tirto.id -
"Dalam pembahasan ideologi kemarin itu sangat normatif, sama-sama pro pancasila. pancasila harus dipertahankan, dan tidak ada pembahasan lebih jauh," ujar Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan Khoirul Muqtafa, di LIPI, Jakarta Selatan, Senin (1/4/2019).
Kemudian pada sesi tanya jawab, ia melihat tidak banyak perbedaan diantara kedua capres tersebut.
Kedua capres itu menurut Khoirul, belum mengeksplorasi tantangan ideologi yang saat ini dihadapi dan juga potensi apa yang nanti akan terjadi di masa mendatang. Sehingga masih sangat umum.
"Soal pilihan kata, Jokowi mengatakan pancasila sebagai kesepakatan, [sedangkan] Prabowo lebih menekankan [pancasila] sebagai final. Banyaknya kata tidak bisa dielaborasi, pada akhirnya penjelasan mereka tidak jauh berbeda," kat Khoirul.
Selain itu, berdasarkan pengamatannya selama debat berlangsung, Khoirul mengamati Jokowi mengucapkan kata pancasila sebanyak 10 kali, sedangkan Prabowo 11 kali. Sehingga secara statistik, tidak jauh berbeda.
"Keduanya juga membahas tentang para pemimpin harus menjadi teladan, tentang bagaimana pancasila itu dipraktikan," tuturnya.
Peneliti LIPI itu juga melihat kedua capres tersebut sama-sama memiliki program yang serupa dalam mengamalkan nilai pancasila sejak dini sampai dewasa. Seperti menerapkan pelajaran pancasila mulai sejak Taman Kanak-kanak hingga S3.
Tetapi, berbeda dengan Prabowo, Jokowi menambahkan satu aspek lain pada debat pilpres kemarin, yakni menerapkan pancasila dalam keseharian.
Seperti ideologi tersebut harus hadir dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan bukan sesuatu yang berasal dari asing.
"Perilaku kita sehari-hari, mulai dari toleransi, berkawan, orang yang berbeda agama, itu pancasilais, itu praktik paling konkret bagaimana pancasila diterapkan sejak dini. Itu saya lihat point plus dari Pak Jokowi itu, walaupun tidak dijelaskan secara detail," ucapnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Nur Hidayah Perwitasari