tirto.id - Nicholas Sulu adalah sersan mayor di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) saat Permesta meletus di Sulawesi Utara. Usianya saat itu 30-an tahun. Bersama satu peleton (sekitar 30-50 orang), ia berlibur ke kampung halamannya. Mereka tidak bawa senjata dan tak bisa pulang ke asrama mereka di Jawa. Rupa-rupanya, terjebak dalam situasi yang salah, mereka harus terseret dalam peperangan Permesta.
“Kami terpaksa bertempur di pihak pemberontak. Bersama istri dan keluarga, peleton kami memang sedang cuti pulang kampung. Mendadak saja pemberontakan meletus. Kalau pun kami sejak awal sudah tahu akan mengalami kejadian ini, tentu senjata akan kami bawa ke kampung. Tetapi semua perlengkapan militer masih kami tinggalkan begitu saja di Batujajar,” ujar Nicholas seperti dicatat Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan (1993). Menurut pengakuan Benny kepada Ventje Sumual, ada gelagat mereka akan bergabung dengan Permesta, anehnya Benny memberi izin.
“Waktu PRRI mulai, teman-teman dan anak buah saya di RPKAD minta cuti pulang kampung. Saya izinkan, padahal saya tahu mereka mau bergabung dengan PRRI/Permesta,” kata Moerdani kepada Vintje Sumual di masa Orde Baru, seperti tercatat dalam Memoar Ventje HN Sumual (2011).
Jika di RPKAD Nicholas Sulu hanya jadi bintara, di Permesta ia jadi perwira—dengan kemampuan dan pengalamannya sebagai pasukan khusus. Setidaknya Nicholas pernah memimpin sebuah kompi, dengan pangkat terakhir kapten. Kedatangan Nicholas dan satu peleton pasukannya, tentu saja, jadi berkah bagi angkatan perang Permesta yang dipimpin Ventje Sumual, Alex Kawilarang, dan Joseph Frederick Warouw.
Namun, bergabungnya regu Nicholas Sulu adalah hal biasa karena mereka diikat lewat sentimen orang Minahasa. Yang menarik, di tubuh pasukan Permesta, ada juga orang-orang Jawa.
Banyak anggapan keliru bahwa Permesta kadung dicap sebagai pemberontakan anti-Jawa. Menurut Roger Allan Christian Kembuan, sejarawan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, sentimen anti-Jawa itu muncul sejak 1950-an dan lebih runcing lagi sesudah Permesta meletus. Jawa identik dengan Islam bagi orang Minahasa. Bagi sebagian orang yang kadung anti-Jawa, orang-orang Jawa itu seperti Brutus. "Manis di depan tapi menikam di belakang," ujarnya. Namun, nyatanya ada pula orang Jawa yang belakangan bergabung dengan Permesta.
Mayor Petit Muharto Kartodirdjo, Komandan Pangkalan Udara Mapanget di Manado, adalah orang Jawa. Ia penerbang kawakan dan perwira AURI. Di bawah Petit, ada penerbang tempur Letnan Hadi Supandi, yang masuk AURI sejak awal berdiri. Menurut Awal kedirgantaraan di Indonesia: perjuangan AURI 1945-1950 (2008), keduanya terjebak di Manado saat gerakan Permesta memanas.
Di Permesta, menurut Barbara Harvey dalam Pemberontakan Setengah Hati (1984), Muharto menjadi Panglima Permesta yang mengomandani Angkatan Udara Revolusioner (AUREV), dibentuk pada April 1958. Pangkat Muharto adalah marsekal. Armada udara Permesta punya 8 hingga 9 pesawat. Para awaknya terdiri orang Indonesia, Filipina, Taiwan, dan Amerika. Di AUREV, Supandi termasuk pilot pesawat pemburu yang andal. AUREV setidaknya sering menyerang beberapa kota penting di Indonesia timur seperti Makassar, Balikpapan, dan Ambon.
Selain Muharto dan Supandi, diperkirakan B. Poerwono dan Raden Sudharto, bekas bawahan Kapten Eddy Rotinsulu di kapal barang Seabird, juga terlibat. Kapal Seabird biasa mengangkut kopra dari Minahasa dan menjualnya di Singapura. Menjelang Permesta berdiri, mereka kembali ke Minahasa untuk angkut senjata. Setelah kapal ini ditenggelamkan pada 26 Desember 1958 di Bolaang Mangondow, sebuah kabupaten di Sulawesi Utara, awak kapalnya bergabung sebagai pasukan tempur Permesta.
Orang Taiwan dan Pilot CIA
Seorang mantan perwira Angkatan Udara Amerika menegaskan adanya orang non-Minahasa, tak hanya dari Indonesia tapi dari luar Indonesia, yang bergabung sebagai tentara bayaran Permesta.
“Orang-orang Indonesia, Filipina, China (Taiwan), Amerika, dan para serdadu sewaan dan negara-negara lain juga telah siap di Okinawa dan Filipina untuk membantu pemberontakan,” tulis mantan perwira Fletcher Prouty dalam The Secret Team (1973).
Menurut arsip berbahasa Belanda Verkorte Intelichtingen Samenvatting GM/2943-0023 Holandia, 15 Mei 1961, terdapat seorang Taiwan bernama Tan Hoey alias Chen Hui dan Arnold Humphries Oswald. Oswald disebut berasal dari Royal Air Force (RAF). Di kapal Seabird, ia adalah operator radio telegraf. Menurut cerita yang beredar di kalangan orang-orang Minahasa, Oswald bergabung dengan Permesta dan kawin dengan seorang pasukan wanita Permesta bernama Evelyn Tenda. Setelah perang Permesta, pasangan ini pergi ke Singapura.
Di antara awak pesawat AUREV tersohor adalah Allen Pope. Menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA (2008), Pope begitu bersemangat bersama Permesta. Ia berhasrat membantai kaum komunis. “Saya suka membunuh komunis dengan cara apa pun yang bisa saya lakukan,” kata pilot CIA itu.
Sebelum bergabung dengan Permesta, menurut Conboy dan Morrison dalam Feet to the Fire CIA (1999), Pope adalah veteran Perang Korea pada 1950. Di Korea, Pope adalah letnan satu Angkatan Udara Amerika. Sejak 1954, ia meninggalkan Angkatan Udara dan bergabung dengan CIA, menjadi pilot pada perusahaan penerbangan Civil Air Transport. Pope hampir dihukum mati sesudah pesawatnya ditembak jatuh di udara Ambon pada 1958. Penembakan pesawat B-26 yang dikendarai Pope lantas mengakhiri bantuan senjata CIA kepada Permesta.
Instruksi dari Direktur CIA Allen Dulles segera memerintahkan pengosongan bantuan pesawat di lapangan udara Mapanget. CIA kembali ke Pangkalan Clark di Filipina. Hal ini bikin Sumual, pemimpin Permesta, kecewa. Tetapi ia juga sadar dan kelak terbukti: dengan adanya Nasution dan Yani, dua petinggi militer yang anti-komunis, peperangan Permesta melawan tentara pemerintahan Jakarta hanya akan bikin rakyat menderita.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Maret 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Fahri Salam & Irfan Teguh