tirto.id - Direktur Deregulasi Penanaman Modal BKPM Yuliot menjelaskan, pembatasan ekspor nikel oleh BKPM pada pekan lalu disebabkan data lonjakan ekspor ore nikel pada September 2019.
Berdasarkan catatan yang ada di instansinya, ekspor ore nikel tembus 100 juta ton sepanjang September. Padahal rata-rata kuota ekspor yang diizinkan hanya 23 juta ton.
Peningkatan ekspor itu berlanjut pada setelah pelantikan presiden pada Oktober 2019. BKPM, lanjut Yuliot, menemukan 150 kapal yang siap untuk mengangkut ore nikel.
Hal tersebut, kata dia, membuat industri hilirisasi nikel dalam negeri mulai kesulitan bahan baku.
"Sebagian besar bahan baku diekspor jor-joran, dan diindikasikan ada kenaikan barang yang di ekspor pada bulan September tercatat di beberapa pelabuhan luar negeri," ujarnya dalam acara diskusi di Gedung KHMI, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2019).
Yuliot menjelaskan, Indonesia perlu mempercepat larangan tersebut. Apalagi, 70 persen ekspor bijih nikel Indonesia diekspor ke China.
Indonesia memiliki kesempatan untuk mengolah nikel lebih banyak mengingat nikel merupakan bahan baku utama dalam pembuatan baterai mobil listrik.
"Cina sendiri sudah memiliki cadangan bahan baku untuk 1 tahun 2 tahun produksi. Ini sebagian besar dari Indonesia," kata dia.
Cadangan terbukti untuk komoditas nikel nasional Indonesia sendiri tercatat hanya sebesar 698 juta ton. Jumlah itu hanya dapat menjamin suplai bijih nikel ke smelter selama 7,61 tahun.
Sementara untuk mengubah cadangan terkira, yang sebesar 2,8 miliar ton, menjadi cadangan terbukti memerlukan kemudahan akses, perizinan dan keekonomian. Jika hal tersebut dilakukan, cadangan terbukti komiditas nikel akan mencapai 3,57 miliar ton dan dapat memenuhi kebutuhan smelter selama 39 tahun.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana