Menuju konten utama

Mafia: Penyebab Italia Aman dari Serangan Teroris

Keberadaan mafia justru membuat teroris tak melangsungkan aksi teror skala besarnya di Italia. Kenyataannya lebih kompleks: mafia ditakuti teroris sekaligus berbisnis dengan mereka.

Mafia: Penyebab Italia Aman dari Serangan Teroris
Bos-bos mafia Sisilia, circa 1890-1920. FOTO/Istimewa

tirto.id - Mari perhatikan beberapa fakta berikut ini:

Pada 13 November 2015, teroris ISIS menyerang sejumlah titik di Kota Paris. Jumlah korban tewas mencapai 130 orang dan ratusan lainnya luka-luka.

Maret 2016, teroris meledakkan diri di bandara dan stasiun kereta api bawah tanah Brussels. Korban tewas 32 orang.

Maret 2017, seorang pelaku teror menabrakkan mobil ke kerumunan pejalan kaki di Westminster Bridge, London, dan menikam seorang polisi. Korban tewas sebanyak lima orang.

Dua bulan kemudian, teroris menyerang konser Ariana Grande di Manchester dan menewaskan 22 orang.

Satu bulan setelahnya, Juni, teroris menyerang pejalan kaki di sekitar London Bridge. Tiga orang tewas, 50 lainnya luka-luka.

Agustus, giliran Barcelona yang jadi sasaran teror. Sebanyak 13 orang tewas dan sekitar 50 orang lainnya luka-luka.

Catatan di atas memperlihatkan bahwa kota-kota besar di Eropa, dari Inggris sampai Spanyol, kerap menjadi target aksi biadab para teroris. Atas nama jihad dan khilafah, mereka menyerang wilayah Barat yang kerap diasumsikan sebagai “musuh bersama.”

Menariknya, tak satu pun kota Italia tercantum dalam daftar tersebut.

Bukan Keberuntungan

Michele Groppi dalam “The Terror Threat to Italy: How Italian Exceptionalism is Rapidly Diminishing” (PDF, 2017) menyatakan, sejak peristiwa 9/11, 20 plot serangan teroris telah berlangsung di Italia. Namun, tak seperti serangan teror massal di negara-negara tetangga macam Inggris hingga Perancis, serangan di Italia relatif berskala kecil dan tidak menyebabkan korban jiwa.

Serangan yang mungkin bisa disebut “membahayakan” terjadi kala Mohammed Game berupaya meledakkan Stasiun Santa Barbara Carabinieri di Milan pada 2009 dengan rudal. Namun, dalam aksi itu pun tak jatuh korban jiwa. Hanya Game dan penjaga stasiun saja yang terluka.

Tapi, yang harus dicatat, meski tak ada teror berskala besar, Italia bukan berarti bebas sepenuhnya dari aktivitas radikalisasi. Groppi menyatakan aksi ekstremis Islam di Italia sudah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Italia bahkan jadi basis transit bagi kelompok teroris Islam seperti Jamat-Islamiyya, Al-Qaeda, Ansar al-Islam, sampai GIA Aljazair. Malahan, Hamza Libya, utusan Osama bin Laden yang bertanggung jawab membangun jaringan Al-Qaeda di Eropa, tinggal di Milan. Dari Italia, ia mengumpulkan dana, memfasilitasi imigran gelap, sampai mengatur koordinasi antarsel-sel teroris guna menyiapkan serangan di kota-kota seperti Madrid dan Casablanca.

Sejak 2001, pemerintah Italia telah mendeteksi 108 masjid penyebar ajaran ekstremis. Sebelas di antaranya punya kaitan dengan aktivitas teroris. Sekitar 29 warga negara Italia juga pergi ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan kelompok-kelompok militan Islam (jumlahnya menjadi 87 pada 2014).

Pertanyaannya: dengan aktivitas radikalisasi semacam itu, mengapa aksi teror di Italia cenderung jarang terjadi?

Dalam “How Long Will Italy Weather Europe’s Rising Terror Threat?,” Dario Christiani menjelaskan dua faktor utama yang membuat aksi terorisme berskala besar di Italia jarang dijumpai: demografi dan sejarah.

Untuk poin pertama, Christiani menyebut, Italia berbeda dengan Perancis, Inggris, Jerman, dan Belgia. Negara-negara ini menampung begitu banyak generasi kedua imigran. Generasi kedua sendiri merupakan kelompok yang berusia muda serta lebih rentan terhadap radikalisasi maupun alienasi (baik dari keluarga maupun masyarakat yang baru). Di Italia, jumlah generasi kedua imigran tak sebanyak negeri-negeri tetangganya.

“Italia tidak memiliki populasi besar imigran generasi kedua yang telah diradikalisasi atau berpotensi kena radikalisasi,” kata Francesca Galli, asisten profesor di Universitas Maastricht dan pakar kebijakan kontraterorisme, kepada The Guardian.

Dampak susulan dari faktor tersebut ialah di Italia, tidak muncul pusat-pusat radikalisasi di kota-kota besar seperti Molenbeek (Brussels), pinggiran Paris, atau kawasan-kawasan tertentu di London dan Luton (Inggris). Pasalnya, imigran di Italia cenderung memilih tinggal di perkotaan kecil guna menghindari tumbuhnya kantung-kantung permukiman berbasis etnis (ghettoisasi) di kota besar.

Faktor penting lain yang berkontribusi besar dalam meminimalisasi aksi teror di Italia, menurut Christiani, adalah pengalaman Italia memerangi mafia, militan sayap kiri dan kanan yang melahirkan gelombang kekerasan domestik pada era 1970an (sering disebut “Years of the Lead”). Dinamika dalam negeri kala itu membuat pemerintah Italia memperkuat kapasitas pengawasan dan keamanannya.

Implementasi upaya “meningkatkan pengawasan dan keamanan” itu termaktub dalam Pasal 270 KUHP Italia. Pasal ini membolehkan negara menyita aset, membatasi pekerjaan, hingga melakukan deportasi. Meski terlihat sebagai alat represi politik, akan tetapi keberadaan pasal ini memberikan efek kejut dan rasa takut bagi teroris.

Pertarungan melawan mafia, yang memaksa pemerintah bertindak keras, telah memberikan banyak pelajaran untuk menangkal terorisme. Kebijakan yang diambil pada era lampau rupanya diterapkan kembali, salah satunya penyadapan. Jika dulu penyadapan dilakukan kepada pentolan mafia atau kelompok sayap kiri, maka sekarang penyadapan ditujukan kepada terduga teroris.

Kesamaan lain antara kebijakan untuk mafia dan teroris adalah masa penahanan setelah tuduhan dijatuhkan. Namun, kebijakan ini dikritik lembaga-lembaga pembela HAM karena dinilai melanggar hak individu. Di Italia, terduga teroris bisa lebih lama ditahan dari waktu semestinya (empat hari).

Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri Italia, sejauh ini operasi kontra-terorisme telah menangkap 550 orang dengan tuduhan terorisme, memvonis 38 di antaranya, dan menutup 500 situsweb yang dinilai menyebarkan radikalisme.

Sementara menurut Groppi, masih dalam “The Terror Threat to Italy: How Italian Exceptionalism is Rapidly Diminishing,” penyebab kecilnya aksi teror di Italia disebabkan oleh rendahnya tingkat radikalisasi di dalam komunitas Muslim Italia, sedikitnya kemarahan kalangan Muslim Italia terkait kebijakan luar negeri pemerintah, hingga anggapan bahwa Italia bukanlah target prioritas kelompok teroris internasional, mengingat para teroris memandang Italia sebagai “basis logistik yang berguna.”

Peran Mafia?

Di luar alasan yang sudah dikemukakan di atas, ada satu faktor lagi yang membuat aksi terorisme jarang dijumpai di Italia, yaitu keberadaan mafia. Andrea Di Nicola, asisten profesor kriminologi di Universitas Trento, mengakui bahwa mafia juga dapat menghalangi teroris.

“Teroris akan selalu memeriksa setiap wilayah sebelum serangan,” katanya kepada The Local. “Sayangnya, mafia menguasai banyak wilayah di Italia, mereka punya kekuatan.”

Ungkapan Di Nicola cukup beralasan. Pasalnya, pengaruh dan keberadaan mafia di Italia sudah seperti kanker; sekali kena, langsung mematikan. Mereka bergerak di mana pun, khususnya di selatan Italia. Kekuasaan mereka terlalu kuat.

Anda tak percaya? Mari lihat faktanya.

Sejarah mencatat, ada beberapa kelompok mafia besar di Italia seperti Cosa Nostra (Sisilia), Camorra (Naples), hingga 'Ndrangheta (Calabria). Masing-masing punya karakter berbeda.

Cosa Nostra, misalnya, adalah sesepuh mafia di Italia. Organisasi ini telah beroperasi sejak 1800an dan dikenal dengan aturan ketat anggotanya yang bernama “omertà.” Aturan tersebut memaksa para anggota tunduk pada kelompok tanpa terkecuali. Operasi kriminal mereka meliputi perdagangan heroin, pembunuhan, peredaran alkohol. Tak sekadar di Italia saja, aksi mereka pun menjangkau Amerika.

Kemudian kelompok ‘Ndrangheta. Kelompok ini adalah mafia yang beroperasi di dekat Sisilia. Awalnya, mereka bagian dari Cosa Nostra. Bisnis mereka adalah perdagangan kokain yang terkoneksi langsung dengan pemasok di Kolombia dan Meksiko.

Infografik Italia Mafia terorisme

Mengutip data FBI, BBC melaporkan bahwa jumlah anggota empat kelompok mafia di Italia (Cosa Nostra, Camorra, 'Ndrangheta, Sacra Corona Unita) mencapai 25 ribu orang di dalam negeri, serta 250 ribu di seluruh dunia.

Sampai sekarang, kerja-kerja mereka tak bisa dipisahkan dari kejahatan tingkat bawah sampai atas. Europol dalam “Threat Assessment Italian Organised Crime” menyebutkan bahwa aktivitas mereka meliputi perdagangan senjata, pembunuhan, korupsi, penyuapan, intimidasi, pemerasan, penyelundupan-perdagangan manusia, prostitusi, hingga jual-beli obat terlarang.

Reputasi itulah yang disinyalir menciutkan nyali teroris.

Selain perkara reputasi, alasan lain yang menyebabkan minimnya kasus terorisme di Italia adalah indikasi bisnis antara teroris dan mafia. Dalam sesi berjudul “What the Mafia Has in Common with Protecting the Vatican from Terror Attacks” yang dipublikasikan PBS (Public Broadcast Service), muncul pernyataan bahwa apabila teroris menyerang Italia, maka para mafia yang notabene menjadi pemain utama di pasar gelap perdagangan senjata, bakal memutus akses teroris untuk memperoleh persediaan.

Meski demikian, Di Nicola menolak jika pemerintah berencana menggandeng mafia untuk mencegah dan menangkis terorisme. Ia berpendapat bahwa sejatinya mafia lebih banyak membunuh orang daripada terorisme. Ditambah lagi, bekerjasama dengan mafia sama halnya “mendukung kejahatan terorganisir” yang mereka lakukan.

Terlepas dari faktor-faktor yang membuat Italia “aman” dari terorisme, pemerintah diminta untuk tidak serta merta puas. Masalahnya, ada beberapa kondisi di dalam negeri yang berpotensi menarik minat teroris untuk beraksi.

Groppi mencontohkan masalah yang ada seperti bangkitnya gelombang kanan, Islamophobia, diskriminasi, rasisme, hingga sikap anti-imigran. Gejalanya sudah menuju ke sana ketika, catat Groppi, kota-kota Italia yang menampung komunitas Muslim besar mulai melihat “ghettoisasi” imigran Muslim di lingkungan tertentu. Misalnya, Via Padova di Milan, Torpignattara di Roma, dan Machera di Turin. Di ketiga wilayah tersebut, tingkat pengangguran, kejahatan, dan kemiskinan sangat tinggi. Jika tak segera diantisipasi, bisa jadi daerah-daerah ini akan berkembang seperti banlieues (pinggiran kota Paris). Ujung-ujungnya, Italia akan kembali ke dekade 1970an.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf