tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan menjatuhkan vonis atas Hengki Hilapok alias Frengki Hilapok 10 bulan penjara karena secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana makar secara bersama-sama.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 10 bulan," ujar hakim dalam persidangan di PN Balikpapan, Rabu (17/6/2020).
Hengky ditangkap pada Agustus 2019 dan ditahan sejak 12 September 2019 karena berdemonstrasi menentang rasisme pada Agustus 2019. Dia adalah mahasiswa Universitas Cenderawasih yang didakwa Pasal 106 KUHP.
"Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan dan menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan," ujar hakim.
Vonis Hengky lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 5 tahun penjara.
Hal-hal yang memberatkan Hengky yakni perbuatan terdakwa dalam Demo Jilid II mengarah pada memisahkan wilayah NKRI telah menyulut aksi anarkisme atas orasinya dengan teman-teman terdakwa; dan dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Sementara yang meringankan Hengky, karena ia masih muda diharapkan dapat memperbaiki diri di kemudian hari. Alasan sebagai mahasiswa yang masih perlu melanjutkan pendidikannya; dan terdakwa bersikap sopan selama persidangan.
Hengky dipidana bersamaan dengan Irwanus, Buchtar Tabuni, Agus Kossay, Steven Itlay, Alexander Gobay, dan Feri Kombo. Dalam agenda pembacaan tuntutan, mereka dituntut hukuman penjara dengan vonis beragam.
Tuntutan terendah lima tahun, bahkan 15 tahun untuk Agus Kossay dan Steven Itlay, serta 17 tahun untuk Buchtar Tabuni. Mereka dipindahkan ke Balikpapan dengan alasan keamanan di Papua.
Rasisme di Indonesia terlihat lewat putusan-putusan pengadilan, kata Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem kepada reporter Tirto, Minggu (7/6/2020). "Pelaku rasisme dituntut minim, tapi pemrotes rasisme dituntut belasan tahun," tambahnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay mengatakan ini adalah bentuk "ketidakadilan dan diskriminasi dari aparat penegak hukum." Dan itu, katanya, "melanggar surat edaran Jaksa Agung tentang pedoman penyusunan tuntutan yang menyebutkan jangan ada disparitas tuntutan."
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri