Menuju konten utama

Maaf, Tak Ada Tempat untuk Mobil Amerika di Indonesia

Setelah General Motors, kini giliran Ford menyerah di pasar Indonesia. Mereka memilih cabut meski pasar Indonesia sedemikian menggiurkan. 

Maaf, Tak Ada Tempat untuk Mobil Amerika di Indonesia
Ford Ranger. FOTO/www.ford.co.id

tirto.id - Juni 2015, General Motors (GM) mengumumkan keputusannya untuk menutup pabriknya di Indonesia. Pabrikan otomotif asal Amerika Serikat (AS) itu mengaku tak bisa menaklukkan pasar Indonesia. Angka penjualannya tak pernah menggembirakan. Selama dua tahun terakhir operasionalnya, GM tercatat menderita kerugian hingga USD 200 juta atau sekitar Rp2,7 triliun.

GM membuka pabrik di Indonesia pada tahun 1995 dan tutup satu dekade kemudian karena penjualannya yang terus turun. Pada tahun 2007, GM kembali membuka pabriknya di Indonesia. Sayangnya, delapan tahun kemudian GM mengulang kisahnya menutup pabrik di Indonesia. Alasannya masih sama: penjualan yang tidak kunjung naik.

Tujuh bulan kemudian, saudara setanah air GM, Ford Motor Company mengumumkan keputusan yang kurang lebih sama. Tepatnya pada 25 Januari 2016, Ford mengumumkan mundur dari seluruh operasionalnya di Indonesia mulai semester kedua. Sebagai konsekuensinya, Ford menutup seluruh dealership dan menghentikan penjualan serta impor resmi kendaraan.

Dua raksasa otomotif yang sedemikian digdaya di negaranya ternyata tak mampu menaklukkan pasar Indonesia. Mereka menyingkir karena tak mampu melawan keperkasaan produsen otomotif Jepang. Padahal, pasar otomotif Indonesia sedemikian besar dan prospektif. Mengapa GM dan Ford memilih untuk pergi?

Dominasi Jepang

Keperkasaaan Jepang menguasai industri otomotif Indonesia memang tak terkira. Produsen dari negara lain seolah tak diberi ruang, untuk mengeruk untung dari ceruk pasar yang begitu besar. Satu per satu penantang dari negara lain berguguran, tak terkecuali GM dan Ford.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) ,Jepang masih menguasai 96,45 persen industri penjualan mobil di Indonesia untuk 2015. Di bawahnya ada produsen Amerika Serikat yang hanya diberi 1,4 persen. Sisanya baru diberikan pada produsen asal Cina, Korea dan negara Eropa.

Secara global, produsen otomotif dari Jepang masih menjadi juara. Pada tahun 2014, Toyota menduduki peringkat pertama dalam daftar penjual mobil terbanyak di dunia. Namun, pada semester I – 2015, kejayaan Toyota mulai dikalahkan oleh VW. Pada paruh pertama tahun 2015, VW tercatat bisa menjual hingga 5,04 juta unit. Angka itu sedikit lebih tinggi dari penjualan Toyota yang sebanyak 5,02 juta unit.

Gemilang di Pasar Global, Jeblok di Indonesia

Ford mungkin memang bukan penjual mobil terbanyak di dunia. Namun, angka penjualan mereka secara global cukup mengesankan. Di tengah kelesuan ekonomi dunia, Ford mampu mencetak kenaikan penjualan hingga 4,48 persen pada 2015. Sebanyak 6,628 juta unit mobil Ford terjual pada 2015, naik dibandingkan 6,323 juta unit pada 2014.

Pada 2015, Ford mampu meraih laba terbesar dalam sejarah 112 tahun perusahaan berdiri. Laba bersih naik hingga 48 persen dibandingkan tahun lalu jadi 10,8 miliar dolar.

Regional Amerika Utara jadi penjualan terbanyak dengan mencapai 2,8 juta unit. Penurunan penjualan 5,4 persen pada 2014 berhasil dibalikkan menjadi kenaikan 8 persen pada 2015. Penyumbang terbesar kedua adalah Asia Pasifik. Ford memang gagal di Jepang, tetapi sukses besar-besaran di Cina dan Asia Tenggara. Total penjualan Ford di kawasan ini mencapai 1,6 juta unit.

Ford Eropa jadi penyumbang penjualan terbesar ketiga dengan angka 1,5 juta unit. Pada tahun sebelumnya, Ford Eropa hanya mampu menjual 1,3 juta unit. Meski penjualan di Eropa kalah dari Asia, market share di Eropa yang mencapai 8 persen membuat mereka jadi penguasa kedua terbesar di benua biru tersebut.

Sukses secara global dan Asia Tenggara, tetapi nyatanya Ford keok di Indonesia. Pada tahun 2015, Ford hanya mampu menjual 3.420 unit dengan pangsa pasar 0,509 persen. Capaian itu jauh lebih buruk dari penjualan Ford tahun 2014 yang sebanyak 10.875 unit (0,945 persen).

Ford tidak sendiri mengalami penurunan penjualan di Indonesia. Lesunya perekonomian Indonesia memang membuat penjualan mobil Indonesia tak bergairah. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan domestik pada 2015 hanya sebanyak 1.013.291 unit, turun 16 persen jika dibandingkan 2014. Hampir seluruh produsen mobil mengalami penurunan penjualan di Indonesa. Tak terkecuali produsen-produsen otomotif Jepang seperti Toyota yang turun 21 persen, Daihatsu 11 persen, Suzuki 23 persen dan Mitsubishi 18 persen.

Tak Mampu Bersaing

Ford mengaku sulit untuk bertahan di pasar Indonesia. Juru bicara Neal McCarthy menyatakan, Ford susah berkompetisi di Indonesia tanpa dukungan manufaktur lokal dan penjualan yang memadai. Dalam setahun terakhir, Ford mencoba melakukan restrukturisasi bisnisnya di Indonesia. Hasilnya, pangsa pasarnya tak pernah lebih dari 1 persen, bahkan cenderung terus turun.

“Tidak ada jalan yang masuk akal untuk mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan,” kata McCarthy, seperti dikutip dari Japan Times.

Sedangkan menurut analisa Menteri Perindustrian Saleh Husin, hengkangnya Ford dari Indonesia lantaran ketidakmauan belajar dari kompetitor yang tak hanya sekadar menjual mobil, tetapi juga memproduksi komponen otomotif.

"Sudah tentu Ford kalah bersaing karena kompetitornya memproduksi komponen di Indonesia. Para pabrikan itu membangun industri komponen di sini karena mereka bervisi panjang, serius," kata Saleh lewat siaran persnya.

Menurut Menperin, mendorong pengembangan industri komponen untuk mendongkrak industri otomotif adalah hal penting lainnya jika ingin eksis dalam persaingan pasar otomotif di Tanah Air. “Dengan diproduksi di dalam negeri maka harga jualnya pun pasti akan ikut terpengaruh,” ucapnya.

Apa yang diungkap Saleh bisa jadi kurang tepat. Berkaca dari kasus General Motor, meskipun sudah membuka pabrik di Pondok Ungu, Bekasi, tetap saja penjualan Chevrolet tak begitu bagus.

Lalu jika ada yang beranggapan mobil Amerika Serikat kalah bersaing berkat harga belinya yang mahal, anggapan itu tak sepenuhnya benar. Sadar akan selera ini, Ford sempat berupaya dengan membuat mobil SUV murah lewat tipe Ecosports. Kendaraan SUV perkotaan ini sanggup melibas banjir setinggi setengah meter, cocok untuk pemakai di kota-kota besar, khususnya Jabodetabek.

Hasilnya? Ford tetap gagal.

Padahal boleh dikatakan brand Ford selevel dengan Honda. Sama-sama elit dan punya nama besar. Pada level persaingan tipe SUV, jika Honda tetap menjaga harga Honda CR-V berkisar di sekitar Rp400 juta-an, Ford berani memasarkan Ecosports dengan harga Rp 235 juta.

Tidak lakunya produk ini jadi sebuah anomali mengingat harga jual di Indonesia bahkan lebih murah ketimbang negara-negara ASEAN lain. Malah di Thailand –di mana perakitan Ford regional ASEAN dilakukan - harga Ford bisa lebih mahal. Mobil Ford Ecosports seri 1.5L Ambiente MT dipatok dengan harga 674 ribu baht, jika dirupiahkan menjadi Rp260 juta.

Lantas, apa sebenarnya yang membuat Ford gagal di Indonesia? Kuncinya terletak pada strategi Ford yang tidak mampu mengambil level pasar yang gemuk di Indonesia. Berdasarkan data Gaikindo, data terbesar dari penjualan mobil di Indonesia adalah dari tipe low Multi Purpose Vehicle (MPV) dan juga Low Cost Green Car (LCGC). Dari data penjualan Gaikindo selama Januari – November 2015, kelas low MPV mencatat penjualan 242.982 unit atau 26,3 persen. Dari jumlah tersebut, setengahnya disumbang oleh penjualan Toyota Avanza. Sementara kelas LCGC menguasai 13 persen penjualan, dengan Agya sebagai juara di angka 51.908 unit.

Di dua tipe yang penjualannya terbesar ini, Ford sama sekali tak punya produk andalan. Produsen Jepang merajai dua pasar gemuk di Indonesia ini. Toyota Avanza menjadi juara di kelas low MPV, Agya di kelas LCGC.

Ford sebenarnya memproduksi masal mobil kelas MPV dengan tipe C-Max, S-Max, Galaxy dan Tourneo. Pada mulanya mobil-mobil itu dilepas untuk pasar Eropa. Mobil berkarakter MPV laku keras jika dijual ke orang Asia. Namun anehnya, Ford justru tidak menjual MPV itu ke negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara.

Dari sekian banyak cabang Ford di berbagai negara Asia, mobil MPV produksi mereka hanya dijual di Cina dan Malaysia. Di Thailand, Ford bahkan tak menjualnya. Padahal dengan memiliki pabrik di provinsi Rayong, mereka bisa bersaing memperebutkan penjualan mobil MPV yang diperkirakan mencapai 40 persen pasar mobil di Thailand.

Sementara untuk LCGC, Ford memang tidak memroduksinya. Tanpa dukungan pabrik di Indonesia, sulit bagi Ford memenuhi ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) LCGC yang mencapai 80 persen. Hasilnya, Ford gigit jari manakala LCGC menguasai pasar otomotif Indonesia.

Dua kelas ini memang sangat diminati masyarakat Indonesia. MPV diminati karena kapasitasnya yang besar dan irit. Cocok dengan tipikal masyarakat Indonesia yang suka bepergian bersama keluarga besar. Sementara LCGC diminati karena harganya yang murah dan juga irit. LCGC menjadi pilihan bagi kelas menengah baru , yang pertumbuhannya sangat pesar di Indonesia.

Faktor lain yang bisa jadi membuat Ford sulit mencuri hati konsumen Indonesia adalah faktor harga jual kembali. Harga jual kembali yang tinggi masih menjadi pertimbangan bagi konsumen Indonesia ketika ingin membeli mobil. Mereka umumnya tak mau rugi besar ketika menjualnya. Karena itu, konsumen biasanya memfavoritkan mobil yang memiliki harga jual relatif stabil. Keunggulan ini tidak dimiliki mobil Ford. Konsumen lebih mengenal Honda, Toyota, ataupun Suzuki sebagai mobil dengan harga jual kembali yang relatif stabil.

Keputusan Ford ke luar Indonesia menunjukkan ketidaksabaran mereka dalam menghadapi pasar Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan sebuah pasar yang sangat menggiurkan. Dengan jumlah penduduk hingga 250 juta orang, potensi Ford untuk berkembang di Indonesia sangat besar. Apalagi, rasio kepemilikan mobil di Indonesia baru mencapai 77 unit per 1.000 penduduk. Angka ini masih kecil dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia (397 unit), Thailand (206 Unit), Singapura (209 unit).

Ford mungkin masih belum memiliki resep yang cespleng untuk bisa menaklukkan pasar Indonesia. Namun, menilik potensi pasar di Indonesia yang masih sangat luas, besar kemungkinan Ford akan kembali ke Indonesia. Hanya saja, mereka perlu belajar lebih banyak agar tidak mengulang kesalahan yang dibuat GM di Indonesia.

Baca juga artikel terkait CHEVROLET atau tulisan lainnya

tirto.id - Otomotif
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan