Menuju konten utama

Mobil Lowriders & Representasi Kultural Orang Meksiko-Amerika

Komunitas Lowriders menghidupkan identitas ke-Meksiko-annya melalui mobil. Keunikannya diterima secara universal.

Mobil Lowriders & Representasi Kultural Orang Meksiko-Amerika
Mobil Lowriders. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat menyongsong era baru sebagai negara adidaya. Pada 1945, Winston Churchill bahkan mengistilahkan bahwa Amerika saat ini “berdiri di puncak dunia”.

Optimisme merebak luas di Amerika Serikat. Perekonomian negara sedang bagus-bagusnya. Industri berkembang pesat, inovasi tercipta setiap hari, dan semua orang seperti bisa membeli segala yang mereka inginkan. Pada masa ini pulalah, lahir apa yang dinamakan American Dream atau Mimpi Amerika.

Kala itu, bagi masyarakat Amerika Serikat, segalanya memang terasa mudah digapai karena kesempatan untuk meraih kesuksesan memang terbuka begitu lebar.

Yang paling menikmati era keemasan kapitalisme Amerika ini tentu adalah orang-orang kulit putih. Mereka merasakan begitu mudah dan nikmatnya hidup di negara paling berkuasa di muka bumi. Kehidupan tenteram di pinggiran kota menjadi norma dan standar baru atas apa yang disebut kebahagiaan.

Pada masa itu, Amerika Serikat masih amat tersegregasi. Bahkan, di beberapa negara bagian, apartheid masih jadi sesuatu yang lumrah. Meski demikian, kebahagiaan di Amerika pada masa itu memang begitu melimpah ruah sehingga kaum liyan pun tetap bisa merasakannya. Di sini, kita sedang berbicara soal Chicano dan Chicana alias orang Amerika berdarah Meksiko.

Kultur Cruising yang Terbelah Dua

Salah satu penanda kemajuan pesat perekonomian Amerika saat itu adalah lahirnya kultur cruising atau berkendara dengan mobil dengan rute tertentu. Banyak anak muda saat itu yang bisa membeli mobil berkat uang yang mereka dapatkan setelah ikut bertempur di Perang Dunia II. Berbekal ilmu mesin dan mekanik yang didapa dari dinas ketentaraan, anak-anak muda itu kemudian memodifikasi mobil-mobilnya.

Ada dua subkultur yang lahir dari periode ini. Subkultur pertama adalah komunitas Hot Rod yang biasanya didominasi oleh orang kulit putih. Mereka membeli mobil-mobil tua seperti Ford Model-T, lalu memodifikasi bodi dan mesinnya.

Mesin mobil orisinal dicopot dan digantikan dengan mesin yang lebih kuat sehingga mobil pun bisa dipacu jauh lebih kencang. Tak jarang, kap mobil sampai harus dicopot demi mengakomodasi mesin baru tersebut.

Subkultur kedua lahir dari komunitas Chicano dan Chicana, khususnya yang tinggal di wilayah California Selatan. Tak seperti orang-orang kulit putih yang memilih mobil lawas, mereka menjatuhkan pilihan pada mobil-mobil baru yang populer pada era itu, khususnya bikinan Chevrolet yang saat itu mengalami surplus besar.

Tak seperti orang kulit putih yang memodifikasi mobilnya agar bisa melaju lebih kencang, mereka justru membuat mobilnya jadi lebih lambat. Jika Hot Rod dibuat agar mobil menjadi "hot and fast", mobil-mobil Chicano dan Chicana ini dibikin supaya menjadi "low and slow". Mobil-mobil ini dinamai lowriders.

Mobil-mobil Lowriders ini umumnya berukuran besar. Sudah begitu, bagian belakang mobil-mobil ini diberi pemberat sehingga lebih ceper. Tak cuma itu, mobil-mobil Lowriders pun dicat warna-warni dan tak jarang dilukis dengan motif-motif khas Meksiko, seperti bunga, desain geometris, bendera Meksiko, sampai figur-figur Aztec.

Dengan begitu, mobil-mobil Lowriders jadi tampak begitu mencolok, terutama ketika para pemiliknya melakukan cruising pada malam-malam tertentu.

Subkultur Lowriders ini pun menjadi identitas baru bagi anak muda Chicano dan Chicana. Sayangnya, tinggal di negara yang rasis membuat subkultur ini lantas mendapatkan stigma tak menyenangkan. Pemerintah setempat, misalnya, menganggap bahwa subkultur Lowriders sebagai kamuflase bagi kegiatan kriminal. Sampai-sampai, pada 1958, California mengeluarkan peraturan yang secara spesifik melarang penggunaan mobil-mobil Lowriders.

Tidak boleh ada mobil yang bodinya lebih rendah dari pelek bagian bawah. Begitulah bunyi peraturan yang termaktub dalam Section 24008 of the Vehicle Code of the State of California kala itu. Namun, peraturan itu justru melahirkan sebuah inovasi yang kemudian menjadi bagian tak kalah penting dari modifikasi Lowriders. Yakni, penggunaan sistem hidrolik yang membuat ground clearance mobil bisa dimanipulasi dengan mudah.

Penggunaan sistem hidrolik itu memungkinkan para pemilik mobil Lowriders menghindari tilang. Saat dibutuhkan, mereka bisa dengan mudah membuat mobilnya tampil sesuai peraturan yang ada.

Di kemudian hari, seiring dengan dihapus peraturan anti-Lowriders tersebut, sistem hidrolik ini kemudian digunakan sebagai alat untuk pamer. Para pemilik mobil Lowriders modern menggunakan sistem hidrolik ini untuk membuat mobil mereka bergerak naik-turun saat dikendarai.

Merambah ke Arena Sosio-Politik

Tak seperti Hot Rod yang mulai kehilangan pamor pada dekade 1960-an, Lowriders masih bertahan hingga saat ini. Bahkan, gaya modifikasi ini bisa dibilang sudah menjadi bagian dari budaya Chicano dan Chicana yang diwariskan secara turun temurun.

Salah satu alasan mengapa Lowriders bisa bertahan begitu lama—selain karena keren—adalah karena subkultur ini kemudian merasuk dalam sejarah perjuangan kelompok Chicano dan Chicana, terutama sejak dekade 1970-an saat pergerakan hak sipil Chicano digelorakan.

Klub-klub mobil Lowriders pada masa itu mulai beralih fungsi. Dari yang tadinya sekadar tempat nongkrong untuk membicarakan mobil, klub-klub ini mulai jadi tempat pelayanan masyarakat serta penggalangan dana untuk serikat buruh. Tak jarang pula, menurut laporan Smithsonian Magazine, klub-klub Lowriders membantu masyarakat mendapat layanan kesehatan, termasuk saat pandemi COVID-19 melanda.

Desain modifikasi Lowriders yang menonjolkan ke-Meksiko-an juga jadi alasan lain. Pasalnya, simbol-simbol khas Meksiko itu membikin para Chicano dan Chicana merasa jadi lebih dekat dengan asal muasalnya. Mobil-mobil ini pada dasarnya menjadi kanvas bagi karya seni khas Meksiko yang pada akhirnya semakin menumbuhkan kebanggaan identitas Chicano dan Chicana para pemiliknya.

Fesyen para pemilik Lowriders pun tidak bisa dipisahkan dari sejarah. Jaket dengan bahu lebar, celana panjang high-waist, rambut tersisir rapi, dan kalung dari rantai adalah cara para Chicano dan Chicana menghormati para pendahulu mereka, khususnya yang terlibat dalam Kerusuhan Zoot Suit 1943.

Kerusuhan Zoot Suit terjadi ketika para pemuda Meksiko-Amerika diserang oleh sekelompok polisi dan tentara Amerika. Alasannya? Karena zoot suit atau celana gombrong yang banyak dikenakan kelompok Chicano serta orang kulit hitam dianggap sebagai pemborosan di masa perang. Namun, tentu saja, itu cuma alasan yang dibuat-buat untuk melegitimasi tindakan keji berbau rasial tersebut.

Kuatnya kelindan subkultur Lowriders dengan identitas Chicano dan Chicana inilah yang membuat gaya modifikasi ini bisa bertahan begitu lama.

Kendaraan yang kemudian dimodifikasi dengan gaya Lowriders pun tak hanya mobil, melainkan sampai ke sepeda motor dan sepeda. Sama seperti mobilnya, sepeda motor dan sepeda Lowriders pun tidak didesain untuk mengejar kecepatan.

Tak cuma bertahan lama, popularitas gaya modifikasi Lowriders ini pun kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun, khusus di Indonesia, yang benar-benar populer hanyalah modifikasi sepeda Lowriders karena akses terhadap sepeda motor dan mobil klasik Amerika memang bisa dibilang sulit.

Sepeda Lowriders sendiri, menurut Ayo Gowes, mulai masuk ke Indonesia pada dekade 1970-an. Namun, sepeda Lowriders yang masuk kala itu adalah sepeda produksi massal, bukan gaya modifikasinya. Sementara itu, gaya modifikasinya sendiri masuk ke Indonesia sekitar dua dekade berselang.

Bagi orang-orang non-Chicano dan Chicana, Lowriders memang punya makna berbeda karena tidak ada ikatan kultural apa pun. Meski demikian, popularitas Lowriders di seluruh dunia membuktikan bahwa karya para Chicano dan Chicana itu memang spesial karena bisa diterima secara universal.

Baca juga artikel terkait GEARBOX atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Otomotif
Reporter: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi