tirto.id - Tahukah Anda dari mana asal listrik yang mengalir sampai ke ponsel pintar yang sedang Anda genggam ini?
Tentunya dari pembangkit listrik, sebuah generator yang bergerak dan menghasilkan listrik yang kemudian dihantarkan oleh rangkaian transmsisi hingga sampai ke konsumen.
Ada beragam cara untuk menggerakkan generator atau turbin agar menghasilkan listrik, mulai dari memanfaatkan tenaga uap, tenaga air, surya, nuklir, gas, dan lainnya. Sebagian pembangkit listrik dunia saat ini masih mengandalkan model Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis bahan bakar fosil berupa batu bara. Masalahnya, selain sifatnya tidak terbarukan alias bisa habis, batu bara juga menimbulkan efek emisi karbondioksida setelah pembakaran. Sebuah sumber energi yang tak ramah lingkungan, tentunya.
Data dari International Energy Agency (IEA) pada 2016 mencatat sumber pasokan listrik secara global masih didominasi sokongan energi fosil seperti batu bara (38,3 persen) dan minyak (3,7 persen). Sisanya dari sektor energi yang dianggap lebih ramah lingkungan seperti gas alam (23,1 persen), nuklir (10,4 persen), tenaga air (16,6 persen), tenaga surya, tenaga angin, panas bumi, gelombang laut (5,6 persen), serta biofuel dan limbah (2,3 persen).
Dari sederet energi pembangkit listrik, nuklir dipandang potensial menggeser batu bara karena dianggap sebagai bersih, aman, berbiaya rendah, dan mampu menghasilkan pasokan listrik dalam skala besar.
Merujuk pada laporan Power Reactor Information System (PRIS), Amerika Serikat adalah negara yang memiliki reaktor nuklir pembangkit listrik terbanyak di dunia. Ada sebanyak 98 reaktor nuklir aktif dan dua reaktor nuklir yang sedang dibangun. Pada 2018, listrik yang dihasilkan dari semua reaktor nuklir sebesar 807078.00 GW.h. Meskipun jumlah listrik yang dihasilkan cukup besar, ternyata pasokan energi nuklir untuk listrik di negeri Paman Sam hanya menyumbang 19,32 persen saja dari keseluruhan sumber pasokan.
Negara yang kebutuhan listrik nasionalnya sangat bertumpu pada reaktor nuklir adalah Perancis. Negeri yang berada di urutan kedua pemilik reaktor nuklir terbanyak di dunia tersebut memiliki 58 reaktor nuklir aktif dan satu yang sedang dibangun. Jumlah listrik energi nuklir yang dihasilkan pada 2018 sebesar 393200.00 GW.h dan sanggup memasok 71,67 persen kebutuhan listrik nasional. Negara-negara lainnya yang pasokan listrik nasionalnya banyak tertumpu pada reaktor nuklir adalah seperti Slovakia (55 persen), Ukraina (52 persen), Belgia (39 persen), dan Bulgaria (34 persen).
Menyimpan Bahaya
Namun, energi nuklir yang dipandang baik bukannya nihil resiko. Rentetan kecelakaan reaktor nuklir pembangkit listrik seperti yang terjadi di Three Mile Island, Amerika Serikat pada 1979, Chernobyl di Uni Soviet (1986), dan terakhir Fukushima di Jepang (2011) terus menghantui negara-negara yang memiliki reaktor nuklir. Pasalnya, paparan radiasi nuklir yang dihasilkan bisa sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup penduduk sekitar. Terlebih lagi, masa aktif limbah nuklir bahkan bisa bertahan hingga ribuan tahun.
Problem lain yang belum bisa dipecahkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir adalah keberadaan limbah selama proses pengoperasian reaktor.
Tahapan proses pembakaran dalam reaktor nuklir yang sarat akan limbah radioaktif bisa dipaparkan sebagai berikut. Bahan bakar reaktor nuklir adalah uranium. Sebagian besar reaktor nuklir memerlukan satu jenis uranium khusus, yaitu uranium-235 (U-235), yang mencakup 0,7 persen dari bijih uranium alam yang ditambang. Uranium pilihan lalu ditempatkan dalam batang-batang bahan bakar dan diangkut ke reaktor-reaktor nuklir pembangkit listrik. Operasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mengubah bahan bakar uranium menjadi campuran elemen-elemen radioaktif yang sangat beracun dan berbahaya seperti plutonium.
Jika dilihat secara menyeluruh, proses pengayaan uranium untuk kebutuhan bahan bakar reaktor nuklir saja sudah menghasilkan limbah radioaktif. Rata-rata bijih uranium mengandung hanya 0,1 persen uranium. Sebagian besar materi lainnya yang dipisahkan pada saat penambangan bijih uranium adalah bahan beracun, berbahaya, dan mengandung radioaktif.
Limbah radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian reaktor dapat berbentuk padat, cair dan gas. Masa aktif limbah radioaktif bisa berlangsung selama ribuan tahun. Bahan bakar utama seperti Uranium-235 dan Plutonium-239 pada reaktor nuklir bisa memiliki masa aktif 24.000 tahun sebelum akhirnya meluruh ke tingkat yang aman bagi manusia.
Selama ini, limbah nuklir banyak disimpan di ruang bawah tanah maupun di permukaan. Tetapi, cara ini tak bisa menjamin limbah nuklir bebas resiko. Bila terjadi kebocoran, paparan radioaktif bisa menyebabkan mutasi genetika, kelainan fisik, kanker, leukemia dan kelainan reproduksi, hingga gangguan kardiovaskuler dan sistem endokrin pada manusia.
Perancis adalah negara penghasil limbah nuklir terbanyak. Dilansir dari Bloomberg, tiap tahunnya dua kilogram limbah radioaktif per orang dihasilkan dari reaktor-reaktor nuklir Perancis. Meski sudah 60 tahun terakhir menggunakan energi nuklir, Perancis masih belum bisa menjinakkan limbahnya. Selama ini ada sekitar 10.000 meter kubik limbah radioaktif yang dihasilkan oleh total 58 reaktor nuklir di Prancis.
Sebuah laporan Greenpeace berjudul "Tenaga Nuklir: pengalihan waktu yang berbahaya" (2010, PDF) menjelaskan bahwa energi nuklir bukan energi alternatif terbarukan untuk menggantikan energi fosil karena dampak lingkungan, kesehatan, keamanan, dan problem limbah radioaktif yang belum terpecahkan.
Greenpeace bahkan mengklaim energi nuklir untuk pembangkit listrik tak berkontribusi banyak dalam pengurangan emisi gas rumah kaca yang kian mengkhawatirkan. "Kalaupun ada, pengurangan emisi yang diperoleh dari tenaga nuklir terlalu sedikit, terlambat, dan terlalu mahal," tulis laporan itu.
Teknik Laser ala Gerard Mourou
Di tengah kebuntuan penanganan limbah nuklir, ilmuwan Prancis Gerard Mourou dan mantan muridnya, Donna Strickland, memperkenalkan solusi laser untuk mengurangi radioaktif pada limbah nuklir. Masa aktif limbah dapat dipangkas dari ribuan tahun ke hitungan menit.
Teknik yang dikembangkan oleh Mourou dan Strickland di Laboratorium Energetika Laser, University of Rochester, AS, itu bernama Chirped Pulse Amplification (CPA). Teknik ini membuat mereka diganjar Nobel Fisika 2018.
Teknik CPA yang mengandalkan sistem dorongan laser berenergi tinggi dan sangat pendek ini sebetulnya telah digunakan dalam bidang kedokteran, astronomi, dan produksi barang elektronik. Di bidang kesehatan, teknik CPA digunakan dalam operasi pemulihan mata dan pengobatan kanker.
Namun, temuan Mourou juga menunjukkan bahwa CPA menyimpan manfaat lain yaitu bisa mengurangi radioaktif pada limbah nuklir. Melalui proses yang ia sebut sebagai "transmutasi", limbah nuklir ditransimisikan menjadi bentuk-bentuk atom baru yang tidak memiliki masalah radioaktif. Mourou percaya bila skenario berjalan sesuai harapan, umur radioaktif dapat dipangkas dari beberapa ribu tahun menjadi beberapa menit saja.
“Ambil inti atom. Itu terdiri dari proton dan neutron,” papar Mourou dalam video ceramahnya saat meraih Hadiah Nobel 2018. “Jika kita menambah atau menghilangkan neutron, segalanya bisa berubah. Ini bukan lagi atom yang sama dan sifat-sifatnya akan berubah sepenuhnya. Umur limbah nuklir berubah secara mendasar dan kita bisa memotongnya dari satu juta tahun menjadi 30 menit! "
Gagasan Mourou soal transmutasi radioaktif pada limbah nuklir belum bisa terwujud dalam waktu dekat. Dia masih harus melakukan serangkaian penelitian lanjutan dengan menggandeng pihak-pihak terkait. Diperkirakan butuh waktu 10 sampai 15 tahun ke depan untuk mewujudkannya.
Gagasan transmutasi limbah nuklir sendiri sebenarnya bukan hal baru. Transmutasi sudah diteliti selama 30 tahun terakhir di Inggris, Belgia, Jerman, Jepang, dan AS. Beberapa penelitian diklaim sedang berlangsung dan beberapa lainnya berhenti di tengah jalan.
Selama ini ada perdebatan apakah energi nuklir masuk kategori energi terbarukan atau masih bagian dari energi fosil yang tidak terbarukan. Jika melihat energi nuklir secara terpisah, ia adalah sumber energi terbarukan.
Tetapi jika melihat secara utuh termasuk bahan baku pembangkit energi nuklir itu sendiri, tampak bahwa nuklir adalah sumber energi yang tidak terbarukan karena membutuhkan bebatuan uranium spesifik berjenis U-235. Uranium sendiri adalah sumber daya yang tidak terbarukan alias bisa habis meski keberadaannya kini masih bisa ditemui di hampir seluruh belahan dunia.
Editor: Windu Jusuf