tirto.id - Jusuf Kalla duduk dan menyimak saksama layar yang menyala di hadapannya. Layar itu menampilkan rekaman dirinya tengah melakoni Debat Pemilihan Presiden (Pilpres) empat tahun lalu. JK ingat betul momen itu. Momen ketika ia sukses mempermalukan Hatta Rajasa di muka umum.
Kala itu, JK duduk di sebelah kiri calon presiden yang dia dampingi, Joko Widodo. Dia berkemeja putih, sedangkan Jokowi mengenakan kemeja kotak-kotak merah khasnya. Pada kesempatan yang sama, Hatta Rajasa berdiri, mengutarakan pertanyaan. Yang dia dampingi, Prabowo Subianto, duduk sambil sesekali menuliskan sesuatu di secarik kertas yang terbaring di atas meja.
Hatta berbicara secara perlahan. Salah satu topik debat malam itu ialah lingkungan hidup. Ia mempersoalkan mengapa Kota Solo yang dipimpin Jokowi tidak mendapatkan Kalpataru. Seusai Hatta menuntaskan ucapan, JK menyambar mikrofon.
"Pertanyaan Bapak bagus, cuma keliru. Kalau [penghargaan untuk] kota itu bukan Kalpataru, tapi Adipura," kata JK.
Sontak, pendukung Jokowi-JK bersorak gembira. Tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, JK kembali ke kursinya. Sementara Hatta tersenyum getir.
Najwa Shihab sengaja menyetel rekaman itu kala mewawancarai JK di program Catatan Najwa untuk mengulik resep JK tampil prima di debat Pilpres. Wawancara itu dilakukan pada Selasa, 12 Februari 2019, di rumah JK di bilangan Menteng. Saya duduk di belakang layar yang ditatap JK dan bisa melihat dengan jelas wajah wakil presiden itu. JK tersenyum kecil saat rekaman itu diputar.
JK berpartisipasi dalam tiga Pilpres di Indonesia dan memenangkan dua di antaranya. Sebelum mendampingi Jokowi di 2014, JK menjadi cawapres SBY di 2004 dan capres di 2009. Tidak berlebihan apabila menyebut laki-laki kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan ini sebagai veteran Debat Capres-Cawapres.
"Itu spontan saja, Pak?" Najwa bertanya soal cara JK membalas pertanyaan "Kalpataru" Hatta.
"Itu spontan saja. Saya langsung pegang tangan Jokowi. Kalau saya pegang tangannya, [artinya] saya menjawab, padahal dia [Hatta] bertanya kepada Jokowi," jawab JK.
"Itu karena saya ingin skak setelah saya tahu dia salah bertanya. Pertanyaannya keliru, apalagi jawabannya," tambahnya.
Menurut JK, dalam debat semacam itu, para kandidat mesti menguasai masalah. "Kalau tidak menguasai masalah, bisa keliru seperti pak Hatta tadi," kata JK.
Sudah Biasa Jualan, Bagi Peran, dan Tetap Jenaka
JK adalah saudagar. Menjual barang adalah keahliannya. Pada 1967, JK didapuk sebagai pemimpin perusahaan yang dirintis ayahnya sejak 1950-an, NV Hadji Kalla. Mulanya perusahaan itu bergerak di bidang perdagangan tekstil dan jasa transportasi di Sulawesi Selatan. Kemudian, rambahan bisnisnya berkembang ke pelbagai bidang, mulai dari impor mobil, jasa konstruksi, transportasi, hingga penambang sumber daya alam, dengan cakupan nasional.
Pada saat yang bersamaan, JK merintis karier di dunia politik. Ia terpilih sebagai ketua Pemuda Sekber Golkar Sulawesi Selatan dan Tenggara pada 1965. Dua tahun kemudian, JK didapuk sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan. Kemudian, ia menjadi anggota Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) dari fraksi Golkar pada 1982. Capaian tertingginya di Golkar adalah posisi ketua umum yang dijabatnya pada 2004-2009.
Tak heran, ketika harus tampil dalam debat perdananya di Pilpres 2004, JK tidak canggung lagi menghadapi sorot mata penonton.
"Sebagai pengusaha, saya biasa untuk jualan," katanya.
Lantas, ketika menghadapi debat, JK cukup melatih diri agar berbicara singkat, namun berisi. Ia juga mendaraskan pentingnya capres dan cawapres untuk berbagi peran.
JK ingat betul waktu Debat di Pilpres 2014, dia dapat peran mengorek jawaban mengenai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Prabowo. "Kenapa JK yang bertanya? Jokowi baru pertama [Debat]. Itu saya sudah yang ketiga," ujar JK.
Kalimat yang dilontarkan JK di debat itu memang tidak langsung menyebut Prabowo sebagai pelanggar HAM, melainkan menanyakan cara Prabowo menyelesaikan dan mempertahankan HAM di masyarakat. Tapi, menurut JK, Prabowo pun paham siratan pertanyaan itu sehingga mengatakan, "Saya mengerti arah bapak, Apakah saya bisa menjaga HAM, padahal saya pelanggar HAM?"
"Saya bertanya halus, meskipun Pak Prabowo langsung paham. Semua orang tahu bahwa ini sulit dijawab Pak Prabowo dan memutar pula," ujar JK.
Bagi JK, debat mesti dilakoni secara rileks. Di 2009, misalnya, dia mesti menghadapi dua mantan "bos". Pertama, Megawati Soekarnoputri. Kedua, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). JK menjabat Menko Kesejahteraan Rakyat di era Presiden Megawati. Sedangkan, di era SBY Jilid I, JK menjabat wapres.
JK mengakui memang terkadang tidak enak hati dengan SBY. "Tapi kalau sudah di kantor kita baik-baik lagi. Kita lupakan aja dulu itu kampanye. [Itu] Tidak merusak hubungan pribadi," ujarnya.
Jenaka setitik tidak masalah. Itu tampak dalam Debat Pilpres 2009 yang kala itu memperbincangkan Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Megawati memancing JK dengan mengatakan, "Kalau Pak Jusuf Kalla itu karena dulu ngikut kerja sama saya ..."
Belum selesai Megawati berbicara, penonton tertawa. JK lalu mengatakan, "Terima kasih, Bu."
Tak lama kemudian Megawati menjawab, "Urusannya memang urusan ...". JK menyambar lagi, "Tapi, kerja saya bagus kan, Bu ya?"
Megawati terdiam dan meminta JK mengulangi ucapannya. "Kerja saya bagus tapi?" kata JK.
"Ya enggak dong," balas Megawati.
JK tertawa mendengar itu. SBY tersenyum lebar. Dan, penonton riuh bersorak-sorai. JK, si penyebar kejenakaan, telah membuat kompetisi malam itu sedikit lebih rileks.
======
Wawancara antara Najwa Shihab dan Jusuf Kalla ini akan tayang secara utuh dalam bentuk video lewat kanal Catatan Najwa di narasi.tv besok, Jumat, 15 Februari 2019.
Editor: Windu Jusuf