tirto.id - Cerita mengenai Robert Earl Freeberg adalah cerita tentang tragedi seorang profesional yang ketiban nasib seperti boneka jelangkung. Datang tak diundang, pergi tak diantar.
Faktanya memang begitu. Bob demikian panggilan Freeberg di Indonesia, datang ke Indonesia dengan modal sebuah pesawat rombeng dan sebongkah kenekatan. Bayangkan, ia hanya punya selembar peta Jawa berukuran setengah jengkal telapak tangan. Ia juga tak punya koneksi luas. Cuma Opsir Udara Petit Muharto, satu-satunya orang Indonesia yang dikenalnya (sebelumnya mereka sempat bertemu di Singapura).
Tak heran pesawatnya nyasar. Inginnya mendarat di ibukota Yogyakarta, ternyata landasan yang dipilih adalah pantai selatan Tasikmalaya. Saat itu awal Juni 1947. Tak banyak motivasi Freeberg datang ke negeri yang (saat itu) belum punya kejelasan masa depan ini. Ia hanya berniat menjajakan jasa pilot berikut pesawatnya, sebuah Dakota C-47, yang baru ia beli 2 bulan sebelumnya di Filipina. Bob yang mantan pilot AL AS itu datang sebagai partikelir.
Beruntung gayung bersambut. Pemerintah Indonesia yang memang butuh transportasi udara setuju menyewanya. Pesawat yang dibawanya, secara de facto justru menjadi pesawat pertama Indonesia yang diberi kode resmi negara, RI-002 (Nomer ini dipilih karena, RI-001 sudah dialokasikan untuk nomer pesawat kepresidenan yang akan dibeli dengan dana sendiri, belakangan terwujud lewat proyek Seulawah).
Berbagai misi langsung disandangkan ke pundak Bob. Yang pertama adalah ke Manila, 9 Juni 1947. Tugasnya - seperti statemen resmi AU membawa 29 bubuk kina dan 11 kotak biji vanila. Penerbangan berikutnya yang cukup penting adalah menerjunkan Tjlik Riwut dkk di Palangkaraya Kalimantan, mengirim pasukan ke Madura dan menerbangkan Presiden Soekarno dalam muhibah ke Sumatera yang berujung pada pengumpulan dana untuk Seulawah di Aceh.
Selain penerbangan-penerbangan itu, masih banyak lagi tugas yang diberikan AU untuk Bob. Petit Muharto yang pernah ditunjuk mendampinginya sebagai ko pilot mencatat, umumnya tugas Bob berupa penerbangan gelap untuk menembus blokade udara Belanda. Dalam masanya, penerbangan ini diistilahkan dark flight, dan kerap disinonimkan sebagai penerbangan dengan tujuan penyelundupan.
Menariknya, rumor soal dark flight tak sekadar penyelundupan biasa. Ada bau opium/candu di sini. Sejak lama Belanda (dan juga beberapa negara barat) curiga Indonesia menjual opium sebagai dana perjuangan mereka. Opium memang bukan barang langka di Indonesia. Seratus tahun sebelumnya saja, pemerintah Hindia Belanda menangguk keuntungan besar dari penjualan opium. 12% dari pendapatan pemerintah Batavia berasal dari monopoli opium.
Tudingan Indonesia terlibat perdagangan opium, dalam versi Belanda tentunya, bukan omong kosong. PM Sutan Sjahrir pernah nyaris ditahan Belanda di Palembang. Penyebabnya, pesawat yang membawanya kedapatan ikut memuat opium. Beruntung diplomat KTN saat itu, Thomas Christley menekan Belanda melepaskannya. Selain ini, dalam klaim Belanda, masih ada 2 lagi kisah pengangkutan opium yang terungkap.
Pertama, saat pesawat RI-005 dengan pilot JJ Cobley jatuh di Jambi, November 1948. Kedua, saat RI-006 yang dikemudikan James Fleming (AS) mendarat di Maguwo dari Tanjungkarang pada 19 Desember 1948. Fleming tidak tahu, bahwa Maguwo sudah diduduki Belanda bersamaan Agresi Militer II. Menurut Belanda, dalam RI-006 yang mereka sita ditemukan opium yang nilainya setara dengan 1 kg emas pada saat itu.
Puncaknya dari tuduhan itu adalah penangkapan Mukarto Notowidigdo di Kemayoran pada 10 September 1948. Mukarto adalah tangan kanan Menkeu Dr AA Maramis, Belanda menyebutnya sebagai kepala operasi perdagangan opium di Indonesia (Rosihan Anwar pernah menulis, perintah opium trading berasal dari Wapres Hatta pada Februari 1948). Dalam distribusinya, Mukarto menggunakan pesawat-pesawat sewaan yang telah diberi registrasi oleh AURI.
Skandal pun meruyak. Benarkah pesawat-pesawat dengan registrasi resmi negara dipakai mengangkut opium? Tak pernah ada pengakuan dari AURI. Statemen yang muncul keluar selalu menyebut yang biasa dikirim ke luar negeri adalah bubuk kina (Saat itu kina memang bahan farmasi utama yang dibutuhkan dunia), vanila atau bantuan pangan. Sementara yang biasa masuk ke Indonesia adalah bantuan obat-obatan.
Demikian halnya dengan penerbangan terakhir Freeberg. Tanggal 30 September 1948, Freeberg bersama 3 awaknya meninggalkan Yogyakarta. Pesawat ini raib pada 1 Oktober dalam perjalanan antara Tanjungkarang ke Bengkulu. Dalam pernyataannya beberapa bulan setelah kehilangan RI-006, Kepala Staf AU Suryadarma mengatakan pesawat hilang dalam misi mengangkut "bouillonenvis".
Saya coba mencari arti kata "bouillonenvis", tapi tak bisa menemukan padanannya. Kata yang paling mendekati dalam bahasa Perancis adalah "bouillon" yang artinya makanan. Bahan makanan kah yang dibawa Bob? Atau justru opium yang dibawa Bob pada hari naas itu? Apalagi ia bertolak dari Tanjungkarang, sebuah kota dimana Fleming pun beranjak saat membawa opium ke Yogyakarta.
Tentu saja inilah misteri besarnya dan saya jelas angkat tangan menjawabnya. Yang terang, nasib malang Bob Freeberg tak berakhir cepat. Jasadnya menunggu hingga 30 tahun sampai akhirnya ditemukan tak sengaja oleh petani di rimba Lampung Utara. Mengapa begitu lama, karena pemerintah sendiri memang terkesan setengah hati mencarinya. Apakah itu karena kerimbunan rimba, kesulitan teknologi atau memang karena muatannya membuka skandal lama?
Apapun lah, Bob saya pikir kamu tak layak diperlakukan seperti itu….
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.