tirto.id - Direktur Riset Istitute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyebut tantangan Jokowi di sektor energi dalam lima tahun mendatang cukup besar.
Sebab, lifting migas RI cenderung stagnan dan tak sebanding dengan kebutuhan konsumsi dalam negeri. Ia mencatat, rata-rata produksi minyak bumi Indonesia hanya berkisar antara 700.000-800.000 barel/hari. Sementara konsumsi yang mencapai 1,5 juta barel/hari yang disuplai dari impor.
Hal tersebut jadi biang kerok defisit perdagangan RI dan dapat membuat stabilitas makro terganggu.
"Lifting migas turun 30 persen. Ketika defisit [neraca perdagangan migas] rupiah melemah secara signifikan," ujarnya dalam diskusi di Ballroom Hotel Dharmawangsa, Senin (21/10/2019).
Lantaran itu, kata dia, Jokowi perlu mempertimbangkan dengan matang siapa menteri yang akan ia pilih untuk mengurusi sektor energi. Sebab, sepanjang periode pertama pemerintahannya, posisi Menteri ESDM sudah berkali-kali diganti.
Tentu kata dia, pemasalahan ini berdampak pada kinerja industri migas.
"Yang kita prihatin investasi juga turun yang invest sekarang paling cepat di bawah 10 tahun. Jadi kalau menrun sejak 2014 sampai 2025, 2027, produksi kita akan sulit meningkat. Irak, Libya dan Venezuela, migas kita hanya di atas itu," terangnya.
Apalagi, kata dia visi Jokowi 30 persen manufaktur di periode II akan di dorong untuk menghasilkan peningkatan produk ekspor.
"Jangan sampai demand meningkat supply menurun untuk energi melemahkan rupiah dan makro. Kasihan yang di BI sudah keluarkan kebijakan supaya rupiah enggak jeblok," paparnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana