tirto.id - Rooskurniani adalah satu dari ratusan pemilik unit apartemen Bumimas yang selama bertahun-tahun berjuang membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) baru. Perhimpunan tersebut dinilai penting. Sebab dengan adanya P3SRS, juga biasa disebut PPRS, para pemilik apartemen di suatu gedung dapat mengelola rusunnya secara mandiri.
Pembentukan perhimpunan itu merupakan amanah dari Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 132 tahun 2018 dan 133 tahun 2019 tentang P3SRS. Hadirnya pergub tersebut menjadi secercah harapan penghuni. Selama hampir 16 tahun perhimpunan pemilik rusun justru dikuasai pengembang tanpa transparansi pengelolaan apartemen.
Tak terkecuali apartemen Bumimas.
Apartemen Bumimas berada di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Dibangun oleh PT Bumimas Megah Prima pada 1997 dengan total sekitar 350 unit. Dari jumlah tersebut, 30 persen terjual kepada konsumen, sedangkan 70 persen masih dikuasai pengembang.
Selama ini, kata Rooskurniani, P3SRS versi pengembang menetapkan iuran perawatan lingkungan (IPL) tanpa persetujuan pemilik dan penghuni apartemen. Alhasil, biaya perawatan Apartemen Bumimas adalah salah satu yang termahal di Jakarta. Penghuni dikenakan IPL sekitar Rp50 ribu per meter, kemudian uang sinking fund (dana untuk menutupi pengeluaran yang terjadi di masa mendatang) 15% dari IPL. Parahnya, biaya IPL harus disetor ke rekening pengembang, bukan P3SRS.
"Kalau P3SRS jujur, terbuka, maka harus diaudit. Semua biaya dikenakan PPN sama perhimpunan milik pengembang, listrik bayar PPN, IPL bayar PPN, sinking fund bayar PPN. Tapi kita enggak tahu apakah itu biaya (PPN) disetor ke negara? Toh, pengembang enggak pernah buat laporan ke kita," kata Rooskurniani, yang karib disapa Annie, kepada Tirto akhir April lalu.
Berjibaku Mengambil Alih Pengelolaan Rusun
Pemungutan biaya-biaya dan menguasai PPRS - yang sudah sesuai Permen 23/2018 dan Pergub DKI 133/2019 dan disebut P3SRS - merupakan pola pengembang saat menguasai pengelolaan apartemen. Untuk memuluskan penguasaan itu, para pengembang bahkan menyewa pihak ketiga ountuk memenuhi kuorum dalam rapat pemilihan pengurus apartemen. Dengan begitu, PPRS versi pengembang mudah menentukan kebijakan iuran sesuai dengan kepentingan pengembang.
Sejak aturan pergub DKI 132/2018 P3SRS terbit, pemilik dan penghuni unit apartemen berjibaku untuk mengambil alih pengelolaan apartemen dari pengembang. Belum kelar persoalan ini, pemerintah malah menerbitkan aturan turunan UU Cipta Kerja seperti Peraturan Pemerintah (PP) No.12 tahun 2021 dan PP No.13 tahun 2021 yang memberi celah kepada pengembang properti untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa melindungi konsumen properti.
Oleh karena itu, Rooskurniani meminta Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Perumahan (DPRKP) DKI Jakarta untuk mengawasi pembentukan P3SRS baru sesuai dengan aturan pemprov. Sayangnya, kata Rooskurniani, dukungan itu tidak didapat, bahkan pihak DPRKP malah mencap para pemilik dan penghuni apartemen tak becus mengurus P3SRS.
"Nanti kalian enggak bisa ngurus,” kata Rooskurniani menirukan ucapan pihak DPRKP.
“Siapa bilang enggak bisa? Malah dengan kualitas bagus dan harga lebih murah. Mereka (P3SRS pengembang) enggak pernah buat laporan keuangan (kepada pemilik dan penghuni)," tepisnya.
Cap itu tak hanya datang dari pemerintah daerah (DPRKP), melainkan juga dari pihak Kementerian PUPR. Kondisi itu membuat Rooskurniani kesal, sebab pemerintah yang seharusnya menjadi regulator malah membela kepentingan pengembang properti dibandingkan konsumen.
Selain itu, Rooskurniani khawatir pemilihan panitia musyawarah (panmus) P3SRS menyimpang dari Pergub 132/2018 dan Pergub 133/2019. Contohnya, pemilik dan penghuni apartemen diminta DPRKP untuk mendaftarkan diri sebagai panmus kepada P3SRS pengembang, padahal P3SRS pengembang hanya sebagai fasilitator, bukan penyelenggara.
Contoh lainnya, proses verifikasi pemilik dan penghuni unit apartemen tidak dijalankan dalam proses pemilihan panmus. Kemudian dalam proses sosialisasi melalui webinar, P3SRS pengembang yang membuat aturan sendiri tanpa memberikan kesempatan pemilik dan penghuni untuk bicara.
"Prosesnya sudah enggak smooth, sosialisasi sudah sama mereka, yang ngomong mereka. Kita bicara, mic-nya dimatiin," protes Rooskurniani.
Manajer gedung Apartemen Bumimas Alben Sitorus membenarkan penghuni membayar IPL ke rekening PT Bumimas Megah Prima. Dia beralasan pembayaran ke rekening developer atas perintah PPRS, selaku pihak yang menunjuk PT Bumimas Megah Prima sebagai pengelola apartemen Bumimas.
"Atasan kita P3SRS. Mereka menunjuk kita (PT Bumimas Megah Prima). Jadi apa yang diperintahkan oleh PPRS, kita jalankan. Jadi penghuni di sini bayarnya ke pengelola PT Bumimas Megah Prima," kata Alben kepada Tirto, Senin (17/5/2021).
Polemik Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Pertengahan Juli 2019, Kementerian PUPR menerbitkan aturan Permen 11 tahun 2019 soal PPJB. Lahirnya aturan itu untuk memberikan kepastian kepada konsumen yang hendak membeli apartemen maupun rumah tapak. Namun, hadirnya turunan UU Cipta Kerja dalam hal ini PP 12 tahun 2021 menyebabkan Permen 11/2019 dicabut oleh pemerintah.
Sumber Tirto mengungkap dicabutnya Permen PPJB karena adanya desakan pengurus Real Estate Indonesia (REI), sebuah perhimpunan pebisnis properti besar. Caranya dengan menaikkan Permen 11/2019 menjadi PP. Upaya ini berhasil.
Pengembang belajar dari kasus Permen 23 tahun 2018 tentang P3SRS yang secara terang-terangan ditolak REI dengan melakukan perlawanan hukum berupa pengujian sejumlah pasal Permen 23/2018 di Mahkamah Agung. MA menolak permohonan REI dan memperkuat aturan itu, hal ini yang dihindari REI untuk tidak menguji Permen 11/2019.
Saat dikonfirmasi terkait adanya lobi REI, Direktur Rumah Umum dan Komersial, Kementerian PUPR, Fitrah Nur tidak menjawab secara lugas. Dia mengungkapkan bersyukur Permen menjadi PP karena aturannya lebih kuat. Bahkan mengklaim isi dalam aturan PP tahun 2021 dengan Permen 11 tahun 2019 sama.
"Enggak beda, sama semuanya," kata Fitrah mencoba meyakinkan.
Tirto mencoba membandingkan isi aturan antara PP 12/2021 dengan Permen 11/2019 yang diklaim sama. Temuan Tirto, ada pasal yang menguatkan pengembang tiba-tiba muncul, sebaliknya yang melindungi konsumen hilang atau dibuat multitafsir.
Pertama, pengembang dapat memotong 10 persen dari pembayaran yang telah diterima dari calon pembeli ditambah dengan biaya pajak yang telah diperhitungkan meskipun KPR bank tidak disetujui (pasal 22 H poin 4).
Kedua, pembatalan unit pesanan oleh konsumen pada saat pemasaran yang bukan disebabkan oleh kelalaian pengembang, maka pengembang bisa memotong paling rendah 20 persen ditambah dengan biaya pajak (pasal 22 H poin 3). Padahal aturan Permen sebelumnya hanya 10 persen.
Ketiga, pasal 11 ayat 3 yang sebelumnya ada di Permen 11/2019, kini hilang di PP. Pasal ini mengharuskan kepada pengembang untuk membuat lampiran gambar denah tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama yang tertuang dalam materi muatan PPJB.
Diketahui, tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama ini bisa menjadi pemasukan bersama pemilik dan penghuni unit apartemen. Dengan adanya informasi itu kepada konsumen tentu membuat pengembang tak bisa memonopoli tanah bersama itu lagi sehingga pasal ini dihilangkan. Sayangnya, aturan yang berumur 1,5 tahun ini tak semuanya diketahui konsumen.
Keempat, pasal 11 ayat 2 poin c dalam Permen 11/2019 membahas soal harga rumah dan tata cara pembayaran. Namun, dalam lampiran muatan materi PPJB disisipkan poin "Pelaku pembangunan tidak boleh menarik dana lebih dari 80 persen kepada pembeli sebelum memenuhi persyaratan PPJB". Anehnya, poin yang awalnya hanya berupa lampiran dinaikkan menjadi pasal 22 L PP 12/2021. Dengan adanya pasal itu, pengembang bisa mengutip biaya dari konsumen di bawah 80 persen tanpa PPJB.
"Permen 11/2019 tentang PPJB sudah tidak berlaku, jadi diadopsi ke PP 12/2021. Artinya pasal ini menguatkan posisi developer untuk menarik dana konsumen sebelum PPJB," kata Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi), Ibnu Tadji saat dihubungi Tirto.
Pungutan Sebelum PPJB
Ibnu menambahkan faktor perlindungan konsumen tidak ada dalam pertimbangan ayat ini. Ia berkata, pada awal pembahasan PP tidak muncul pasal 22 L tersebut. Namun, pada saat akhir pembahasan tiba-tiba muncul pasal tersebut, menurut Ibnu. Alhasil, pada saat pemasaran pengembang boleh menerima duit tanpa PPJB, berbeda dengan Permen lama yang melarang pungutan tanpa PPJB.
Tak heran jika selama ini banyak pengaduan konsumen kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Sepanjang 2017-2020 BPKN menerima pengaduan dengan total 3.751 kasus, dan 2.512 kasus diantaranya adalah sektor properti. Contohnya, pengembang sudah menerima duit 20 persen, tapi belum PPJB. Duit yang disetorkan kepada pengembang itu tidak bisa diawasi oleh konsumen maupun pemerintah.
Menurut Ibnu, dasar hukum uang muka (DP) 20 persen itu tidak ada, ini hanya untuk menutup biaya KPR yang ditanggung bank sekitar 80 persen. Dia berharap DP 20 persen dari konsumen lebih baik diserahkan kepada bank atau lembaga penjamin pemerintah agar lebih terjamin.
"Banyak kasus konsumen sudah membayar DP 20 persen sampai dengan cash keras kepada pengembang, tapi pembangunannya mangkrak. Duit sudah masuk ke pengembang tapi enggak ada yang mengontrol," katanya.
Fitrah mengklaim pemerintah posisinya berdiri di dua sisi, pengembang dan masyarakat. Namun, melihat perubahan aturan ini, pemerintah lebih condong berpihak kepada pengembang properti dibandingkan masyarakat selaku pembeli apartemen.
Persoalan lainnya dalam turunan UU Cipta Kerja adalah PP 13 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun. Dalam PP ini, Aperssi menilai ada pasal yang krusial terkait P3SRS. Salah satunya pasal 97 ayat 1 huruf b; hak suara kepemilikan dan c; hak suara pengelolaan. Pasal ini sengaja dibikin rancu sehingga pengembang punya celah untuk meminta “hak suara” kepemilikan dan pengelolaan berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP).
Padahal merujuk pasal 77 ayat 1 UU 20 tahun 2011 disebutkan hak kepemilikan dan hak pengelolaan adalah berdasarkan NPP, bukan hak suara. Jika menggunakan kata "hak suara" dalam sebuah rapat kepemilikan tanah bersama berdasarkan NPP, jelas yang dominan pemilik NPP besar. Semua orang tahu pemilik NPP besar adalah pengembang properti.
Ibnu menjelaskan pemilik dan penghuni punya hak yang melekat atas kepemilikan bersama (tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama). Dalam pengelolaannya, hak kepemilikan bersama pada ruang terbuka digunakan atau disewakan untuk billboard, ruang atm, parkir, serta menara BTS mendapat profit tahunan maka seluruh pemilik dan penghuni peroleh profit yang dibagikan berdasarkan NPP. Jadi profit itu bisa sebagai biaya pengurangan IPL atau tergantung kesepakatan pemilik dan penghuni.
"Kalau hak kepemilikan, penghuni tak perlu bertengkar lagi. Misalnya pendapatan dari hak kepemilikan tanah bersama mencapai 5 miliar per tahun dibagi berdasarkan NPP. Jadi walaupun NPP kecil, 30 meter persegi, penghuni dapat hak. Tidak perlu diperdebatkan lagi. Begitu juga dengan NPP besar, dia juga dapat besar," kata Ibnu.
Ibnu menilai tujuan menyisipkan pasal 97 terlihat jelas adanya upaya dari pengembang ingin merebut kembali pengelolaan apartemen. Pada pasal 97 ayat 3, 4, 6, dan 7 jelas disebut hak suara untuk kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan terhadap bagian bersama, benda bersama, tanah bersama serta kewajiban pembayaran biaya satuan rusun berdasarkan NPP.
Tirto mencoba mengkonfirmasi Wakil Ketua Bidang UU dan Regulasi Properti DPP REI Ignesz Kemalawarta terkait dugaan lobi naiknya Permen 11/2019 menjadi PP 12 tahun 2021 kepada Kementerian PUPR dan Kementerian lain sehingga Permen 11/2019 dicabut. Ignesz tak menjawab terkait lobi itu, tapi ia menyebutkan pihaknya memberi masukan kepada pemerintah.
“Asosiasi memberi masukan berdasarkan kondisi di lapangan yang dipandang sesuai dengan spirit UU Cipta Kerja dan dilakukan pembahasan-pembahasan yang konstruktif bersama Pemerintah,” kata Ignesz, Rabu (19/5).
Ignesz mengklaim ada beberapa aturan PP 12/2021 dan PP 13/2021 yang belum mengakomodir pengembang. Namun saat ditanya contohnya, dia enggan menjawab. Dia berkata perlu duduk bersama untuk merumuskan hal-hal yang sudah dan belum ada di aturan.
“Win-win solution,” katanya.
Jalan Mundur Perlindungan Konsumen
Dua tahun lalu, Asosiasi REI menegaskan keberatan dan menolak Permen PUPR No.23 tahun 2018 tentang P3SRS dan Pergub 132/2018 tentang pembinaan pengelolaan rusunami/apartemen. Berbagai upaya dilakukan, di antaranya lewat peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang dilayangkan notaris Pahala Sutrisno Amijoyo Tampubolon dan Yusril Ihza Mahendra mewakili P3RSI serta melobi Kementerian PUPR untuk membatalkan aturan itu. Namun, semuanya menemui jalan buntu.
Upaya untuk membatalkan Permen 23/2018 kembali mencuat sejak terbitnya PP 12 dan 13 tahun 2021. Namun, pembatalan itu bukan melalui peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, melainkan dari pihak Kementerian PUPR. Hal ini diungkapkan Fitrah Nur selaku Direktur Rumah Umum dan Komersial, Kementerian PUPR yang baru menjabat Desember 2020.
"Iya, akan dicabut. Sama kayak Permen 11/2019 (yang sudah dicabut)," kata Fitrah.
Dia beralasan bahwa Permen 23/2018 tidak memiliki detail, tanpa memberi penjelasan. Kondisi ini bertolak belakang dengan kebijakan Kementerian PUPR dua tahun lalu yang tegas menolak atau mencabut Permen tersebut karena negara hadir untuk melindungi semua pihak, terutama pemilik/ penghuni apartemen. Bahkan Kementerian PUPR kala itu menyiapkan kuasa hukum untuk melawan pengembang di Mahkamah Agung.
Fifi Tanang, Ketua P3SRS Mangga Dua Court kaget ketika dimintai tanggapannya terkait upaya akan dicabutnya Permen 23/2018 oleh Kementerian PUPR. Fifi merupakan salah satu penghuni/ pemilik apartemen yang berhasil mengelola apartemen secara mandiri dan menjadi pilot project apartemen di Jakarta. Ia berhasil mengambil alih pengelolaan apartemen dari PT Duta Pertiwi, anak usaha Sinar Mas Group di bidang properti.
"Permen 23/2018 sangat bagus, (pengembang) tidak bisa memeras penghuni/ pemilik rusun. Aturan ini juga sudah digugat dan sudah dikalahkan. Kenapa jadinya berjalan mundur. Kenapa dicabut? ini ada apa?" kata Fifi, mempertanyakan sikap Kementerian PUPR.
Baik Fifi maupun Ibnu dari Aperssi menyarankan kepada masyarakat agar berhati-hati dan sementara menunda dulu niat membeli rumah susun/apartemen hingga semua aturan terkait rusun di tingkat Permen, Perda dan Pergub sudah ada kepastian.
"Jangan percaya janji manis pengembang," pungkas Ibnu.
Editor: Adi Renaldi