tirto.id - Badan berasa lemas, dada penuh sesak. Tidak ada semangat hidup, tidak bisa fokus saat bekerja. Kira-kira itu gambaran kondisi Okie Fauzi Rachman, 25, setahun lalu.
Seringkali, Okie hilang nafsu makan dan sulit tidur. Pikirannya dipenuhi peristiwa buruk di masa lalu dan hal-hal buruk yang mungkin terjadi di masa depan. "Saya bangun tidur, pikiran yang menyakitkan itu terus berputar. Itu membuat saya berpikir, 'Kenapa saya hidup?'. Saya berpikir untuk mengakhiri hidup kalau bakal hidup begini terus," kata Okie.
Sebelum gejala itu muncul, hubungan Okie dengan sang kekasih merenggang. Kekasih yang telah bersamanya selama lebih dari 2 tahun akhirnya mengaku selingkuh.
Pada Mei 2017 itu, seorang dokter dan kolega yang pernah mengalami gejala serupa beranggapan Okie tengah mengalami depresi. Okie mengiyakan anggapan itu meskipun tidak pernah berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater karena tidak memiliki cukup uang, hingga kini.
Lalu, seorang penyintas menyarankan agar laki-laki yang kini menjadi peneliti di suatu lembaga riset bidang agraria perkotaan itu berolahraga. Sejumlah artikel di internet dan buku yang dia baca pun menyarankan hal serupa.
Sekitar Agustus 2017, Okie mencoba saran tersebut dengan menggiatkan seven minute workout. Setiap sore, Okie melakukan latihan fisik sederhana seperti push-up, back-up, atau sit-up, selama tujuh menit. Beberapa minggu kemudian, alumni Insitut Teknologi Bandung (ITB) itu menambah durasi dan mencoba bentuk latihan fisik yang lebih berat. Lalu, pada November 2017, Okie mulai jogging.
Kini, jogging menjadi aktivitas yang hampir tak pernah absen Okie lakukan. Setiap sore atau malam, laki-laki yang tinggal di kawasan Margahayu, Bandung itu jogging di Sasana Olahraga Ganesha (Saraga), salah satu pusat sarana olah raga di kawasan Bandung bagian utara. Terletak di belakang kampus ITB, satu keliling lapangan Saraga berukuran 400 meter.
"Treknya dikelilingi pohon dan jauh dari jalanan motor atau mobil. Selain itu, saya bisa mampir ke kampus, jadi bisa sekaligus cari teman. Awalnya saya lari 3 keliling. Itu udah bikin saya pusing. Lama-lama naik jadi 4 keliling. Sekarang biasanya dapat 6 keliling," ujar Okie.
"Saya Lariin Saja"
Jogging melatih Okie berpikir tenang. Di putaran pertama sampai ketiga, Okie mengakui hal-hal negatif masih berkeliaran dalam pikirannya. Namun, itu akan berangsur hilang saat memasuki putaran keempat sampai keenam. Okie juga biasa melampiaskan rasa sakit hatinya dengan melalukan sprint di putaran terakhir.
Selama menjalani jogging secara rutin, keinginan Okie mengonsumsi minuman beralkohol atau zat adiktif pun berangsur turun.
"Kalau sekarang, namanya juga hidup ya pasti ada aja yang bikin saya sakit hati atau stres mikirin duit, kerjaan, keluarga. Itu saya lariin aja. Kalau ada orang yang bertanya saya mau ke mana, saya jawab, 'Lari dari kenyataan'," ujar Okie.
Keterkaitan antara latihan fisik sebagai penangkal depresi telah dikaji banyak peneliti. Dalam "Exercise as A Treatment for Depression: A Meta-analysis Adjusting for Publication Bias" (2016), Felipe B. Schuch dan kawan-kawan mengumpulkan data dari 25 penelitian sebelumnya yang membahas orang-orang didiagnosis depresi secara klinis yang menjalani atau tidak menjalani program latihan fisik.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa latihan fisik--terutama yang cukup berat, seperti jogging atau jalan cepat, serta terprogram--berdampak besar dan signifikan dalam melawan depresi. Kesehatan mental orang-orang cenderung meningkat jika mereka aktif secara fisik, begitu kata Schuch dan kawan-kawan.
Sejumlah peneliti, termasuk Felipe B. Schuch, juga menganalisis 20 penelitian sebelumnya yang mengkaji sampel darah orang-orang dengan depresi berat sebelum dan sesudah mereka berolahraga dalam "Are Lower Levels of Cardiorespiratory Fitness Associated with Incident Depression? A Systematic Review of Prospective Cohort Studies" (2016).
Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa olahraga mengurangi berbagai tanda peradangan dan meningkatkan kadar sejumlah hormon dan senyawa biokimia lain yang diduga berkontribusi terhadap kesehatan otak.
Sementara itu, dalam makalah "Leisure-Time Running Reduces All-Cause and Cardiovascular Mortality Risk" (2014), Duck-chul Lee dan kawan-kawan menguji keterkaitan antara aktivitas lari dengan resiko kematian akibat semua pangkal dan penyakit kardiovaskular pada 55.137 orang berumur 18-100 tahun. Para peneliti ini menyimpulkan jogging selama 10 menit per hari dengan kecepatan 6 mil per jam dapat menurunkan resiko kematian akibat semua pangkal dan penyakit kardiovaskular.
Larilah Sebelum Lari Dilarang
Okie jelas hanya satu dari ratusan orang yang menghabiskan waktu sore hari akhir pekannya di Saraga. Dia juga hanya satu dari ribuan orang yang berolahraga setiap hari di Kota Bandung.
Data termutakhir Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 menyatakan 27,61 persen penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas melakukan olahraga. Meskipun tidak besar, proporsi ini meningkat dari periode sebelumnya yang tercatat sebesar 24,99 persen (2012) dan 21,76 persen (2009). Sedangkan riset yang diampu Sun Life Financial Index Asia pada 2016 menyebutkan sebanyak 60 persen responden dari Indonesia memilih lari sebagai olahraga yang paling ingin dilakukan.
Di tempat lain, Amerika Serikat (AS) memiliki data yang lebih rinci mengenai jumlah pelari. Negeri Paman Sam itu mencatat perkiraan jumlah pelari setiap tahun, sejak musim semi 2008 hingga musim semi 2017. Seperti disebut dalam Statista, pada musim semi 2015, jumlah pelari di AS mencapai 60,84 juta dalam kurun waktu 12 bulan. Pada musim semi 2017, jumlah pelari di AS mencapai 65,05 juta dalam kurun waktu 12 bulan.
AS pun punya cerita unik tersendiri mengenai jogging yang belum sepopuler sekarang pada 1960-an. Pada waktu itu, orang di luar lingkaran atlet dan petinju disebut aneh jika melakukan jogging. Bahkan, tak jarang pula mereka yang berurusan dengan aparat kepolisian.
Vox mencatat Senator Strom Thurmound diberhentikan aparat polisi saat jogging di Greenville, South Carolina pada 1968. Pada tahun yang sama, Dick Cordier, seorang warga Hartford, Connecticut, diberhentikan polisi karena penggunaan ilegal jalan raya oleh pejalan kaki. Satu kota dengan Cordier, Ray Crothers dicatat kabur dari kejaran polisi sembari berteriak, "Tidak bisakah saya berlari di dekat rumah saya sendiri?"
Barangkali, cerita seperti itu bakal jarang ditemui lagi kecuali di Burundi dan Sierra Leone, dua negara yang diketahui melarang masyarakatnya jogging secara berkelompok. Cerita yang lebih banyak ditemui mungkin ada di sekitar model sepatu jogging terkini, jadwal lomba lari berbayar, hingga jam tangan canggih pengukur denyut jantung pelari.
Yang jelas, tulisan ini dibuka dengan kisah Okie yang rutin jogging untuk "Lari dari kenyataan". Kalau Anda, lari untuk apa dan/atau dari apa?
Editor: Maulida Sri Handayani