tirto.id - Tak selamanya bisnis online mendatangkan keuntungan yang besar dibanding offline. Setidaknya inilah yang dialami PT Matahari Department Store Tbk.
Laba bersih Matahari Department Store anjlok 42,5 persen sepanjang 2018. Perusahaan yang tercatat di papan bursa dengan kode emiten LPPF ini hanya berhasil meraup laba bersih sebesar Rp1,1 triliun. Turun jauh dibanding keuntungan bersih 2017 yang mencapai Rp1,91 triliun.
Padahal di saat yang bersamaan, Matahari mampu meraup penjualan kotor sebesar Rp17,9 triliun. Angka itu naik 2,1 persen dibanding 2017 yang senilai Rp17,5 triliun.
Pendapatan bersih perusahaan juga tercatat naik 2,2 persen menjadi Rp10,2 triliun sepanjang tahun lalu. Kenaikan ditopang oleh pertumbuhan penjualan per gerai atau same store sales growth (SSSG) sebesar 3,5 persen.
Sekretaris Hukum dan Perusahaan LPPF Miranti Hadisusilo menjelaskan bahwa penurunan laba bersih perusahaan terutama disebabkan oleh kerugian penurunan nilai investasi yang dilakukan perseroan di MatahariMall.com yang kini telah bersalin nama menjadi Matahari.com.
“Kami melakukan pencadangan 100 persen atas investasi kami sebesar Rp770 miliar,” jelas Miranti kepada Tirto.
Dalam laporan keuangan 2018 yang dipublikasikan, Matahari memang mencatatkan kerugian atas penurunan nilai investasi pada instrumen ekuitas senilai Rp769,77 miliar. Investasi dilakukan terhadap PT Global Ecommerce Indonesia (GEI) pada 31 Desember 2017, yang merupakan bisnis e-commerce pertama Grup Lippo dengan nama MatahariMall.com sebelum akhirnya bersalin nama menjadi Matahari.com.
Miranti mengakui sektor bisnis e-commerce belum memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap total pendapatan perseroan. Ia tidak menyebut angka pasti. Sebanyak 159 gerai konvensional yang tersebar di 75 kota di seluruh Indonesia sepertinya masih menjadi tulang punggung utama pendapatan Matahari Department Store.
Berbagai gerai konvensional masih tetap dibuka oleh Matahari Department Store, meski tak luput dari fenomena buka-tutup gerai. Jika pada 2016 perusahaan mengoperasikan 150 gerai, jumlahnya menjadi 155 gerai pada 2017 dan bertambah lagi menjadi 159 gerai tahun berikutnya.
Pada 2017, Matahari Department Store menutup empat gerai dan membuka delapan gerai baru. Penutupan disebabkan oleh selesainya masa kontrak sewa Matahari dengan pihak pusat perbelanjaan. Penyebab lainnya, kinerja empat gerai kurang mumpuni dalam mendongkrak penjualan. SSSG perseroan pun tercatat minus 1,2 persen saat itu.
Agar dapat bertahan, perseroan pada 2018 melakukan efisiensi dengan menutup tiga gerai yang kurang produktif namun tetap berekspansi dengan membuka tujuh gerai baru dengan rincian empat gerai format besar dan tiga gerai khusus. Tahun 2019 ini, perseroan kembali berencana membuka 4-6 gerai berformat besar dengan total anggaran belanja sebesar Rp400 miliar-Rp500 miliar.
Namun, perseroan juga berencana menutup dua gerai yang kurang produktif pada 2019. Akhir tahun diperkirakan akan ada 162 gerai dengan luas 1 juta meter persergi yang dikelola Matahari Department Store.
“Anggaran itu termasuk untuk pembukaan gerai baru, renovasi gerai dan juga untuk capital expenditure (belanja modal) lainnya,” sebut Miranti yang juga menjelaskan perseroan menargetkan pertumbuhan penjualan per gerai atau SSSG di single digit tahun ini.
Menurut Richard Gibson, CEO dan wakil presiden direktur Matahari Department Store, Perbaikan tata letak dan format gerai harus dilakukan dalam rangka beradaptasi dengan tren bisnis ritel yang terus berkembang saat ini selain untuk mengembangkan bisnis omni-channel mereka. “Kami percaya inisiatif ini akan memberikan dasar yang kuat bagi pertumbuhan perusahaan di masa depan untuk tahun-tahun mendatang,” kata Richard dalam siaran pers tertanggal 4 Maret 2019 (PDF).
Selain Matahari Department Store yang rajin buka-tutup gerai dan mengembangkan bisnis omni-channel-nya, beberapa pusat perbelanjaan juga melakukan hal yang sama. Pada awal 2019, Centro dan Central Department Store tutup gerai. Ada pula Hero Supermarket yang menutup sejumlah gerai. Pada 2017, dua gerai Lotus dan Debenhams yang merupakan bisnis ritel milik PT Mitra Adiperkasa juga ditutup.
Menurut Budiharjo Iduansjah, ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), penutupan gerai kemungkinan besar terjadi karena peritel terutama segmen department store sedang menyesuaikan diri dengan kondisi pasar.
“Secara umum, industri ritel memang sedang menghadapi tantangan yang cukup besar seiring dengan perkembangan zaman. Kondisi bisnis saat ini tidak seperti dulu lagi. Ada peralihan,” ungkap Budi.
Peralihan yang dimaksud tersebut antara lain tingginya permintaan di luar Jawa. Ritel-ritel besar saat ini fokus ke luar Jawa untuk memperbesar ekspansi bisnis dengan menyasar Sumatera dan Kalimantan. Program pemerintah yang fokus ke daerah membuat daya beli masyarakat di luar Jawa turut meningkat. Kondisi ini membuat pertumbuhan gerai-gerai ritel baru di luar Pulau Jawa cukup kencang.
Selain itu, tekanan terhadap bisnis ritel konvensional juga datang dari pelaku perdagangan daring. Saat ini semakin banyak konsumen yang berbelanja online lantaran harga yang ditawarkan lebih murah dan praktis ketimbang belanja offline. Toko online dianggap lebih berdaya saing.
Sayangnya hal itu belum terjadi pada Matahari.com, aplikasi daring milik Matahari Department Store. Mirrae Asset Sekuritas dalam risetnya menyebut kinerja pendapatan dan laba bersih perseroan di 2018 hanya mencapai 59 persen dan 63 persen dari perkiraan semula.
“Kami belum memperhitungkan kerugian yang cukup besar pada investasi yang dilakukan perusahaan di mataharimall.com,” tulis Christine Natasya, Equity Research Analyst Mirae Asset dalam salah satu risetnya (PDF).
Pembukaan berbagai gerai baru yang dilakukan perusahaan sepanjang 2018 dinilai sebagai tanda optimisme pertumbuhan bisnis perusahaan untuk 2019. “Namun demikian, kami belum melihat pertumbuhan yang naik signifikan, seperti pertumbuhan penjualan toko yang jauh lebih baik dari perkiraan atau margin yang lebih tinggi dari perkiraan, tercapai,” sebut Christine.
Untuk 2019, target pertumbuhan penjualan toko yang sama atau SSSG yang konservatif dengan angka satu digit (karena dampak negatif dari pengecer online) diharapkan dapat disaingi dengan bisnis online matahari.com. “Diharapkan Matahari.com akan bisa membuahkan hasil disamping peluncuran sistem ritel omni-channel-nya,” tulis Mirae.
Dengan penerimaan hak eksklusif berupa pendistribusian merek pakaian asal Italia bernama OVS beserta pembukaan tiga gerainya, diharapkan inventaris perusahaan dapat mengikuti tren yang lebih tinggi pada 2019. Dengan anggaran belanja modal yang dua kali lipat dibanding capex perseroan tahun 2017, maka peluang perusahaan untuk pertumbuhan pendapatan yang lebih terbatas dapat membebani margin LPPF beberapa waktu ke depan.
Editor: Windu Jusuf