (Yang Maha Ada), Hyang Maha Sukma (Yang Memberi Penghidupan), Hyang Maha Widi (Yang Maha Tinggi), Hyang Maha Manon (Yang Maha Melihat), Hyang Maha Welas Asih (Yang Maha Welas Asih), Hyang Maha Adil (Yang Maha Adil), Hyang Maha Mirah (Yang Maha Pemurah) dan Hyang Maha Awis (Yang Maha Mahal/ tidak terbayangkan).

Dalam mencapai tujuan dari perjalanan manusia, aliran Perjalanan mengenal tiga dunia, yaitu alam purwa, alam madya dan alam wusana.

Aliran Perjalanan menjadi salah satu aliran kebatinan yang cukup prominen di Jawa Barat. Kiwari,

aliran kebatinan ini tidak hanya menyebar di Bandung, tapi juga di kota-kota besar lain seperti Jakarta, Bekasi, bahkan di luar Jawa Barat.

Ajarannya yang universal dan kegigihan Mei Kartawinata dalam "berdakwah" ke banyak tempat, menjadi aspek penting dari luasnya wilayah jangkauan persebaran penganut aliran kebatinan Perjalanan. Terlebih, pada masa revolusi Mei juga aktif mengaitkan ajarannya dengan sikap patriotisme yang sedang laku pada masa itu.

Baca juga artikel terkait MEI KARTAWINATA atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi