tirto.id - Maraknya informasi hoaks yang menyebar saat ini, apalagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, menuntut masyarakat yang lebih kritis untuk mencegah berita bohong tersebar luas.
Persebaran hoaks di Indonesia sedang sangat marak. Berdasar data Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), antara Agustus 2018-Maret 2023 saja teridentifikasi 11.357 isu hoaks di berbagai situs dan platform digital. Isu kesehatan dan pemerintahan menjadi dua teratas, diikuti penipuan dan politik.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tren persebaran misinformasi serta metode verifikasi masyarakat terhadap informasi yang beredar, Tirto bersama Jakpat melakukan riset pada 13 September 2023 dengan melibatkan 1.500 orang responden. Jakpat sendiri adalah penyedia layanan survei dengan lebih dari 1,3 juta pengguna yang menjadi responden mereka yang juga tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Sebelumnya telah dipaparkan, survei Tirto bersama Jakpat ini menunjukkan kalau media sosial Facebook dan TikTok disebut sebagai tempat penyebaran informasi hoaks paling banyak menurut responden.
Metodologi
Jumlah responden: 1.500
Wilayah riset: Indonesia (tersebar di 32 provinsi)
Instrumen penelitian: Kuesioner daring dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non-probability sampling
Margin of Error: Di bawah 3 persen
Profil Responden
Melihat sebaran respondennya, antara laki-laki (50,33 persen) dan perempuan (49,67 persen) jumlahnya cenderung seimbang. Juga kalau melihat usia, persebarannya cenderung merata di kelompok usia 20-45 tahun. Kelompok usia responden paling besar dari rentang 40-45 tahun (19,07 persen), diikuti kelompok 30-35 tahun (18,13 persen), 20-25 tahun (17,87 persen), 36-39 tahun (17 persen), dan 26-29 tahun (14,87 persen). Sisanya ada sebagian dari responden kelompok usia di atas 45 tahun (8,87 persen), dan di bawah 20 tahun (4,2 persen).
Seperti yang sudah disebut di atas, responden datang dari 32 provinsi yang ada di Indonesia. Persebarannya masih dominan di Pulau Jawa yang mecapai 76,67 persen dengan responden dari Jawa Barat (26,47 persen) menjadi yang paling banyak. Diikuti kemudian dengan responden dari Sumatra (13,94 persen), Kalimantan (3,99 persen), Sulawesi (2,94 persen), Bali dan Nusa Tenggara (1,93 persen), lalu Maluku-Papua (0,53 persen).
Kebanyakan responden berlatar pendidikan SMA/K dengan proporsi 45,47 persen dan lulusan S1 yang mencapai 34 persen. Sisanya tersebar antara mereka yang lulusan D3 (8,6 persen), SMP (4,6 persen), D1 (2,27 persen), SD (2 persen), dan S2 (1,87 persen).
Peserta survei juga paling banyak yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan persentase 16,6 persen, lalu ada yang menganggur sebanyak 12,87 persen, dan wiraswasta 10,2 persen. Kelompok pekerja lainnya yang cukup banyak adalah adalah para mahasiswa (7,93 persen), mereka yang bekerja di bidang F&B (7,47 persen), dan guru ataupun peneliti (5,27 persen).
Masyarakat Melakukan Verifikasi Informasi karena Merasa Punya Tanggung Jawab
Lebih dari setengah sampel responden survei, sebanyak 51,8 persen, mengaku selalu melakukan verifikasi terhadap informasi yang didapat untuk memastikan kebenarannya. Sementara sekitar 38,67 persen responden sisanya mengaku kadang-kadang memeriksa kebenaran informasi sebelum menyebarkannya ke pihak lain.
Hanya sekitar 6,6 persen responden yang mengaku tidak melakukan verifikasi informasi sebelum menyebarkan informasi yang didapat. Terdapat juga 2,93 persen yang menjawab tidak tahu apakah upaya yang mereka lakukan sudah termasuk dalam upaya verifikasi isi informasi.
Temuan ini serupa dengan hasil survei yang dilakukan DailySocial bersama Jakpat pada 2018 terhadap 2.032 pengguna smartphone. Survei mereka menemukan bahwa 55,61 persen responden selalu melakukan verifikasi informasi yang didapat dan 41,58 persen kadang-kadang melakukannya.
Ketika ditanya mengenai metode yang dilakukan untuk verifikasi keakuratan informasi, ada beberapa cara yang dilakukan responden. Metode paling populer adalah dengan memastikan ada lebih dari satu sumber terpercaya yang mempublikasikan informasi tersebut (55,2 persen). Selain itu, metode lain untuk memverifikasi informasi adalah lewat membandingkan isi informasi dengan sumber berita terpercaya (55,13 persen).
Hal ini dapat menjadi indikasi pentingnya peran media massa sebagai salah satu sumber informasi terpercaya dalam mencegah persebaran berita bohong.
Sementara itu terdapat juga 46,93 persen responden yang menjawab melakukan penelitian sendiri lewat pencarian daring sebagai cara untuk memverifikasi informasi.
Peran pemerintah juga signifikan dalam upaya menangkal hoaks. Sebab 43,87 persen responden mengaku, biasanya proses verifikasi informasi mereka melibatkan pemeriksaan situs atau pernyataan resmi pemerintah terkait isu terkait.
Sementara kredibilitas penulis atau sumber informasi juga menjadi kian penting, sebab memeriksa latar mereka juga disebut 34,87 persen responden sebagai cara untuk memverifikasi kebenaran informasi. Sementara terdapat 31 persen responden yang mengaku memeriksakan informasi yang didapat dengan informasi dari situs atau media pemeriksa fakta.
Sisanya, terdapat 24,8 persen responden yang mengaku memverifikasi keakuratan informasi dengan mendasarkan pada pengetahuan pribadi dan 11,4 persen berupaya mengkonfirmasi informasi dengan mengontak pakar atau orang yang punya otoritas di bidang tertentu.
Terkait dengan situs atau media pemeriksa fakta, meski sudah cukup akrab digunakan sekitar tiga dari 10 responden, nampaknya masih perlu dilakukan peningkatan lagi. Sebab berdasar artikel F.X. Lilik Dwi Mardjianto yang dipublikasikan di The Conversation, konten pemeriksa fakta di Indonesia masih kurang mendapat perhatian dari publik.
"Salah satu penyebabnya adalah karena konten-konten cek fakta masih didominasi oleh elemen tekstual. Elemen visual yang lebih dominan dapat membuat konten cek fakta lebih menarik bagi publik," tulisnya dalam artikel tersebut.
Dari survei yang dia lakukan bersama tim peneliti dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada tahun 2022, menunjukkan kalau sekitar 60 persen responden cenderung lebih suka dengan konten pemeriksaan fakta dalam bentuk video pendek ataupun melalui siaran langsung di Instagram.
Verifikasi informasi dilalukan banyak responden sebab adanya rasa tanggung jawab. Hasil survei Tirto bersama Jakpat menunjukkan hanya sekitar 1,5 persen responden yang tidak setuju atau sangat tidak setuju dengan pernyataan, "individu punya tanggung jawab untuk verifikasi informasi sebelum membagikannya."
Sekitar 40 persen sangat setuju dengan pernyataan ini, sementara 37,93 persen setuju dan ada 20,60 persen merasa netral. Ini adalah indikasi positif dalam upaya mencegah penyebaran informasi hoaks.
Apa yang Dilakukan Jika Menerima atau Menyebarkan Hoaks?
Ada urgensi untuk memverifikasi semua informasi yang diterima saat ini, karena survei menemukan bahwa kebanyakan responden menemukan bahwa setelah diverifikasi, banyak informasi yang mereka terima ternyata adalah hoaks. Sebanyak 41,73 persen responden mengaku cukup sering menyimpulkan informasi yang didapat adalah hoaks setelah melakukan proses verifikasi, sementara 27,93 persen menjawab sering dan 14,13 persen menjawab sangat sering menemukan hoaks setelah memverifikasi informasi.
Setelah menerima dan menyimpulkan informasi yang didapat adalah hoaks, ada beberapa hal yang biasa dilakukan oleh responden. Pertama adalah mencari kelengkapan dan kebenaran informasi lebih lanjut (dilakukan 37,47 persen responden), sebagian lagi mengingatkan ke orang yang menyebarkan informasi tersebut (36,33 persen), dan ada 33,13 persen responden yang melaporkan atau report konten.
Menariknya, terdapat sekitar sepertiga responden (32,87 persen) yang memilih untuk tidak mempercayai informasi yang didapat tanpa melakukan apapun, setelah mendapat fakta informasi yang didapat adalah hoaks. Angkanya lebih kecil dibanding hasil riset DailySocial pada tahun 2018.
Kala itu mayoritas responden (51,03 persen) memilih tidak memercayai tetapi tidak melakukan tindakan apapun jika terpapar hoaks. Namun, perlu diingat ada sedikit perbedaan, dalam survei DailySocial, responden hanya bisa memilih satu opsi, sementara di survei Tirto, jika responden tidak menjawab tidak melakukan apapun, responden bisa memilih opsi lain.
Selain menjadi penerima, juga sangat mungkin seseorang --baik secara sadar atau tidak-- menyebarkan hoaks. Hasil survei Tirto bersama Jakpat menunjukkan ada 37,87 persen responden yang mengaku secara tidak sengaja pernah menyebarkan berita bohong kepada orang lain. Terdapat juga 13,53 persen responden yang menjawab, "tidak tahu" yang merasa mungkin pernah membagikan hoaks secara tidak sadar tapi tidak tahu pasti hingga kini. Sisanya sekitar 48 persen mengaku tidak pernah membagikan berita bohong.
Dari sekitar 568 responden yang mengaku secara tidak sadar pernah membagikan informasi hoaks, sekitar 72 persen di antaranya mengaku menghapus unggahan sebagai langkah yang mereka ambil ketika sadar kalau informasi yang disebar adalah berita bohong.
Terdapat juga 49,82 dari kelompok responden tersebut yang lantas meminta maaf setelah mendapati dia membagikan informasi hoaks. Seiring dengan permintaan maaf, 44,54 persen di antarnya membagikan juga koreksi atas informasi yang dibagikan. Sisanya, terdapat 2,99 persen yang mengaku tidak mengambil tindakan apapun.
Platform Media Sosial Jadi Sumber Informasi yang Paling Tidak Dipercaya
Terkait platform penyebaran informasi, muncul persepsi masyarakat kalau media sosial adalah tempat penyebaran informasi yang paling tidak dipercaya.
Dalam survei ini Tirto meminta responden untuk mengurutkan platform-platform penyebaran informasi dari yang paling dipercaya ke yang tidak dipercaya. Peringkat yang diberikan oleh responden ini kemudian diberikan bobot untuk menentukan mana yang paling dipercaya (platform paling dipercaya mendapat skor 5, turun terus sampai yang tidak dipercaya mendapat skor 1).
Hasilnya, responden menganggap informasi dari situs pemeriksa fakta yang paling bisa dipercaya (skor 3,59 dari skala 1-5), diikuti di bawahnya penelitian pribadi (skor 3,32), media arus utama (2,95), informasi dari teman atau keluarga (skor 2,66), dan platform media sosial berada di posisi paling buncit dengan skor 2,47.
Hal ini sejalan dengan temuan lain survei ini yaitu bahwa responden paling banyak menemukan informasi yang dicurigai sebagai hoaks di media sosial. Dari total 1.500 responden, terdapat 82,53 persen yang mengatakan bahwa media sosial adalah tempat mereka paling sering menemukan informasi yang dicurigai sebagai hoaks.
Editor: Farida Susanty