tirto.id - Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Yogi Setya Permana mengatakan pemerintah daerah (pemda) di wilayah penghasil sumber daya alam (SDA) kerap mengobral pengelolaannya pada swasta. Menurut dia, pemda lebih cenderung tunduk pada kepentingan swasta (clientis).
Ia mengatakan, pola privatisasi sumber daya alam itu ternyata menyebabkan penumpukkan kekayaan di pihak swasta atau disebut rent seeking. Di saat perputaran ekonomi wilayah penghasil SDA tinggi karena pertambangannya, tingkat kemiskinan masyarakatnya justru tak kalah tinggi.
"Daerah penghasil sumber daya alam punya clientis yang pekat. Pola ekonominya satu dimensi hanya dikuasai segelintir orang," ucap Yogi.
Pola penguasaan ekonomi ini, menurut Yogi, juga turut dinikmati oleh pemerintah daerah. Karena itu tidak mengherankan bila tingginya indeks persepsi korupsi sejalan juga dengan kekayaan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut.
"Daerah yang memiliki sumber daya kaya memiliki CPI lebih tinggi dibanding di Jawa,” ungkap dia.
Selain perkara korupsi, persoalan ini juga merembet ke konflik agraria dan persoalan hak asasi manusia di daerah. Sebab dalam relasi clientis antara pemerintah daerah dan pengusaha, masyarakat tak memiliki kekuatan untuk memengaruhi kebijakan.
"Ketika lubang tambang menganga, warga tidak bisa mengartikulasi kepentingan mereka karena pemda sudah kongkalikong dengan pengusaha," ucap Yogi.
Peneliti agraria dan pendiri Sekolah Ekonomika Demokratik (SED), Hendro Sangkoyo (Yoyok) justru mengatakan, persoalan SDA ini justru sempat luput dalam debat capres ke-2.
Menurut Yoyok, hambarnya debat kemarin disebabkan perkara SDA yang dikaburkan menjadi kepentingan ekonomi semata, ketimbang memahami persoalan lapangan, seperti konflik agraria dan pelanggaran HAM yang terjadi.
"Ada persoalan perizinan dan minimnya akses informasi untuk masyarakat. Konflik daerah dan keterlibatan publik tidak dijelaskan," ucap Yogi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto