tirto.id - Memori kelam, bagaimana pun, penting sebagai penanda. Pada masa yang akan datang, yang lebih baik, ia tak boleh terjadi lagi.
Deru mesin Oto (istilah omprengan di Sulawesi Selatan) yang saya tumpangi berkelindan dengan alunan koplo. Kami melaju menembus hujan sepanjang Jalan Poros Palopo-Makassar menuju Parepare. Kurang lebih dua jam di dalam Oto yang merongrong, saya transit di Parepare dan berpindah angkutan umum jurusan Pinrang dan turun di kecamatan Suppa.
Suppa saat ini adalah kecamatan di antara jalan poros Parepare dengan Pinrang. Sepintas lalu, ia tak ubahnya kecamatan di daerahmu. Namun jika kita melihat ke arah teluk, kita tahu, sesuatu yang besar pernah terjadi di kawasan ini.
Pusat Kedatuan Suppa berada di Mara’bombang di sisi utara Teluk Parepare. Istana kedatuan Suppa menghadap ke teluk, di seberangnya terlihat jelas kota pelabuhan Parepare dan kicir angin raksasa di atas bukit yang merupakan realisasikan program energi alternatif. Pada masa lain seseorang dibunuh di sana, seseorang yang dihormati: Datu Supa Muda.
Suppa merupakan satu dari beberapa kawasan yang menjadi target operasi militer Westerling dan pasukannya. Alasannya, pemimpin Kedatuan Supa, Datu Suppa Muda (Andi Abdullah Bau Massepe) adalah pendukung Republik Indonesia.
Pada 28 Januari 1947 selama seharian penuh sejak pagi buta, Westerling bersama pasukannya mulai meneror dan membantai rakyat Suppa seharian.
Teriknya matahari khas pesisir begitu melelahkan, saya memutuskan untuk membeli air minum di sebuah warung yang letaknya di pertigaan jalan bersebelahan dengan tugu “Monumen Korban 40.000 Jiwa”. Monumen ini sangat familiar, karena saya juga menjumpainya di Makasar, Parepare, dan mungkin masih ada lagi di tempat lain di Sulawesi Selatan.
Saya sempat menanyakan ke penjaga warung apakah masih ada warga sekitar yang dapat menceritakan kejadian kelam pembantaian Westerling. Penjaga warung itu menyebut nama Andi Monji, saksi hidup peristiwa tersebut. Rumahnya tak terlalu jauh. Selama berjalan kaki, saya disuguhkan deretan rumah panggung khas Bugis di sisi jalan Poros menuju Pinrang. Pemandangan yang tak saya jumpai di Makassar.
“Semua sasaran tembak di kepala semua. Dia kidal. Kidal, orang kidal dia!”
Andi Monji, atau dikenal juga dengan nama Andi Kassi, mengorek ingatannya tentang peristiwa pembantaian yang ia saksikan. Ia lahir tahun 1937 dan saat peristiwa itu terjadi usianya baru sepuluh, tetapi dari cara tuturnya, ia seakan baru mengalaminya kemarin dan kita segera tahu, trauma selalu menemukan jalan terbaik untuk menggores manusia.
Andi Monji menunjukkan foto orang tua dan keluarganya. Ia menunjuk ayahnya, Andi Monjong.
Ayahnya adalah Pabbicara (juru bicara) Kedatuan Suppa. Saat itu serdadu Belanda meloncat dari jip dan langsung memukulinya tanpa banyak bicara. Andi Monji, yang masih bocah, menyaksikan Westerling membedil kepala ayahnya.
Andi Monji mencatat 208 orang terbunuh pada kedatangan Westerling di Suppa, "Dari jam enam (pagi) sampai jam enam (sore).”
Saat ini, lokasi penguburan para korban pengadilan a la Westerling tersebut telah menjadi Taman Makam Pahlawan. Pada masa yang akan datang, yang lebih baik, pengadilan serupa tak boleh terjadi lagi.
Kedatangan saya di Suppa pada 28 Juni 2018 lalu bertepatan dengan berlangsungnya sidang gugatan korban-korban Westerling di Belanda. Beberapa orang tua di sekitar Suppa dihadirkan sebagai saksi secara teleconference di Café Resto Fly Over, Suppa. Tak jauh dari rumah Andi Monji tinggal. Andi Monji sendiri juga datang sebagai saksi.
Sidang gugatan korban Westerling di Sulawesi Selatan ini adalah rangkaian kedua. Pada rangkaian pertama di Bulukumba, gugatan diterima dan mendapat uang ganti rugi 20.000 Euro. Apa yang lebih penting dari uang ganti rugi? Ya, sidang gugatan korban Westerling penting untuk dilakukan sebab dalam pencarian keadilan terdapat luka berkarat, trauma kolektif. Ia penting sebagai jaminan jika kita tiba di masa lain, yang lebih baik, peristiwa serupa tak akan terjadi lagi.
Editor: Sabda Armandio