Menuju konten utama

Mahasiswa Penguji UU KPK Akan Lapor Dewan Etik MK

Penguji materi UU KPK menilai putusan Mahkamah Konstitusi janggal, karena selama persidangan tanggalnya berubah-ubah.

Mahasiswa Penguji UU KPK Akan Lapor Dewan Etik MK
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto didampingi Hakim MK Enny Nurbaningsih dan Manahan MP Sitompul memimpin jalannya sidang pengujian formil mengenai Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (19/11/2019). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Koordinator Gerakan dan Jaringan Para Pemohon, Muhamad Raditio Jati Utomo akan melaporkan hakim Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi dalam judicial review atas undang-undang KPK yang baru.

"Berkaitan dengan berbagai kejanggalan itu, kami akan maju [melapor] ke Dewan Etik MK untuk mengurai dan menelusuri kejanggalan ini lahir dari mana," ujar Jati yang masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia kepada Tirto, Kamis (28/11/2019).

Ia bersama 18 pemohon lainnya yang rata-rata masih berstatus mahasiswa, masih mengumpulkan sejumlah alat bukti untuk diajukan ke Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Ia belum mengetahui kapan akan segera melangkah untuk mengajukan.

Putusan ini, kata Jati terdapat kejanggalan pun telah menimpa Jati.

"Tanggal sidang pertama mendadak dimajukan MK. Sehingga tidak memungkinkan UU keluar di masa perbaikan," kata Jati.

Kejanggalan lain, menurutnya, ketika MK mewajibkan berkas perbaikan pemohon dikumpulkan pada 14 Oktober 2019. Padahal sidangnya baru akan dilaksanakan pada 21 Oktober 2019.

"Ini nggak wajar. Biasanya berkas perbaikan boleh diserahkan di hari sidang pada pagi harinya sebelum sidang dimulai," ujarnya.

Dilansir dari Antara, Permohonan uji materi terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang diajukan 190 mahasiswa dari berbagai universitas serta masyarakat umum tidak diterima Mahkamah Konstitusi (MK) karena salah objek.

Hakim Konstitusi Eni Nurbaningsih dalam sidang pleno pengucapan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, mengatakan, pemohon mencantumkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dalam permohonan sebagai Undang-Undang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, padahal tidak benar.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

"Karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menurut para pemohon adalah Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan permohonan yang salah objek atau error in objecto," ujar hakim Enny Nurbaningsih.

Akibat salah objek, permohonan para pemohon mengenai Pasal 29 angka 9, Pasal 30 ayat 13 dan Pasal 31 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Apalagi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 telah diubah dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2019.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi, apabila para pemohon hendak mengajukan pengujian Pasal 29 Angka 9, Pasal 30 Ayat 13 dan Pasal 31 UU 30 Tahun 2002, mestinya dikaitkan dengan UU Nomor 19 Tahun 2019.

"Sebab kedua undang-undang tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan demikian pokok permohonan yang berkaitan dengan norma pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut," kata Enny.

Baca juga artikel terkait MAHKAMAH KONSTITUSI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali