Menuju konten utama

Lumbu, Klika, dan Cerita Tentang Cita Rasa yang Liyan

Mbak Warsih adalah orang yang menghadirkan narasi citarasa liyan. Ia memperkenalkan tegehan, penanding sayur bayam ibu.

Lumbu, Klika, dan Cerita Tentang Cita Rasa yang Liyan
Header Miroso Cita Rasa Liyan dari Mbak Warsih. tirto.id/Tino

tirto.id - Sekira 20 tahun yang lalu bapak pulang dari studinya. Ia mendapati kami, saya dan ibu, dalam keadaan yang kurus. Alasan kami menjadi kurus saat itu berbeda. Saya tengah berusaha membentuk badan ideal untuk mendukung gejolak puber, sedang ibu karena tekanan menjadi orang tua tunggal selama lebih dari 5 tahun.

Bagi bapak kekhawatiran yang dialamatkan pada kami wajar, sebab ibu adalah pemasak yang baik. Itu bukan merupakan konsensus keluarga saja. Beberapa orang di luar keluarga kami pun mengamininya. Tapi, premisnya merupakan premis yang timbul dari kenangan, dan ditambah keberjarakan.

Selama bapak menyelesaikan studinya, ibu mengubah kebiasaannya dari pemasak baik yang mau repot, menjadi ibu yang lebih menghemat tenaga. Rumah yang tadinya selalu dihiasi dengan padu padan kreasinya di dapur sebelum berangkat ke kantor, berubah menjadi wahana perubahan satu cita rasa warung ramesan ke cita rasa lainnya.

Tidak jarang ketika pulang dari kantor ketika mengisi ulang meja makan dengan lauk yang dibelinya untuk makan siang, ia melontarkan gurauan semi teka-teki mengenai lauk dari warung ramesan mana yang dibawanya kali ini. Kami akan menjawabnya dengan Bu Yuli, Bu Bandung, ramesan dekat kantornya, atau nama warung ramesan lainnya.

Ketika bapak sudah aktif kembali di kantornya, kebiasaan baru Ibu ternyata tidak hilang. Selain karena promosi di kantornya, bapak juga akhirnya bernegosiasi dengan hal tersebut. Masalahnya, di lidahnya masakan ibu adalah satu-satunya jujugan citarasa. Sampai akhirnya ia mengamini citarasa lain di dekat rumah kami dan penjelajahan citarasa kami berakhir.

Yang Dekat tetapi Liyan

Suatu pagi, ibu melakukan perjalanan ulang alik dari rumah kami ke tetangga depan. Ia membawa piring berisi jangan, begitu orang Banyumas menamai oseng; tempe, bakwan, dan kluban, begitu orang Banyumas menamai urap, daun kencur. Ia membawanya dari rumah tetangga kami, Mbak Warsih. Entah mengapa pagi itu bapak dan ibu sama-sama memancarkan wajah bahagia.

Mbak Warsih adalah stereotipe perempuan di kelurahan kami tinggal. Ia adalah perempuan liat yang terpaksa bekerja karena suaminya hanya pekerja serabutan. Para perempuan biasanya akan memilih menambah tambahan pemasukan keluarga dengan menjadi asisten rumah tangga atau menciptakan permata-permata tersembunyi dengan memasak dan menjualnya pada tetangga sekitarnya.

Sejak pagi itu Mbak Warsih menjadi orang yang secara konstan menghadirkan narasi citarasa liyan di luar masakan ibu. Ia adalah orang yang memperkenalkan tegehan, penanding sayur bayam ibu.

Bagi seorang yang tumbuh dengan doktrin bahwa sayur bayam selalu diisi oleh bayam, labu siam, wortel, jagung, dan kacang tanah dengan rasa dominan kuah bening asin beraroma harum bawang putih serta kencur, tegehannya merupakan sesuatu yang liyan. Dalam tegehan, dominasi isi sayur bayam ibu diganti hanya dengan daun pepaya/singkong dan kedelai hitam. Rasa asin berubah menjadi manis asin paduan antara kuah gelap gula jawa yang tipis dengan taburan bawang merah yang melimpah.

Pengalaman serupa terjadi ketika mendapat kiriman bakwan darinya. Bakwan bagi saya adalah gorengan strata tertinggi karena ibu selalu memperlakukannya dengan sangat istimewa. Komposisinya jelas: paduan 80% tepung beras-20% terigu. Ia adalah sajian bertekstur lembut berisi kol, wortel, dan kecambah goreng yang harus segera dilahap habis. Digoreng pagi hari, disajikan sebagai sarapan, dan tidak mungkin bisa dinikmati sisanya untuk makan siang. Ia pasti sudah lembek dan berair.

Bakwan mbak Wasih hadir dalam paduan terigu yang dominan. Ia merupakan gorengan garing yang hanya berisi kecambah dan daun bawang. Tapi, ajaibnya ketika saya mencoba memakannya di siang hari, bakwan tersebut masih menyisakan sensasi garing. Sesuatu yang tak pernah dirasakan ketika menyantap sisa bakwan ibu di siang hari.

Suatu hari, ibu mesti pergi dalam waktu yang lama untuk mengikuti pelatihan di tempat kerjanya. Masa-masa seperti ini merupakan masa yang kurang saya sukai, terutama berkaitan dengan ketersediaan makanan di balik tudung saji.

Sesibuk dan setergantung apapun ibu waktu itu kepada Mbak Warsih, ia masih selalu berusaha memintanya untuk memasakan sesuatu berdasarkan selera keluarga. Bapak tentu saja lain lagi. Sebagai orang yang asing dengan perkara dapur dan memasak, ia lebih memilih untuk menurut dan menerima apa yang dikirimkan mbak Warsih.

Di siang sewaktu ibu pergi, saya mendapati Bapak tengah lahap di meja makan. Ketika melongok isi meja makan saya melongo. Bapak tengah menyantap semangkuk masakan yang, maaf, berbentuk sama persis dengan bentuk muntahan kucing saya tempo hari. Tak hanya itu, di sampingnya juga tersaji semangkuk masakan yang berbentuk seperti karet gelang.

Ketika air muka saya berubah dan mengambil langkah mundur dari meja makan, Bapak tiba-tiba meyerocos menjelaskan. Makanan ini adalah lumbu dan klika.

Lumbu adalah sejenis tumbuhan talas liar yang biasanya tumbuh di pematang sawah. Daunnya bisa dimasak sebagai buntil sedang batangnya dimasak hingga hancur menjadi sayur berkuah santan gurih-manis. Sedangkan klika katanya adalah kulit ketela pohon yang biasa dioseng dengan citrasa pedas-asin. Padu padan absurd ini dipilihnya karena mengikuti apa yang tersedia di rumah mbak Warsih dan dikirimkan tadi pagi selepas saya berangkat sekolah.

Sebagai orang yang tumbuh dengan bahan makanan “wajar” saya bertanya balik kepadanya. Bagaimana bisa seseorang memasak dan memakan makanan ini? Tanpa memancarkan raut muka kaget apalagi marah ia menjawabnya dalam sebuah jawaban yang setelah semakin dewasa saya pahami sebagai “makanan adalah jejak kelas sosial seseorang”.

Infografik Miroso Cita Rasa Liyan dari Mbak Warsih

Infografik Miroso Cita Rasa Liyan dari Mbak Warsih. tirto.id/Tino

Yang Liyan yang Kini Melupakan

Selepas saya menikah, Bapak dan ibu meminta kami untuk tinggal di dekat mereka. Selain karena ingin terlibat membesarkan anak saya, anak kedua mereka memilih bekerja di luar kota. Kondisi rumah tangga saya dan orang tua saya tidak jauh berbeda. Saya dan istri sama-sama harus bekerja. Untuk urusan makan, istri saya mengemban tugas yang lebih berat dari ibu. Tugas berat ini muncul akibat keputusan saya berhenti mengonsumsi nasi sejak 2016. Selain itu, ia bukan seorang pemasak sama sekali.

Apa yang pernah terjadi di masa lalu tiba-tiba saja seperti terulang. Karena sadar dia bukan merupakan pemasak, istri mendapatkan informasi dari tetangga bahwa Mbak Warsih masih menerima kerjaan memasak menu apa saja yang kita inginkan. Berseri-seri, saya mengajukan sebuah keinginan untuk membali menyantap tegehan sama persis seperti apa yang pernah dibawakannya 20 tahun yang lalu.

Namun jawabannya bikin saya uring-uringan.

"Tegehan yang seperti apa sih?"

Begitu pula ketika saya memesan bakwan yang "seperti dahulu", tapi berujung pada bakwan jagung pada umumnya. Saya sampai sempat putus asa dan berpikir untuk tidak lagi berlangganan padanya.

Di satu sore yang selo ketika menemani anak jalan-jalan sore, saya melintas di depan rumahnya. Seperti biasa ia menyapa dengan ramah. Di depan rumahnya terhampar tanah kosong berisi barang rongsokan. Saya terhenti dan memandanginya. Sekilas setelahnya saya mengarahkan pandangan ke rumahnya: sebuah rumah berkeramik yang sudah tidak bisa dikatakan sebagai rumah sederhana.

Kenyataan hari itu membuka direktori ingatan di kepala. Selepas saya meninggalkan kelurahan ini untuk berkuliah, Mbak Warsih mencoba mengubah peruntungannya dengan menjadi pengepul barang rongsokan. Upaya tersebut rupanya berhasil sepenuhnya dan dia sempat berhenti memasak untuk orang lain.

Keberhasilan itu juga menghapus keberadaan rumah berlantai tanah, tungku di dalam dapur berjelaga, dan dinding dari anyaman bambu. Dahulu di sela-sela kepulangan ketika libur kuliah saya masih sering mengharapkan tiba-tiba mendapatkan kiriman makanan liyan darinya. Tapi itu tak pernah terjadi karena ia sibuk memilah barang rongsokan.

Sepulang dari jalan sore itu, saya batal berhenti berlangganan makanan padanya. Di dalam kepala saya terngiang ucapan bapak ketika menyantap jangan lumbu dan klika dengan lahapnya. Mungkin kelas sosial mbak Warsih telah berubah. Maka, dengan itu pula citarasa liyan yang dulu dia buat turut terhapus.

Saya berjanji akan menghormati Mbak Warsih. Bukan lagi sebagai penyaji citarasa-citarasa liyan, melainkan sebagai orang yang teguh untuk terus menjadi permata tersembunyi di kelurahan kami.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Wiman Rizkidarajat

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Wiman Rizkidarajat
Editor: Nuran Wibisono