tirto.id - Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama dua pekan pertama 2023 tercatat terus mengalami pelemahan. Technical Analyst House of Traders Community, Handi Erawan, mengatakan fenomena itu dapat dijadikan momentum bagi investor untuk memburu 'diskon' saham-saham berfundamental bagus.
Dia menilai market yang melemah tidak selalu berarti buruk. Membuka tahun 2023, IHSG menunjukkan tren melemah dan untuk kesekian kalinya menguji level support. Namun, dia menilai IHSG memiliki peluang untuk kembali ke level 7000-an seperti tahun lalu.
“Beberapa saham penggerak IHSG bisa kita manfaatkan momentumnya,” ujarnya dalam Investment Talk bertema Investing in the Midst of Uncertainty yang digelar secara daring oleh D’Origin Advisory bersama IGICO, dikutip Senin (16/1/2022).
Dia menyebutkan beberapa saham pilihan di sektor banking atau finance, sektor metal, serta sektor teknologi yang dapat diperhatikan. Selain itu, tambahnya, saham-saham consumer non-cyclical, consumer cyclical, dan infrastruktur seiring semakin dekatnya momen Ramadan dan Lebaran.
“Untuk banking ada BBCA, BBRI, BBNI, BMRI, BRIS. Sektor energi/oil ada AKRA, MEDC, ELSA, RAJA. Sektor metal yakni ANTM, INCO, HRUM. Sektor teknologi perhatikan BUKA, GOTO, EMTK. Untuk sektor consumer non-cyclical, ada CPIN, JPFA, UNVR, ICBP, INDF. Consumer cyclical lihat ACES, ERAA, ASII. Infrastruktur perhatikan TOWR, JSMR, EXCL, ISAT, TLK," sarannya.
Adapun untuk saham-saham sektor energi terutama batubara, Handi mengungkapkan ada potensi terkoreksi. Hal itu karena kenaikan yang masif dalam waktu yang cepat di tahun 2022 lalu.
“Dari Maret-Mei, lalu Juni-Juli naiknya sudah cukup banyak. Ibu Sri Mulyani [Menteri Keuangan] juga bilang harga komoditas di 2023 tidak akan setinggi tahun lalu, ini satu inline yang bisa kita pakai dimana harga saham-saham batubara akan balik ke pergerakan harga di area-area dimana mereka biasa bergerak,” paparnya.
Senior Economist PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully A. Wisnubroto menilai, pasar modal dalam negeri sedang diuji dengan tren yang terus melemah pada dua pekan pertama 2023. Namun demikian, dalam dua hari terakhir terlihat bahwa IHSG sudah mulai menguat ke posisi 6.641,8.
“[Pelemahan] Year to date-nya sudah 3 persen. Ini [IHSG] menjadi salah satu yang kurang baik atau mungkin yang paling jelek diantara bursa-bursa global lainnya,” katanya.
Walaupun demikian, dia mengaku kondisi tersebut tidak terlalu mengherankan. Dia menilai salah satu penekan IHSG pada dua pekan pertama tahun ini karena adanya profit taking menyusul pencapaian positif IHSG sepanjang 2022 yang menguat lebih dari 4 persen (yoy).
“Jadi tidak terlalu mengherankan kalau di awal tahun ini terjadi koreksi. Terlihat ada capital outflow di pasar domestik, yang telah terjadi juga di bulan Desember,” katanya.
Sepanjang dua pekan pertama 2023, arus modal asing keluar pasar saham Indonesia mencapai Rp5,2 triliun. Adapun, jika diakumulasikan sejak Desember 2022, arus modal asing keluar pasar saham Indonesia mencapai sekitar Rp26 triliun.
“Kalau dengan rata-rata kurs sekitar Rp15.500, itu ekuivalen sekitar 1,7 billion dolar AS,” katanya.
Sebagaimana saham, pasar obligasi Indonesia juga sedang diuji ketangguhannya. Namun, jika pasar saham banyak dipengaruhi oleh ekspektasi, obligasi lebih dipengaruhi oleh inflasi dan suku bunga.
“Karena ketika suku bunga naik, itu biasanya kuponnya itu akan tergerus. Jadi kalau ekspektasi ke depan mendekati peak dari kenaikan policy rate, biasanya memang impaknya sangat baik untuk obligasi,” ujarnya.
Yield government bond 10-years pada pekan lalu tercatat sekitar 6,7 persen, yang sejalan dengan penurunan yield di berbagai negara di dunia. Sebagai catatan, yield 10-years US treasury yang turun ke sekitar 3,4 persen - 3,5 persen.
Pada dua pekan pertama 2023, pasar obligasi Indonesia juga mengalami capital inflow yang merupakan lanjutan tren sejak November 2022. Sejak periode tersebut, lanjutnya, total capital inflow ke pasar obligasi mencapai sekitar Rp55 triliun.
Namun, dia memperkirakan pasar obligasi ke depan akan sedikit melambat dibandingkan dengan kondisi akhir tahun lalu karena ekspektasi inflasi dan suku bunga dunia relatif lebih landai.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin