Menuju konten utama

Lima Alasan Andi Narogong Ajukan Kasasi ke MA di Kasus e-KTP

Andi Narogong mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Lima Alasan Andi Narogong Ajukan Kasasi ke MA di Kasus e-KTP
Tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik Andi Agustinus alias Andi Narogong meninggalkan Gedung KPK usai pemeriksaan di Jakarta, Rabu (21/2/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Terdakwa korupsi e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong melalui kuasa hukumnya, Samsul Huda menjelaskan lima alasannya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.

"Pada 19 April 2018 klien kami, Andi Agustinus telah mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 5/2018," kata Samsul di Jakarta, Rabu (9/5/2018).

Menurut Samsul, alasan Narogong mengajukan kasasi karena merasa putusan Pengadilan Tinggi DKI sangat tidak adil dan tidak sesuai kebenaran materiil yang telah terungkap dalam persidangan tingkat pertama.

Berikut 5 Pertimbangan Andi Narogong Mengajukan Kasasi ke MA:

1. Posisi Andi Narogong Bukan Sebagai Pelaku Utama

Samsul mengatakan, Andi Narogong keberatan dengan pertimbangan hukum PT DKI karena memposisikan dirinya sebagai pelaku utama tanpa melalui pertimbangan yang cukup

"Sedangkan di sisi lain, PT DKI tetap menyatakan secara tegas bahwa klien kami adalah "Justice Collaborator". Bahkan PT DKI tegas mengambil alih semua pertimbangan hukum putusan tingkat pertama, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.100/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst," ungkap Samsul.

Samsul menekankan, hal itu bertentangan secara diametral karena berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4/2011 seorang "Justice Collaborator" bukan sebagai pelaku utama.

"Lagipula, klien kami memang bukan pelaku utama, sebab yang bersangkutan bukan pejabat yang memiliki kewenangan untuk menyusun maupun mengendalikan proses penganggaran dan juga dalam pelaksanaan pekerjaan proyek e-KTP. Klien kami juga tidak punya hak untuk mengurus maupun dilibatkan langsung karena sepenuhnya menjadi urusan pemenang lelang, konsorsium PNRI," kata Samsul.

2. Penambahan Jumlah Pidana

Samsul menekankan, yang menjadi pertimbangan kedua adalah, Andi Narogong keberatan karena PT DKI menambah jumlah pidana dari 8 tahun menjadi 11 tahun tanpa pertimbangan hukum yang memadai.

"Bahkan berbeda secara diametral dengan pertimbangan hukum pengadilan tingkat pertama, padahal sebelumnya PT DKI secara tegas menyatakan mengambil alih seluruh pertimbangan hukum pengadilan tingkat pertama," ucap Samsul.

Menurut dia, hal tersebut tidak adil karena Narogong telah menjadi Justice Collaborator, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh putusan PT DKI Nomor 5 maupun putusan PN Jakpus Nomor 100 yang diambil alih pertimbangan hukumnya oleh Putusan PT DKI Nomor 5.

"Seharusnya, klien kami menurut keadilan, hukum, perundang-undangan, maupun konvensi internasional yang telah diratifikasi menjadi undang-undang, diperingan hukumannya bahkan seharusnya lebih ringan dari yang dituntutkan oleh JPU KPK," ujarnya.

Untuk itu, Samsul menyatakan, putusan PT DKI Nomor 5 yang memperberat hukuman Narogong tidak sesuai dengan keadilan dan hukum maupun perundang-undangan.

3. Keuntungan Andi di Korupsi e-KTP Tidak Besar

Samsul kembali menegaskan bahwa Narogong bukanlah pelaku utama di kasus korupsi e-KTP. Sebab, apabila Narogong menjadi pelaku utama, maka keuntungan yang ia dapatkan pasti lebih besar dari yang lainnya.

"Kenyataannya, keuntungannya justru paling kecil dibandingkan pihak-pihak lain pejabat Kemendagri atau DPR atau pengusaha. Itu pun berasal dari pengembalian uangnya sendiri yang sebelumnya digunakan oleh PT Quadra Solution maupun dari Johannes Marliem sebagaimana disebutkan dalam semua Surat Dakwaan atau Tuntutan perkara e-KTP," kata Samsul.

4. Andi Narogong Tak Ajukan Banding di Putusan Tingkat Pertama

Samsul mengatakan, yang menjadi pertimbangan keempat adalah Narogong tetap menerima putusan tingkat pertama meskipun dirasa cukup berat dan tidak mengajukan banding.

Menurut dia, keputusan Narogong untuk menyampaikan secara terang benderang kasus korupsi e-KTP hingga menjadi Justice Collaborator tidak bertujuan untuk menyakiti pihak lain.

"Tujuannya tidak lain hanya ingin berlaku jujur, korektif, terus terang kepada penyidik dan penuntut umum KPK dengan mengungkap peristiwa sebenarnya, guna meletakkan kebenaran pada tempat yang seharusnya, sehingga Majelis Hakim Tingkat Pertama dapat menyusun pertimbangan hukum yang tepat dalam putusannya," tuturnya.

5. KPK dan Pengadilan Setuju Andi Sebagai Justice Collaborator

Samsul menyatakan, pertimbangan kelima adalah baik KPK maupun pengadilan tingkat pertama telah menyetujui Narogong sebagai Justice Collaborator, yang artinya bukan sebagai pelaku utama.

"Jika kenyataan sebagai Justice Collaborator dipandang sebelah mata oleh pengadilan Banding, itu sama nilainya dengan "menganggap sebelah mata" keterangan yang sangat berguna yang signifikan membantu membuat terang peristiwa yang ada. Hal ini pasti akan dimanfaatkan sebagai "senjata" untuk mengelak dari tanggung jawab oleh orang lain yang peranannya jauh lebih besar," ujar Samsul.

Menurut Samsul, Narogong sama sekali tidak berharap bebas dan lepas dari jeratan kasus. Hanya saja, ia berharap putusan kasasi bisa dijatuhkan secara adil sesuai hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

"Yakni, membatalkan putusan PT DKI Nomor 5 serta menguatkan kembali Putusan PN Jakpus Nomor 100 atau disertai pengurangan hukuman dibawah tuntutan JPU KPK," ucap Samsul.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP

tirto.id - Hukum
Sumber: antara
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto