tirto.id - Perang di Marawi antara tentara Filipina dan ISIS sudah berlangsung selama lebih kurang tiga bulan. Strategi perang kota yang dipraktikkan ISIS membuat militer pemerintah kerepotan. Sampai Minggu (6/8/2017) lalu, total prajurit yang tewas mencapai 122 orang dan warga sipil 45 orang. Ke depan, angka ini sangat mungkin bertambah.
Di Indonesia sendiri, tidak sedikit jihadis yang telah berbaiat ke ISIS. Pada 2015, menurut Kabid Pencegahan Densus 88 AKBP Djoni Djuhana dalam diskusi “Mencegah Terorisme Gaya Baru di DPP Taruna Merah Putih”, Kamis (10/8/2017), diketahui terdapat 1.000 orang bekas jihadis ISIS di Irak dan Suriah yang kembali ke Indonesia.
Meskipun ada usaha untuk melakukan deradikalisasi dan mengawasi setiap gerak-gerik ISIS, menurut Djoni, kemungkinan mereka akan melakukan perang di Indonesia selalu ada. Terutama bila berkaca pada serangkaian penyerangan yang dilakukan ISIS kepada polisi di Kampung Melayu dan di Blok M belum lama ini.
Baca juga: Upaya ISIS Menjadikan Marawi sebagai 'Mosul Kecil' di ASEAN
Menurut mantan anggota Al-Qaeda dan mantan narapidana terroris Sofyan Tsauri dalam kesempatan yang sama, terdapat beberapa lokasi di Indonesia yang memungkinkan bagi ISIS untuk melakukan perang kota.
Sofyan menyebut Bima dan Poso sempat menjadi kota yang sempat direncanakan oleh jihadis di Indonesia sebagai Madinatul Fatah atau kota pembuka terjadinya perang.
"Kemudian daerah Banten (dan) Jawa Tengah yang masih mempunyai hutan-hutan," kata Sofyan kepada Tirto usai diskusi di DPP Taruna Merah Putih, Kamis.
Bagi para jihadis, dalam qaidah aminah atau kaidah mengamankan diri yang mereka pelajari, hutan bisa dijadikan sebagai lokasi paling efektif untuk melakukan perang gerilya dan perang kota.
"Karena mainnya sebentar. Tembak-tembakan paling setengah jam. Tapi persoalannya, abis itu mau lari ke mana yang harus dipikirkan," katanya menjelaskan.
Selain hutan, menurutnya, yang juga dipertimbangkan adalah daerah yang dekat dengan laut internasional dan berbatasan dengan negara tetangga. Sofyan pun mengaku bersama Dulmatin, otak Bom Bali I yang kepalanya pernah dibandrol seharga 10 juta dolar AS oleh pemerintah Amerika, pernah merencanakan Aceh sebagai kota pemantik perang pada 2009.
"Kami sudah berkomunikasi dengan milisi GAM saat itu. Secara geografis, Aceh itu dekat laut internasional, banyak hutan. Secara masyarakat juga sudah tinggi sentimen keislamannya," kata Sofyan.
Hanya saja, menurutnya, saat itu anak buahnya bertindak tidak sesuai arahan dengan melakukan sejumlah penembakan pada 2009, termasuk kepada seorang guru berkewarganegaraan Amerika yang ternyata beragama Islam.
"Biidznillah, akhirnya tempat pelatihan kami juga ketahuan," kata Sofyan.
Selain itu, kota besar seperti Jakarta dan Semarang juga dianggap Sofyan berpeluang untuk menjadi area perang para jihadis. "Selain perang gerilya, kan juga ada perang kota yang butuh banyak gedung. Di Semarang juga daerah perbukitan," kata Sofyan.
Bila melihat kepada lokasi geografis Marawi, ibu kota Provinsi Lanao del Sur ini adalah kota yang indah, dikelilingi perbukitan dan udara sejuk, dengan ketinggian di atas 700 mdpl, terletak di tepian Danau Lanao–danau terbesar kedua di Filipina.
Baca juga: Selamat Datang di Marawi: 'Kota Hantu' Penuh Peluru
Pertimbangan lokasi di Marawi, menurut Sofyan, juga tidak melulu mengenai cara kabur tetapi juga berkaitan dengan akses sokongan logistik dan senjata selama perang berlangsung.
"Indonesia kalau mau perang awur-awuran di laut juga banyak yang jual senjata. Yang punya kapal selam bebas saja itu jual di laut, karena perbatasan ribuan kilometer juga tidak ada yang jaga," kata Sofyan.
Distabilitas Politik Jadi Pintu Masuk ISIS
Pria yang sebelum menjadi teroris pernah menjadi anggota Brimob ini pun menyatakan peluang ISIS untuk dapat membuat konflik di Indonesia adalah ketika terjadi distabilitas politik.
"Kemarin seperti kasus Ahok sudah banyak yang siap-siap kalau terjadi meledak ada yang mencari senjata siapa, ada yang mencari duit jatah, sudah seperti Suriah," kata Sofyan.
Bulan Desember ketika demo 212, menurut Sofyan, Densus 88 telah menangkapi anggota ISIS yang ikut demo anti Ahok. "Coba lihat dan renungkan kembali fakta adanya Abu Al Usaibah, ada lagi tokoh ISIS seperti Syamsudin Uba yang di Pekayon itu ikut demo," kata Sofyan.
Selain itu, menurut Sofyan, yang membuat paham ISIS lebih mudah menyebar untuk melakukan rekruitmen dan pada akhirnya menciptakan perang adalah karena kesenjangan ekonomi dan kemiskinan.
"Di Malaysia dan Singapura yaang relatif makmur, dia (ISIS) tidak alasan untuk memanfaatkan situasi seperti itu," kata Sofyan.
Selanjutnya, Sofyan mengingatkan terhadap Arab Spring yang menurutnya terjadi hanya karena seorang pedagang kaki lima diusir oleh petugas keamanan di Tunisia karena berjualan di sekitar istana kepresidenan Bin Ali.
"Pedagang itu akhirnya membakar diri di depan istana dan memantik konflik yang ditunggangi oleh gerakan jihadis. Begitu juga yang terjadi di Suriah dan Libya. Kalau Yaman sedikit sulit karena banyak kepentingan," kata Sofyan.
Dalam hal ini, Sofyan pun mengungkap sebuah teori di dalam kalangan jihadis bahwa konflik merupakan ladang subur tersebarnya ideologi.
Namun, Direktur Institute for Policy Analysis (IPAC) Sidney Jones menyatakan kemiskinan bukanlah faktor utama yang mendorong seseorang bergabung ke ISIS.
"Sangat sedikit jumlah yang bergabung karena faktor ekonomi. Kemiskinan bukan faktor utama kenapa orang-orang mau bergabung (ISIS)," kata Sidney di Wisma Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, Senin (29/2/2016).
Melainkan, menurut Sidney, terdapat tiga faktor yang kuat mendorong seseorang bergabung dengan ISIS, yakni banyak orang yang ingin ke Suriah karena ramalan akhir zaman yang menyatakan Imam Mahdi turun dalam perang terakhir di Syam (sebutan Suriah); ada faktor kemanusiaan yang mendorong simpati orang-orang bergabung ke ISIS ; dan, keinginan untuk berjihad.
Sulit Mencegah ISIS
Dalam rangka mencegah hal itu terjadi, Kabid Pencegahan Densus 88 AKBP Djoni Djuhana mengaku kesulitan. Karena, menurutnya, propaganda ISIS terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi.
"Kami punya alat berharga puluhan miliar, tapi mereka terus ditopang dengan teknologi yang berkembang juga. Seperti Telegram itu misalnya," kata Djoni.
Meski begitu, dirinya mengaku upaya untuk membendung arus propaganda mereka terus dilakukan dengan meningkatkan pula kemampuan di bidang teknologi.
"Makanya kami terus optimalkan tim cyber crime. Kami bekerja sama dengan banyak pihak, baik provider maupun ahli teknologi untuk mencegahnya," kata Djoni.
Selain itu, kelemahan menurutnya juga terjadi karena kurang kuatnya regulasi yang ada dalam pencegahan terorisme pada UU terorisme yang hanya memungkinkan pihaknya untuk menangkap setelah terjadi kejadian saja.
"Nanti setelah direvisi itu undang-undang, setiap ada khatib Jumat yang keras dan memprovokasi, kami pastikan selangkah keluar dari masjid langsung kami tangkap," katanya menegaskan.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yuliana Ratnasari